Makna Ganda Politik Gemoy
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Makna Ganda Politik Gemoy

Kamis, 28 Des 2023 15:19 WIB
Edward Wirawan
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
edward wirawan
Edward Wirawan (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Frasa "bocah kosong" dan "gemoy" sangat populer belakangan ini. Keduanya berkelindan erat dengan komedi. Bocah kosong adalah olok-olok pada anak generasi sekarang yang fasih dengan game dan teknologi tapi gagap dalam wawasan sejarah dan pengetahuan. Bagi mereka yang penting adalah santuy (plesetan santai) dan gemoy.

Kata gemoy adalah plesetan dari kata "gemas". Gemoy ditujukan pada sesuatu atau seseorang yang membangkitkan perasaan lucu, menggelitik, dan menghadirkan gelak tawa. Kata yang sedang naik daun ini bertambah tenar ketika digunakan oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo-Gibran (PG). Gemoy menjadi semacam slogan PG. Bahkan, dengan kecanggihan Artificial Intelligence, foto PG dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi tampak menggemaskan.

Citra Prabowo yang berapi-api dan gambar Gibran yang kalem seakan hilang tiba-tiba. Citra yang muncul adalah gemoy dan santuy. Betapa dahsyatnya sebuah kata. Ia bisa memberi identitas baru pada sesuatu dan seseorang. Tetapi apakah kata juga bisa membuat sesuatu atau seseorang itu menjadi lahir baru?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menyasar Pemilih Muda

Rian Ernest, Juru bicara TKN Prabowo-Gibran (TKN PG), menyoroti hal ihwal tenarnya kata tersebut. Gemoy, kata Ernest, muncul secara alami sebagai konsekuensi atas seliweran konten di media sosial. Prabowo belakangan memang sering menari. Tak pelak, itu memantik tawa karena tampak lucu dan menggemaskan. Prabowo sendiri punya alasan yang mengakar kuat pada kenangan masa kecilnya. Kata Prabowo, dulu kala, saat berkunjung ke rumah eyangnya, ia seringkali disambut dengan tari-tarian.

ADVERTISEMENT

Tapi boleh jadi, julukan itu memang menyasar pemilih muda dua generasi (milenial dan gen Z) yang mendominasi daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2024. Tentang ini saya sudah ulas dalam opini yang diterbitkan Harian Kompas edisi 6 November berjudul Dua Wajah Gibran. Bahwa salah satu kalkulasi penunjukan Gibran sebagai capres adalah untuk mewakili pemilih muda yang mencapai 56,4 persen itu. Kandidat yang meraih arus besar pemilih muda, meretas jalan menuju ke istana.

Kini, populernya kata gemoy sepenarian dengan menanjaknya elektabilitas PG. Survei lembaga survei nasional pada awal November 2023 menempatkan Prabowo-Gibran di posisi 42,1 persen. Jauh mengungguli Ganjar-Mahfud, 28,8 dan Anies-Cak Imin 25,2. Terkini, survei Litbang Kompas, lagi-lagi menempatkan PG di urutan teratas 39,3 diikuti Anies-Cak Imin 16,7 dan Ganjar-Mahfud, 15,3.

Kata gemoy memang telah memberi identitas baru pada PG terutama di pemilih muda. Identitas lama seperti bagian dari dinasti Orde Baru, oligarki hingga kisruh reformasi 1998 yang menyeret nama Prabowo seakan ditelan lupa.

Gemas yang Mencemaskan?

Lantas, strategi politik gemoy menuai kritik lawan politik. Gimik itu dianggap menghilangkan substansi dan terkesan bersembunyi dari peristiwa masa lalu. Para lawan politik memutar kembali lagu kalut muram peristiwa reformasi 1998 yang mana Prabowo dianggap bermasalah dengan isu itu.

Ini diperkuat ketika TKN PG menyatakan bahwa isu HAM bukan isu prioritas. Andre Rosadi dari TKN PG menganggap itu sebagai kaset rusak yang diputar lima tahun sekali. Apa lagi tidak ada bukti berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa Prabowo bersalah.

Mungkin bagi generasi X yang menjadi bagian dari masa traumatis itu, akan terus ngotot dengan isu pelanggaran HAM Prabowo. Tetapi bagi pemilih muda, mereka nyaris tidak kenal itu. Pemilih muda lebih konsen pada isu lapangan kerja dan pengangguran. Hal itu berbanding lurus dengan data Badan Pusat Statistik per Agustus 2023, di mana sekitar 65 persen dari 7,86 juta jiwa angka pengangguran adalah gen Z dan milenial.

Maka gemoy tidak lagi bermakna tunggal tetapi taksa (ganda). Gemoy sebagai gemas tetapi juga mencemaskan. Bagaimana bentuk pergeserannya? Pertama, Pemilu 2024 adalah momen sirkulasi elit politik. Dari pihak kandidat, harus ada program dan jawaban atas semua isu strategis. Itu esensi politik. Maka politik gimik yang berlebihan menjadi sensasi yang menggiring kita lupa pada esensi. Ini menjadi soal, sebab rentan menghindari substansi.

Kedua, Gimik gemoy adalah sebuah citra. Tujuannya membuat yang memandang menjadi gemas, lalu suka, lalu dipilih. Dalam kegemasannya, orang praktis lupa akan apa yang ada di dalam gemoy itu. Padahal penting bagi demokrasi untuk mengkoreksi calon pemimpin termasuk dengan mengulik isi kepala, pengakuan dan komitmen mereka.

Novelis besar Milan Kundera (1929-2023) menulis. "Perjuangan kita melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa." Bahwa sekalipun orang menjadi tuli karena kerasnya suara musik (kritikan), kita justru tetap harus membuat musiknya keras, bahkan lebih keras lagi. Itu untuk menunjukkan bahwa kita pemutar musik yang tidak lupa.

Artinya melawan kekuasaan berarti memelihara ingatan. Tetapi dapatkah kita mengingat sesuatu yang tidak kita alami dan rasakan? Di sinilah letak problematis masalah itu. Kita tidak bisa memaksakan "bocah kosong" untuk mengingat dan merasakan momen traumatik bangsa ini seperti G 30 S/1965, reformasi 1998 hingga konflik Poso dan Sampit di awal milenium 2000.

Sejarah memang penting. Tetapi harapan lebih penting lagi. Pekerjaan bangsa ini adalah mengisi generasi muda dengan harapan. Bagi yang mengejar kekuasaan, perjuangannya adalah menghadirkan harapan berupa ide dan program sebagai jawaban atas masalah pengangguran, korupsi, dan soal strategis lainnya. Bagi yang mengkoreksi kekuasaan, perjuangannya adalah melawan lupa dengan memelihara ingatan, tapi bukan dendam. Karena dendam tidak pernah kekal, apalagi dalam politik.

Lantas, gemoy kemudian tidak hanya tentang gemas, cemas, tetapi juga harapan. Bongbong Marcos Jr, menjadi Presiden Filipina 2022 lalu; 36 tahun setelah kejatuhan ayahnya Ferdinand Marcos yang diktaktor itu. Bongbong menang dengan mengeruk keuntungan dari basis pemilih muda yang dominan.

Naiknya Marcos Jr yang didukung generasi "gemoy" Filipina dipuji dan dikritik. Bagi para pengkritiknya, itu adalah kembalinya politik kronisme. Bagi para pendukungnya, ia adalah harapan baru untuk membawa Filipina lebih digdaya lagi. Setidaknya, itu basis reasoning bagi pemilih muda Filipina yang mayoritas itu.

Yang menarik, Indonesia menjadi negara pertama yang dikunjungi Presiden Bongbong Marcos. Alasan Marcos, Indonesia memiliki kemiripan sejarah politik. Kita persis tidak tahu, apakah Prabowo menduplikat strategi Bongbong? Apakah sejarah memang betul ==seperti kata Philip Guedalla (1889-1994)-- mengulang dirinya sendiri; hanya dengan latar yang berbeda?

Entahlah. Tetapi dengan melepaskan pikiran dari kecamuk sensasi politik, kita perlu memelihara ingatan bahwa Indonesia adalah bangsa besar yang beragam latar sosial, budaya, agama, dan suku bangsa. Kita mungkin berbeda pendapat dengan kata gemoy yang lahir dari generasi Z dan milenial. Tetapi kata lain dari mereka "santuy" rasa-rasanya perlu jadi pegangan sosial politik bangsa ini.

Politik memang kerap rentan dengan gesekan sosial dan ketegangan. Karena itulah, gelak tawa menjadi penting untuk hadir dan mengurai tensi persaingan itu; untuk merawat persatuan; untuk mengganti dendam dengan harapan. Harapan itu yang ingin kita dengarkan dari para kandidat berupa gagasan, program konkret dan terutama komitmen.

Edward Wirawan Direktur Kasimo Institute/Analis Politik

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads