"Jangan kecelakaan di sini; rumah sakit masih jauh." Pesan ini sering terpampang di sejumlah spanduk di pinggir jalan-jalan kita. Meskipun terdapat unsur kejenakaan, pesan di spanduk tersebut dengan jelas hendak menyadarkan para pengendara akan pentingnya keselamatan dan risiko yang akan dialami jika kecelakaan terjadi di tempat itu. Pesan retoris ini dapat memancing perenungan tentang konsekuensi dari perilaku mereka dalam berkendara di jalan raya.
Retorika, sebagai seni menggunakan kata-kata untuk mempengaruhi pendengar atau pembaca, sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari tanpa disadari. Sebuah warung makan di Pekalongan, misalnya, menuliskan pesan dalam pigura berbunyi, "Tak perlu mati-matian menjadi spesial; kita bukan nasi goreng." Pesan tersebut bukan sekadar rangkaian kata, melainkan retorika yang disusun secara sengaja untuk menanamkan keyakinan tentang keistimewaan nasi goreng di warung tersebut.
Sebagai suatu bunga bahasa, retorika melibatkan pemilihan kata yang cermat, penyusunan kalimat yang tepat, dan penggunaan gaya bahasa yang menarik. Seorang pembicara atau penulis yang mahir dalam retorika dapat membangun suasana, mengekspresikan emosi, dan menyampaikan pesan dengan kekuatan yang mampu mempengaruhi atau merubah pandangan orang lain. Retorika bukan hanya soal teknis bahasa, tetapi juga tentang kejelian dalam menarik perhatian audiens, menggerakkan perasaan mereka, dan mendorong refleksi dalam diri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Retorika adalah bagian integral dari komunikasi sehari-hari dan dapat ditemukan di berbagai tempat, termasuk di rumah, sekolah, kantor, pos ronda, atau yang lainnya. Hal ini karena kemampuan untuk menyampaikan pesan dengan efektif diperlukan dalam berbagai situasi. Retorika juga merambah ke media sosial. Penggunaan kata, gambar, dan pesan di platform sosial seringkali dirancang secara khusus untuk mempengaruhi opini, menyuarakan pandangan, atau bahkan untuk kampanye politik.
Retorika dan politik
Dalam ranah politik, retorika memiliki peran yang penting. Para pemimpin politik memanfaatkan retorika untuk membangun citra diri, mengartikulasikan visi mereka, dan membentuk opini publik. Sebuah pidato politik yang memikat mampu menginspirasi rakyat, menggerakkan massa, bahkan mengubah jalannya sejarah. Retorika politik juga kerap digunakan untuk mengekspresikan keyakinan ideologis, mengkritik lawan politik, atau merayu pemilih guna mendapatkan simpati dan dukungan mereka.
Sebuah contoh yang masih segar dalam ingatan kita adalah frasa 'politik genderuwo' yang populer pada pemilihan presiden pada 2019. Frasa ini mengandung metafora, sebuah elemen penting dalam retorika. Dengan menggambarkan rival politik sebagai "genderuwo," sebuah makhluk gaib raksasa yang mengerikan, penutur bermaksud menyindir pemain politik yang kerap menggunakan propaganda negatif untuk menakut-nakuti masyarakat. 'Politik genderuwo' menyiratkan suatu cara berpolitik yang tidak etis.
Sejarah Indonesia juga mencatat beberapa founding fathers yang mahir dalam seni retorika. Dikisahkan, dalam percakapan dengan Ahmad Subardjo perihal terbentuknya Kabinet Parlementer pimpinan Sutan Sjahrir, Soekarno pernah mengungkapkan, "Seperti rotan, saya hanya melengkung, tidak patah." Metafora rotan digunakan untuk menyatakan ketahanan dan keteguhan Soekarno dalam menghadapi tekanan atau tantangan. Metafora ini dipilih untuk menciptakan gambaran yang kuat dan mudah diingat oleh si pendengar.
Jonathan Charteris-Black (2011) dalam bukunya yang berjudul Politicians and Rhetoric menulis, "It has always been preferable for the governed to be ruled by the spoken words rather than by the whip, the chain, or the gun." Pernyataan ini menyiratkan bahwa pemerintahan yang efektif dan berkelanjutan lebih mungkin terjadi melalui komunikasi yang baik (baca: retorika) dan pemahaman bersama antara pemerintah dan rakyat, bukan melalui paksaan atau ancaman fisik.
Kemampuan retorika seorang pemimpin bukan hanya mencerminkan keahliannya dalam berbicara, tetapi juga menunjukkan kesabaran dalam mengelola masyarakat yang majemuk. Pemimpin yang mahir dalam retorika dapat menjembatani perbedaan pendapat dengan kata-kata bijak, memfasilitasi dialog terbuka, dan membangun pemahaman bersama. Dengan menekankan retorika, pemimpin akan menciptakan lingkungan yang mendukung nilai-nilai demokrasi, seperti partisipasi warga dan penghormatan terhadap keragaman. Retorika dapat mengurangi potensi konflik.
Retorika di tahun politik
Dalam suasana tahun politik, pemahaman retorika memiliki peran yang semakin krusial dibandingkan sebelumnya. Maraknya media sosial dan aliran informasi yang cepat membuat kemampuan menganalisis dan memahami penggunaan kata-kata menjadi modal yang berharga. Pemilih yang cerdas dapat menyaring informasi dari pemimpin politik dan menggali makna yang tersembunyi di dalamnya. Pemahaman retorika memainkan peran penting dalam meningkatkan nalar kritis masyarakat dan memungkinkan mereka membuat keputusan politik yang lebih tepat.
Oleh karenanya, pendidikan retorika di sekolah dan masyarakat menjadi sangat penting agar generasi muda dapat mengembangkan keterampilan analisis. Masyarakat yang terdidik secara retoris akan mampu mengenali manipulasi kata-kata dan mengidentifikasi kelemahan logika. Dalam konteks demokrasi, pemahaman retorika membekali masyarakat dalam menentukan calon pemimpin di suatu pemilihan umum. Obrolan politik bukan lagi topik yang eksklusif bagi komunitas tertentu, melainkan menjadi ranah yang dapat diakses dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat.
Terkait kesadaran politik dalam masyarakat ini, pemikir Prancis, Alexis de Tocqueville (1805 -1859), mengisahkan kehidupan masyarakat Amerika pada abad kesembilan belas berdasarkan penelitiannya. Di Amerika, menurutnya, politik menjadi fokus utama pendidikan. Bahkan, juri sudah diperkenalkan dalam permainan anak-anak di sekolah, dan kehidupan parlemen menjadi topik pembicaraan yang mendalam ketika pesta-pesta berlangsung. Tocqueville menyimpulkan bahwa kemajuan Amerika sulit dikejar karena masyarakatnya cenderung membawa isu-isu publik ke dalam percakapan pribadi.
Ketika kesadaran politik semakin meluas di kalangan masyarakat, pemahaman mereka terhadap peran retorika dalam arena politik pun ikut meningkat. Kesadaran politik ini menyiapkan mereka untuk lebih cermat menganalisis dan menafsirkan pesan-pesan politik yang disampaikan oleh para pemimpin. Dengan memahami retorika, warga dapat lebih kritis dalam menyaring informasi, mengidentifikasi strategi komunikasi, dan menilai argumentasi politik. Masyarakat semakin mengenali bagaimana kata-kata dapat menjadi alat kekuasaan dan bagaimana seni berbicara dapat membentuk persepsi politik.
Pada akhirnya, merayakan berbagai retorika dapat membawa dampak positif dalam pengembangan wacana publik. Keanekaragaman retorika menghadirkan 'ruang' diskusi yang lebih mendalam, memperluas sudut pandang, dan merangsang pemikiran kritis di kalangan masyarakat. Lebih jauh, retorika akan memperkaya keseluruhan dinamika sosial dan kualitas hidup bersama dalam suatu bangsa.
Muhammad Jauhari Sofi mengajar Intercultural Communication di UIN KH Abdurrahman Wahid, Pekalongan