Sudah lebih dari 100 hari pengepungan Israel di Gaza sejak 7 Oktober 2023, dan jumlah kematian di antara warga sipil, perempuan, dan anak-anak Palestina yang tidak bersalah akan segera melebihi 25 ribu jiwa. Memasuki tahun baru 2024, negara-negara yang dilanda kekerasan mulai melakukan perlawanan terhadap agresi militer Israel melalui jalur hukum. Pada 11 Januari, Afrika Selatan membawa Israel ke Mahkamah Internasional (ICJ), sebuah badan pengadilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Afrika Selatan, sebuah negara yang pernah mengalami kekerasan rasial selama masa apartheid, menuduh Israel melanggar berdasarkan Konvensi 1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida, atau 'Konvensi Genosida'. ICJ mendengarkan tuduhan Afrika Selatan dan pembelaan Israel di Den Haag, Belanda. Pemeriksaan hukum ICJ mempunyai tahapan 'tindakan sementara' (provisional mesureas), di mana ICJ antara lain dapat segera memerintahkan penghentian permusuhan dan tindakan kekerasan; dan tahap 'pemeriksaan bukti secara teliti' (merit stage), di mana dalam tahap ini benar-benar mempertimbangkan bukti apakah Israel telah melanggar Konvensi Genosida.
Pada tahap tindakan sementara sidang ICJ saat ini, Afrika Selatan mencoba berargumentasi mengenai 'tindakan genosida' (genocidal acts) Israel di Gaza sebelum mengevaluasi 'niat genosida' (genocidal intention), dan bahwa itu sudah cukup untuk menuntut tindakan pengendalian terhadap Israel dan menghentikan kekerasan. Pihak Israel mencoba berargumentasi bahwa niat genosida apa pun harus dibuktikan pada tahap tindakan sementara ini agar keputusan yang dihasilkan sah dan dapat ditegakkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Afrika Selatan mengeluarkan dokumen hukum setebal 84 halaman yang menyatakan bahwa tindakan Israel di Gaza merupakan genosida. Dikatakan dalam dokumen tersebut bahwa menurut Pasal II Konvensi Genosida, Israel telah berkomitmen melakukan tindakan genosida termasuk pembunuhan, yang menyebabkan kerugian fisik atau mental parah terhadap anggota suatu kelompok nasional, etnis, ras atau agama; dengan sengaja menimbulkan kondisi kehidupan yang diperhitungkan akan mengakibatkan kehancuran fisik kelompok tersebut; dan menerapkan tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok untuk menghancurkannya secara keseluruhan atau sebagian.
Afrika Selatan mendukung tuduhannya dengan bukti, antara lain, lebih dari 20 ribu kematian dan lebih dari 7 ribu di antaranya adalah anak-anak; pengeboman di 'daerah aman' yang diperintahkan Israel kepada warga Palestina untuk mengungsi; dan pemaksaan warga Palestina pindah ke kamp-kamp yang kekurangan makanan, air, listrik, obat-obatan atau sanitasi.
Setelah memperdebatkan tindakan ini, pengacara Afrika Selatan berargumen bahwa sebenarnya ada juga 'niat genosida' di antara para pemimpin Israel untuk menghancurkan rakyat Palestina. Pengacara Afrika Selatan, Tembeka Ngcukaitobi, berpendapat, "Para pemimpin politik Israel, komandan militer, dan orang-orang yang memegang posisi resmi telah secara sistematis dan eksplisit menyatakan niat genosida mereka."
Pernyataan tersebut terbukti telah dikomunikasikan dan diulangi oleh tentara mereka di Gaza. Ngcukaitobi mengutip Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang mengatakan kepada tentara Israel pada 28 Oktober 2023 untuk, "ingat apa yang dilakukan Amalek terhadap Anda." Ini adalah kutipan alkitabiah yang mengacu pada orang Amalek, musuh bangsa Yahudi yang diperintahkan untuk mereka hancurkan seluruhnya.
Pada 12 Januari, Israel mendapat giliran untuk membela diri terhadap tuduhan Afrika Selatan. Menariknya, Israel tidak menyangkal tindakan penghancurannya, namun mencoba berargumentasi bahwa tindakannya sah dalam konteks pembelaan diri terhadap serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Israel berpendapat bahwa meskipun terjadi kehancuran, mereka memastikan sasarannya adalah infrastruktur militer atau sipil yang 'digunakan oleh Hamas', oleh karena itu menjadikannya sah menjadi target serangan.
Lebih jauh lagi, Israel mengklaim bahwa mereka masih berusaha untuk bersikap semanusiawi mungkin, dengan menyebutkan contoh-contoh seperti mengizinkan bantuan terbatas untuk masuk ke Gaza, namun menurutnya strategi Hamas yang diduga bertujuan untuk 'memaksimalkan kerugian sipil' mempersulit penyaluran bantuan. Tetapi, bahkan sebelum argumen-argumen ini muncul, para pengacara Israel mencoba mengklaim bahwa ICJ tidak mempunyai yurisdiksi atau tidak seharusnya mendengarkan kasus ini karena Afrika Selatan menghindari prosedur untuk membahas perselisihan ini dengan Israel secara bilateral dan malah 'terburu-buru' agar kasus ini dibawa ke ICJ.
Kasus Afrika Selatan versus Israel ini membawa implikasi penting bagi Indonesia yang merupakan salah satu pendukung terbesar Palestina di Asia Tenggara. Kasus ini akan berdampak signifikan terhadap cara negara kita dan negara lain melawan agresi militer Israel di Gaza. Namun harus diingat bahwa Indonesia sendiri bukanlah pihak dalam Konvensi Genosida, dan oleh karena itu menurut hukum internasional, Indonesia tidak dapat ikut serta dalam menggugat Israel di ICJ atas tuduhan genosida. Namun, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi diperkirakan akan memberikan pendapat (advisory opinion) mengenai masalah tersebut pada Februari 2024.
Keputusan ICJ pada tahap tindakan sementara diperkirakan akan keluar dalam beberapa minggu, sedangkan keputusan akhir pada tahap selanjutnya (merit stage) dapat memakan waktu beberapa tahun. Namun, kasus Afrika Selatan versus Israel terkait Konvensi Genosida sudah menjadi peristiwa penting dalam arena hukum internasional, meskipun hasilnya belum diputuskan.
Rifqy Tenribali Eshanasir mahasiswa Pascasarjana Hukum Internasional dan Diplomasi The Australian National University (ANU), penerima beasiswa LPDP Luar Negeri
(mmu/mmu)