Sebagai negara yang digadang-gadang akan menghadapi "bonus demografi", fakta ini sialnya berbanding terbalik dari apa yang dicanangkan. Jika mayoritas pengangguran adalah dari angkatan yang tadinya diharapkan menjadi bonus demografi, tak dipungkiri bonus demografi berbalik menjadi beban demografi. Karena itu, urgensi penanggulangan masalah ini sudah sangat tinggi. Supaya kita dapat mengetahui apa yang harus dilakukan, dan siapa saja yang harus melakukan aksi nyata.
Tetapi, sebelum bicara solusi, mustahil rasanya kita menemukan pemecahan yang akurat jika belum mencari akar permasalahannya. Poin penting yang menyebabkan tingginya pengangguran tak lain adalah penyerapan tenaga kerja yang belum optimal. Apakah itu dari ketersediaan calon pekerja atau lapangan kerja itu sendiri, dan kualitas sumber daya manusia yang tersedia.
Untuk isu pertama, tampaknya tak jadi soal. Karena banyaknya pengangguran berarti jumlah angkatan kerja lebih banyak dibanding lapangan kerjanya dan pastinya tenaga kerja tersedia. Urusan ketersediaan lapangan pekerjaan, terlalu kompleks. Persoalan kualitas tenaga kerja rasanya adalah hal yang paling gampang dicapai dan penting untuk ditingkatkan, terlebih berkaitan dengan Gen Z.
Perilaku Gen Z
Gen Z acap dianggap memiliki kualitas, kapasitas, dan etos kerja yang rendah. Dalam hal kualitas dan kapasitas kerja rasanya wajar saja, toh hal ini berkaitan dengan pengalaman dan jam terbang. Perihal etos kerja sendiri, sepertinya ada kekeliruan dalam penilaiannya terhadap Gen Z. Hingga saat ini rata-rata tongkat komando kekuasaan baik di sektor swasta ataupun institusi negara dipegang oleh kalangan baby boomer dan milenial. Alhasil, nilai yang dipegang, pandangan, dan cara penilaian terhadap etos kerja jauh berbeda.
Dalam konteks hustle culture misalnya. Baby boomer dan milenial sangat memegang teguh prinsip ini. Bahkan menciptakan lingkungan yang keras kadang diyakini sebagai ihwal wajib. Bertolak belakang dengan Gen Z yang berpandangan bahwa hal terpenting adalah kedamaian hidup. Hasilnya para senior yang mencintai kerja keras akan terus memandang negatif Gen Z yang haus akan kedamaian. Dalam dunia kerja, sering diasosiasikan dengan konsep work-life Balance.
Miskonsepsi Work-Life Balance
Gen Z barangkali adalah generasi pertama yang mulai memahami pentingnya work-life balance. Hal ini dikarenakan dunia sudah mengarah ke kualitas hidup yang jauh lebih baik. Taraf hidup yang semakin meningkat membuat masyarakat terutama kawula muda Gen Z menuntut lebih banyak hal.
Selaku generasi pertama yang intim berkutat dengan teknologi dan media sosial, didukung dengan kondisi dunia yang sudah hyper-connected, Gen Z terpapar informasi yang lebih banyak dari berbagai sumber yang melimpah. Lumrah jika perilakunya dibentuk dari informasi dan penggiringan opini yang dikemas dalam bentuk podcast, anekdot, dan konten lainnya di media sosial. Namun, apakah pandangan Gen Z sudah sahih mengenai konsep work-life balance?
Banyak Gen Z beranggapan, work-life balance berarti pemisahan antara pekerjaan dan urusan kehidupan pribadi. Yang mana diketahui oleh para senior adalah hal yang hampir mustahil. Disiplin terhadap jam kerja, waktu libur, dan batasan bekerja telah diupayakan sedemikian rupa oleh Gen Z, hingga terkadang melenceng dari konsep. Contoh, mereka yang terlalu tertib dengan jam kerja, namun abai terhadap tingkatan tanggung jawab hingga tak menyelesaikan tugas di jam kerja. Ketika diminta menyelesaikan kewajibannya, menggunakan work-life balance sebagai excuse.
Terlalu terpaku pada work-life balance yang mispersepsi ini juga membuat Gen Z susah maju, karena kecenderungan mereka yang lebih memilih ketenangan. Padahal kita sama-sama tahu, bahwa kesuksesan membutuhkan pengorbanan. Orang-orang seperti mendiang Steve Jobs, Mark Zuckerberg, Bill Gates, dan para game changer kiranya tidak terlalu akrab dengan konsep ini. Lantas Gen Z yang berharap sukses besar, tapi tidak memiliki inisiatif untuk go extra miles. Menginginkan segalanya namun berusaha semaunya, bukan semampunya. Dunia dan industri agaknya sangat tidak bersahabat dengan karakter ini.
Lambat laun Gen Z sendiri akan menyadari, terlalu membatasi diri dengan konsep work-life balance yang melenceng tidak akan membawa kita ke mana-mana. Di samping memang ketersediaan lapangan kerja yang sempit, dan jam terbang yang takluk dari para senior. Justru sikap inilah yang menghambat dari meningkatkan kualitas kerja sehingga kita tidak terpakai di industri. Bukan hanya itu, Gen Z yang katanya paling berjiwa wirausaha sekalipun, kalau salah memahami konsep work-life balance tidak akan mengantarkan kita ke mana-mana.
Pantas rasanya kita sepakati bahwa tuntutan dan beban yang dihadapi Gen Z sebenarnya tak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Tetapi, di era hyper-connected network banyak informasi dan pemikiran liar yang tidak sepantasnya dicerna mentah-mentah. Alhasil, muncul sebuah utopia di kalangan Gen Z. Kesuksesan instan, dibarengi dengan usaha yang tidak terlalu banyak dan dibumbui kedamaian hidup yang semu.
Menghadapi Gen Z
Tantangan para pimpinan dan pemegang kekuasaan baik di perusahaan maupun instansi negara saat ini yang masih di dominasi oleh milenial dan baby boomer adalah menghadapi tim dari kalangan Gen Z. Banyak yang mengeluhkan perilaku Gen Z tanpa memahami dari sudut pandang mereka. Alhasil, hasil kerja optimal yang didambakan sangat melenceng dari kenyataan. Ditambah kepuasan kerja Gen Z yang memang pada dasarnya banyak tuntutan tidak akan pernah tersalurkan. Artinya, antargenerasi harus saling memahami.
Hal yang harus dilakukan adalah memahami perilaku Gen Z, agar tahu cara terbaik menghadapinya. Para pemegang kuasa wajib melihat dari sudut pandang Gen Z. Masalah yang terjadi sekarang adalah masing-masing generasi terutama yang lebih tua dari Gen Z sibuk menggembar-gemborkan keunggulan semu generasi mereka masing-masing. Tak jarang, diksi berawalan kalimat "zaman saya dulu" terucap kepada Gen Z. Sialnya, hal ini 99% tidak diterima oleh Gen Z. Karena toh zaman sudah berubah, tingkat kesadaran akan kebutuhan hidup lebih lanjut mulai jadi concern.
Para senior harus mulai mencari cara untuk mendulang potensi maksimal dari Gen Z dengan tetap memperhatikan aspirasi mereka. Cara-cara yang keras dan kolot sudah tidak berlaku lagi. Hanya akan menghasilkan ketidakpuasan dalam pekerjaan dan peningkatan turnover yang menciptakan masyarakat "kutu loncat". Memang harus berpikir ekstra keras, dan tak jarang mengorbankan perasaan pribadi. Tapi untuk mencapai hasil yang optimal, rasanya sepadan. Daripada terus menerus kesusahan mencari pekerja dari kalangan Gen Z, dan kalangan Gen Z pun tak kunjung menemukan pekerjaan yang cocok.
Dibanding cara yang keras dan kolot, treatment yang kreatif dan unik akan lebih efektif dilakukan untuk menghadapi Gen Z. Memberi ruang bagi mereka untuk menyalurkan kreativitas, memberi tekanan yang logis dan hanya berkaitan dengan pekerjaan serta memperhatikan garis nilai pribadi yang diharapkan oleh Gen Z akan lebih menjawab aspirasi mereka. Percaya atau tidak, jika ingin mengharapkan hasil optimal dari Gen Z harus ada nilai transaksional berkaitan dengan aspirasi mereka yang diberikan.
Jika saja para pemegang kekuasaan saat ini yang mayoritas berasal dari kalangan milenial dan baby boomer memahami nilai-nilai yang dianut Gen Z. Dan, Gen Z pun tidak naif memandang cara kerja dunia dan industri. Tentunya aspirasi semua pihak dapat dicapai secara efektif. Hasil yang optimal tidak lagi menjadi angan kosong. Semuanya adalah tentang cara mengelola manusia dan menjalani hidup sesuai dengan zamannya.
(mmu/mmu)