Setiap awal tahun, banyak orang merangkai resolusi sebagai proyeksi kehidupan setahun ke depan. Tentu berangkat dari agenda refleksi tahun lalu sebagai evaluasi jejak. Ironisnya, tahun ini kita bisa memulai agenda itu dengan belajar dari statistik kasus yang terjadi sepanjang 2023. Dari korupsi hingga pencurian, dari perselingkuhan hingga penggunaan obat terlarang, dari perundungan hingga pembunuhan.
Beragam peristiwa tersebut seolah membawa kita pada sebuah kesimpulan bahwa dekadensi moral berada dalam fase kritis. Berbagai analisis dilakukan pakar tentang mengapa manusia kehilangan kemanusiaannya, naluri mati, dan akal tak berfungsi. Mulai dari faktor kemiskinan, kesenjangan, akses pendidikan, keluarga disfungsional, eksposur media sosial, hingga budaya dan norma yang timpang secara filosofis.
Memang semua itu saling mempengaruhi dan berkelindan satu sama lain. Namun, sebenarnya ada satu aspek inti yang juga patut mendapat perhatian, yaitu kemampuan kontrol diri. Dalam literatur Psikologi, kontrol diri atau self-control identik dengan kemampuan manusia untuk mengelola, mengatur, serta mengendalikan impuls, emosi, dan kecenderungan perilaku demi mencapai tujuan. Melibatkan kemampuan untuk menahan diri dari tindakan yang memberikan sensasi kepuasan instan, tetapi dapat merugikan dalam jangka panjang. Sehingga kontrol diri disebut sebagai batas-batas yang menjaga manusia untuk tetap berada dalam lingkaran prinsipnya.
Beragam peristiwa tersebut seolah membawa kita pada sebuah kesimpulan bahwa dekadensi moral berada dalam fase kritis. Berbagai analisis dilakukan pakar tentang mengapa manusia kehilangan kemanusiaannya, naluri mati, dan akal tak berfungsi. Mulai dari faktor kemiskinan, kesenjangan, akses pendidikan, keluarga disfungsional, eksposur media sosial, hingga budaya dan norma yang timpang secara filosofis.
Memang semua itu saling mempengaruhi dan berkelindan satu sama lain. Namun, sebenarnya ada satu aspek inti yang juga patut mendapat perhatian, yaitu kemampuan kontrol diri. Dalam literatur Psikologi, kontrol diri atau self-control identik dengan kemampuan manusia untuk mengelola, mengatur, serta mengendalikan impuls, emosi, dan kecenderungan perilaku demi mencapai tujuan. Melibatkan kemampuan untuk menahan diri dari tindakan yang memberikan sensasi kepuasan instan, tetapi dapat merugikan dalam jangka panjang. Sehingga kontrol diri disebut sebagai batas-batas yang menjaga manusia untuk tetap berada dalam lingkaran prinsipnya.
Semua Lini Kehidupan
Aktivitas yang menggambarkan kontrol diri hampir menjamah semua lini kehidupan. Seperti seseorang yang sedang berpesta dan menghindari minum alkohol karena ingin menyetir dengan aman, orang yang patuh pada menu makan sehatnya meski di tengah food festival, atau mematuhi prinsip tidak membuka ponsel sampai pekerjaan selesai.
Kabar baiknya, manusia tidak harus selalu berperang dengan kondisi lingkungan yang memaksanya untuk melawan dorongan yang muncul dalam diri. Hal itu sesederhana ungkapan Tsun Zu bahwa the supreme art of war is to subdue the enemy without fighting. Jadi, sebenarnya manusia memiliki peluang untuk menentukan taktik maupun strategi dalam memanipulasi situasi, demi kebaikan personal dan tercapainya tujuan.
Hal inilah yang disebut sebagai kontrol diri situasional, di mana konsep ini adalah antitesis dari beragam teknik kontrol diri yang cenderung rumit seperti menumbuhkan inner strength, kekuatan mental, melatih fokus, hingga berbagai persuasi lain yang menyasar perubahan pola perilaku atau karakter mendasar manusia. Namun, tentu sulit untuk membayangkan sebuah modifikasi perilaku tanpa intervensi yang komprehensif.
Mengacu pada studi Duckworth (2016), kerangka strategi kontrol diri situasional seharusnya lebih efektif jika dibandingkan dengan strategi intrapsikis. Tentu karena strategi ini diterapkan lebih awal, jauh sebelum proses pembangkitan impuls. Artinya, ada pencurian start, dengan memanipulasi situasi untuk tidak memberi pengaruh intensif pada proses kognitif. Sehingga akan menjadi lebih sederhana dibandingkan dengan proses mental hilir, atau akibat yang terjadi setelah badai stimulus.
Plato pernah membuat metafora tentang itu, bahwa nafsu manusia adalah sebuah kebrutalan dalam perjuangan intrapsikis. Pada kondisi itu, perasaan manusia ditarik ke berbagai arah oleh persaingan internal kecenderungan yang bertolak belakang. Aristoteles juga menggambarkan hal itu sebagai sebuah kondisi di mana jiwa manusia terbagi-bagi, yang hanya bisa diatasi oleh pencapaian keadaan apatheia atau kebebasan dari nafsu.
Namun, apakah ada manusia yang bisa merdeka dari belenggu hawa nafsu? Tidak mengherankan jika sebuah studi dari Park dan Peterson (2006) mengungkapkan bahwa sepanjang rentang masa kehidupan, manusia menilai diri sendiri lebih rendah dalam aspek kontrol diri dibandingkan dengan aspek lain seperti kebaikan, keadilan, kejujuran, rasa syukur, rasa ingin tahu, dan berbagai aspek lain yang berkaitan dengan karakter.
Tentu kesimpulan itu muncul karena kontrol diri dipersepsi sebagai sebuah usaha mental yang benar-benar melelahkan. Bagaimana tidak, manusia yang memiliki kecenderungan untuk mencari rasa senang, dipaksa untuk menunda kenikmatan, mengulur kepuasan sesaat, dan bernegosiasi dengan perasaan tidak menyenangkan. Semua itu jelas membutuhkan pengorbanan.
Di sinilah kontrol diri situasional menjadi pilihan yang lebih rasional untuk menjadi pilar kemanusiaan, konsisten dengan tujuan. Maka memilih lingkungan sosial menjadi indikator perilaku yang signifikan. Apakah seseorang berada dalam kelompok yang tepat, relevan, dan menjadi support system dalam mencapai tujuan jangka panjangnya, atau justru tersesat dalam hiruk-pikuk yang asing. Sebab, akibat dari interaksi manusia tidak hanya bersifat fisik, tetapi sosial, emosional, dan perilaku.
Banyak momen yang bisa dijadikan contoh, bagaimana seseorang terjebak dalam lingkungan yang tidak mendukung prinsipnya, hingga mengalami kegagalan dalam kontrol diri. Seperti kasus korupsi misalnya, seseorang yang awalnya memiliki integritas, kejujuran, dan dedikasi. Namun setelah masuk dalam birokrasi, ia tersesat di tengah budaya korup, di mana rekan-rekannya menggunakan praktek manipulatif untuk menikmati fasilitas eksklusif, naik jabatan, atau mutasi ke sektor yang diinginkan. Perasaan terisolasi, sulitnya berkembang, sulitnya mendapat promosi berdasarkan sistem meritokrasi yang adil dan transparan, membuatnya mau tak mau terseret arus.
Kasus lain seperti perselingkuhan misalkan, di mana banyak hubungan terlarang berawal dari pergaulan tanpa sekat. Intensitas interaksi memberi sensasi yang berbeda, hingga seringkali menjadi cara untuk mengatasi berbagai tekanan. Kondisi tersebut lambat laun berpotensi melemahkan kontrol diri atas komitmen hubungan.
Penggunaan narkoba juga berakar dari hal yang sama, di mana tekanan sosial ekonomi bisa menjadi suatu realitas yang mengganggu psikologis. Lalu ketika lingkungan membuka peluang interaksi dengan obat-obatan terlarang, mereka bisa melihat bagaimana hal itu menjadi pelarian dari masalah, ketidakpastian, dan tantangan hidup. Sehingga lambat laun terlihat menjadi solusi.
Tak Banyak yang Berhasil
Tidak semua orang keluar menjadi pemenang ketika melewati badai yang menggoyahkan. Tidak banyak yang berhasil memodifikasi lingkungan seperti kisah kepulangan Odysseus dari Perang Troya yang diceritakan dalam epik klasik Yunani karya Homer. Setelah perang berakhir, Odysseus dan para prajuritnya berusaha pulang. Namun, mereka dihadapkan dengan banyak rintangan, salah satunya berhadapan dengan Sirena, makhluk mitologi yang memiliki suara indah dan memikat. Suara yang sangat berbahaya bagi pelaut karena membuat kehilangan akal sehat.
Odysseus diberitahu tentang bahaya ini oleh Hermes, lalu diberikan saran untuk memodifikasi situasi agar dapat melewati Sirena tanpa tergoda. Ia pun memerintahkan krunya untuk menutup telinga dengan lilin agar tidak mendengar suara memikat Sirena. Dia juga memerintahkan prajuritnya untuk mengikatnya erat ke tiang kapal. Dengan begitu, dia tidak dapat bergerak atau melarikan diri untuk mendekati Sirena. Maka Odysseus berhasil melewati wilayah Sirena tanpa terpengaruh.
Pada akhirnya, kontrol diri yang rendah adalah akar dari beragam problematika. Kontrol diri situasional dapat menjadi solusi untuk mewujudkan resolusi setahun ke depan. Sebab hidup selalu menawarkan dua pilihan, sederhana atau rumit. Kita bisa menentukan mana jalan yang akan ditempuh. Membuka peluang terjadinya berbagai situasi yang memaksa kita berperang dengan dorongan dasar manusia, atau cerdik melindungi diri dan mencari jalan pasti. Kabar baiknya, manusia dilahirkan bersama nurani untuk memilih itu. Tinggal kita mau mendengarnya atau tidak.
Sriwiyanti dosen Politeknik Gusdurian
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini