Tahun Baru, Tahun Pemilu (Damai)

Kolom

Tahun Baru, Tahun Pemilu (Damai)

Martinus Joko Lelono - detikNews
Selasa, 02 Jan 2024 15:10 WIB
Aliansi Mahasiswa Malang Raya Deklarasi Pemilu Damai Tanpa Provokasi
Mahasiswa di Malang menyerukan pemilu damai (Foto: istimewa)
Jakarta -

Masyarakat Indonesia memasuki Tahun Baru 2024 dalam suasana pemilu, tepatnya di masa kampanye. Di sana-sini sudah ada baliho bergambar calon presiden-wakil presiden dan para calon anggota legislatif berbagai tingkatan. Tanpa merendahkan, gema pemilihan legislatif pada tahun ini memang kurang lantang. Perhatian orang hampir sepenuhnya terfokus kepada pemilihan presiden-wakil presiden, mulai dari drama MK, debat calon, sampai dengan berbagai kasus pelanggaran pemilu yang setiap hari menjadi diskusi di media. Di tengah situasi yang demikian, suhu politik makin memanas.

Bukannya mencari jalan-jalan membawa perdamaian, banyak pihak hari-hari ini lebih senang menjadi pihak yang dengan berlebihan memuji calon yang ia pilih dan menjatuhkan calon yang tidak ia pilih. Media sosial menjadi tempat yang paling rentan menjadi persemaian benih kebencian di antara warga bangsa. Bangsa ini tidak belajar dari segregasi yang diciptakan oleh "cinta buta terhadap calon" dalam pemilu-pemilu maupun pemilukada sebelumnya. Dalam situasi yang demikian, warga bangsa kita sedang diundang untuk kembali menegaskan peran masing-masing untuk menjadi pembawa damai.

Logika Mistika

Tentang cara berpikir masyarakat kita yang seringkali kurang rasional, pahlawan nasional kita, Tan Malaka pernah mengungkapkan idenya tentang pembongkaran ide irasional yang disebutnya sebagai logika mistika. Menurutnya, Indonesia perlu dibebaskan dari kungkungan pola pikir yang irasional, mistik, takhayul, klenik, metafisik, dan supranatural supaya penyakit lemah semangat dan lemah mental dalam perjuangan terkikis.

Dalam hal ini, orang-orang Indonesia pada zaman itu, dan mungkin juga masih tersimpan di masyarakat kita hari ini, memiliki kecenderungan untuk berpikir kurang rasional. Banyak hal ditutupi dengan berbagai pemikiran supranatural yang membuat hal-hal yang bisa diantisipasi dan dipelajari secara rasional jadi tertutup semuanya. Cara berpikir yang demikian telah membuat bangsa kita kehilangan kesempatan untuk belajar banyak hal dari sejarah. Salah satu yang terkenal adalah tentang sejarah berdirinya Candi Prambanan. Selama ini yang diketahui orang dari pendirian candi itu adalah Kisah Bandung Bondowoso dengan Roro Jonggrang.

Kisah pendirian candi semegah itu berhenti pada mitos atau legenda yang tidak memberikan pelajaran apa pun kepada masyarakat saat ini. Orang tidak belajar apapun tentang bagaimana kerajaan Mataram Kuno dengan pemimpinnya Rakai Pikatan pada tahun 850 M berunding dan memutuskan bersama-sama untuk mendirikan candi. Kita tidak belajar soal konstruksi candi sehingga candi-candi yang sekarang ada umumnya adalah candi-candi kuno dan kita kesulitan untuk merestorasi candi-candi yang sudah rusak. Lagi-lagi tanpa ada kejujuran dengan pemikiran logis, masyarakat kita kehilangan kesempatan untuk belajar dari sejarah.

Hari-hari ini, ketika kita berbicara tentang calon pemimpin bangsa, pembicaraan kita tidak sampai kepada kesadaran bahwa masing-masing calon memiliki sisi hitam putihnya masing-masing. Kalau boleh disebutkan, setiap calon adalah orang-orang dengan warna abu-abu, dalam tingkatan yang berbeda-beda. Sayangnya yang umum terjadi dengan kampanye pemilu kita adalah pemilu yang hitam putih. Calon yang didukung seakan putih seperti salju, sementara calon lain laksana hitam seperti arang.

Kita kehilangan kesempatan untuk menilai kadar abu-abu di masing-masing calon. Menjadi lebih tidak rasional lagi ketika orang-orang yang dulunya berteman dan saling memuji, berbalik saling membenci dan memandang hitam kepada kelompok yang berseberangan. Logikanya mirip dengan logika Kecap yang selalu menjadi nomer satu dan kecap merek lain entah nomer berapa (yang pasti tidak enak).

Kita kehilangan kesempatan untuk belajar dari proses pemilu ini, seperti halnya kita kesulitan mengambil hikmah dari pemilu-pemilu sebelumnya. Massa pemilih di antara kita adalah massa pemilih yang lebih mirip seperti fans sepakbola daripada orang-orang yang secara merdeka menentukan pilihan. Ungkapan Jawa mengatakan rubuh-rubuh gedang, seperti halnya serumpun pohon pisang yang tidak memungkinkan satu pohon jatuh ke sisi yang berbeda dari pohon yang lain saat terjadi angin kencang, demikianlah perilaku pemilih di Indonesia.

Hal lain yang saat ini mungkin menjadi konsumsi kita sehari-hari adalah adanya ujaran kebencian terhadap kelompok lain atau di dalam bahasa umum dikenal sebagai black campaign. Meski model semacam ini sudah terjadi berabad-abad, tetapi media sosial memungkinkan bentuk ini muncul dengan cara-cara yang sungguh masif dan kadang-kadang bar-bar. Hanya demi membela salah satu calon, orang menempatkan calon lain (dan para pengikutnya) sebagai kelompok lain yang seakan-akan tidak terhubung dengan kita. Padahal mereka adalah tetap saudara-saudari sebangsa setanah air (menyitir Soekarno), bahkan untuk sebagian orang adalah saudara-saudari sekandung.

Tentang hal ini tentu kita bisa belajar dari Pemilu 2019 dengan ungkapan cebong dan kampret. Saat ini mungkin tidak sangat pasti penamaannya, tetapi ketika orang berselancar di media sosial, orang akan tahu adanya eskalasi ujaran kebencian dan bahkan permusuhan di kalangan masyarakat kita.

Akankah dalam menyikapi kontestasi pemilu presiden, semua orang harus menempatkan diri layaknya suporter sepakbola yang harus memilih kelompok A atau B yang akan memenangkan pertandingan? Tidakkah mungkin ada orang-orang yang bertindak sebagai tali pengikat dan menyebarkan narasi alternatif tentang persatuan Indonesia di tengah-tengah kontestasi pemilu.

Pembawa Damai

Indonesia hari ini adalah negara yang sedang membutuhkan tali-tali pengikat persaudaraan. Sudah terlalu banyak alasan untuk saling membenci yang seringkali diperparah dengan kontestasi pemilu. Semakin diperlukan narasi-narasi dan upaya-upaya menyatukan antarkelompok di tengah-tengah hidup bersama. Narasi dan upaya-upaya itu saya sebut sebagai narasi dan upaya membangun perdamaian.

Tahun baru kali ini menantang kita, warga Indonesia, untuk kembali memikirkan tentang menjadi duta-duta perdamaian. Ada beberapa alasan yang bisa disampaikan tentang hal ini: logika suporter yang membuat persatuan kian rapuh; dan selalu dibutuhkan juru damai di tengah konflik.

Pertama, tentang logika suporter, Carl Schurz, seorang revolusioner Jerman pernah mengatakan, "Wrong or right is my country." (Benar atau salah, ini adalah negaraku). Ungkapan ini berarti bahwa tidak mungkinlah menunjukkan cela dari negara yang kita bela. Namun, dengan tidak mengakui adanya kelemahan dari negara kita, kita sedang melanggengkan ketidakberesan yang sedang terjadi. Semakin diperlukan masyarakat yang dengan jujur mengatakan, right is right, wrong is wrong (benar adalah benar, salah adalah salah).

Bagi masyarakat umum yang bukan bagian tim sukses (full timer yang umumnya mendapatkan keuntungan dalam berbagai bentuk dari proses pemilu), apakah tidak mungkin kita jujur kepada diri kita sendiri bahwa orang yang kita pilih adalah orang yang juga punya cacat dan punya cela. Tidak perlu kita mati-matian membela calon kita mengingat mereka memang senyatanya punya salah dan cela.

Di sisi lain ruang pengakuan akan prestasi dan kebaikan pihak lain juga perlu dibuka. Dengan cara ini kita lebih memilih ada di tengah-tengah bukan di ujung-ujung perdebatan. Pemilu ini tidak perlu dianggap sebagai oposisi biner, di mana orang-orang ditempatkan pada posisi yang saling berseberangan.

Memang media sosial yang kita baca seringkali mengarahkan kita untuk memuja berlebihan calon kita dan mengolok-olok calon yang lain, tetapi bukankah kita selalu punya kendali atas apa yang menjadi keputusan kita? Di sinilah peran cara berpikir kritis membantu kita untuk keluar dari pusaran saling menjatuhkan, menyakiti dan tidak mengakui bahwa semua ada di ruang abu-abu, tidak hitam putih.

Kedua, bangsa kita selalu membutuhkan juru damai. Sudah terlalu banyak pihak yang merasa berhak saling menyakiti, juga atas dasar perbedaan pilihan. Mari kita bangun gerakan-gerakan yang mengingatkan akan pentingnya persatuan. Semoga media sosial kita di awal Januari hingga pertengahan Februari tidak cuma dipenuhi oleh upaya saling memfitnah dan menyakiti, tetapi berisi pula ajakan untuk tetap menjaga perdamaian. Orang Jawa mengatakan, "Sing ayem wae." --kalem saja.

Akhirnya, hari-hari ini, akan ada lebih banyak orang yang merasa berhak saling menyakiti, semoga lebih banyak orang yang merasa berkewajiban saling mengasihi. Di tengah-tengah kita akan ada orang-orang yang merasa berhak saling menjelekkan, semoga lebih banyak yang merasa berkewajiban saling memuji. Semoga, seperti yang sudah-sudah, warga bangsa ini menjadi orang-orang yang punya lebih banyak alasan untuk bersatu daripada memegang begitu banyak alasan untuk saling menyakiti dan memutus tali silaturahmi.

Selamat tahun baru. Negeri kita sedang butuh kehangatan. Semoga kehadiran Anda dan saya menjadi pahlawan perdamaian yang menghangatkan relasi bersama di bumi pertiwi. Salam hangat untuk semua anggota keluarga.

Martinus Joko Lelono pengajar Pancasila dan Dialog Agama di Universitas Sanata Dharma


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Simak juga 'Jokowi: Pemilu Tinggal 45 Hari, KPU Pusat Sampai Daerah Harus Siap':

ADVERTISEMENT

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads