Merawat Demokrasi di Ruang Digital
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Merawat Demokrasi di Ruang Digital

Selasa, 19 Des 2023 15:00 WIB
Muhammad Kamarullah
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi Media Sosial
Foto ilustrasi: Getty Images/iStockphoto
Jakarta -

Perkembangan media sosial yang masif saat ini telah menggerus kebiasaan-kebiasaan lama yang sifatnya konvensional menuju digitalisasi. Kebanyakan aktivitas yang umumnya dilakukan tatap muka kini bergeser ke digital atau aktivitas melalui media sosial (medsos). Tidak terkecuali dalam dunia politik kita.

Pengguna (user) menjadikan medsos sebagai wadah untuk berekspresi dengan segala bentuk konten kreatif seperti komik, meme, video, dan berbagai narasi politik serta opini yang sifatnya kritikan maupun pikiran cerdas untuk merespons satu fenomena politik. Semua itu dilakukan atas keresahan mereka. Dalam konteks ini harus dimaknai sebagai upaya untuk mengisi ruang-ruang demokrasi. John Keane dalam Democracy and Media Decadence (2013) menyebutknya sebagai era kelimpahan komunikatif.

Tentu saja, banyak sisi positif dan negatif dalam menggunakan medsos. Satu sisi, medsos banyak berperan sebagai wadah sharing informasi, transformasi, dan memfasilitasi aktivitas manusia yang terhalangi ruang. Di sisi lain, tak sedikit yang memanfaatkan medsos sebagai instrumen menyebarkan berita bohong (hoax), menebar fitnah, dan bahkan aksi propaganda yang berujung perpecahan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ruang terbuka luas medsos yang diisi oleh masifnya informasi ini barang tentu berimplikasi pada perkembangan demokrasi kita. Hal ini tidak terlepas dari rezim post-truth yang secara tidak sadar memancing emosionalitas orang terhadap satu informasi yang disebar melalui medsos tanpa peduli pada fakta dan kebenarannya.

Memperkuat Demokrasi Digital

ADVERTISEMENT

Warisan revolusi industri harus disadari membawa gelombang baru dalam proses demokratisasi di dunia, termasuk di Indonesia. Adanya digitalisasi ini memberikan kemudahan dalam aktivitas masyarakat dalam kehidupan demokrasi. Bagaimana misalnya teknologi digital turut serta mempengaruhi proses demokrasi itu sendiri.

Lihat saja, berbagai aktivitas politik seperti mobilisasi, strategi kampanye, polarisasi opini publik, hingga paradigma tata kelola pemerintahan yang konvensional kini hampir semua dilakukan dengan menggunakan basis digital.

Berkaitan dengan era medsos ini, dalam beberapa momentum politik belakangan, diskursus politik di ruang medsos banyak didominasi oleh narasi-narasi yang sensitif seperti politik identitas dan semacamnya. Sehingga kita semacam menyaksikan ironi bangunan tubuh demokrasi yang sedang mengalami kekacauan. Di mana dalam demokrasi yang menjunjung tinggi rasionalitas (otak), kini dipenuhi dengan berbagai caci dan makian yang akut.

Bahkan narasi demikian tak jarang dimobilisasi oleh buzzer atas titipan sekelompok elit tertentu. Tagar-tagar yang berseliweran di Twitter dan Facebook menjadi dagangan politik para elit politik demi melemahkan lawan politik. Serta sebagai upaya untuk meraih simpati masyarakat dengan mengglorifikasikan satu identitas tertentu.

Tentu saja fenomena ini hendaknya direfleksikan sebagai gejala kemunduran demokrasi. Praktis, demokrasi akan terancam bila tidak ada agenda mengatasi kesenjangan dalam pemanfaatan teknologi dengan kapasitas rasionalitas yang mumpuni. Yang paling menakutkan adalah pendekatan rasionalitas akan tergantikan dengan pendekatan emosional dalam menyikapi satu informasi.

Padahal yang kita harapkan adalah dengan keleluasaan di ruang maya ini membawa visi prospektif untuk menghadirkan karakter demokrasi dalam artian yang sesungguhnya. Yakni dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Serta mampu menggerakkan arah politik kita yang lebih beradab lagi.

Dalam konteks ini, menjadi catatan penting bagi kita adalah perkembangan demokrasi melalui perangkat digital ini harus diimbangi dengan pola berpikir yang sehat. Jangan sampai kita lebih banyak bertindak "yang tidak-tidak" daripada berpikir. Sebab, pola pikirlah yang menjadi penentu bagi tumbuh kembangnya demokrasi di Indonesia. Jika tidak, barangkali laju media sosial justru akan menjadi salah satu variabel kemunduran demokrasi kita.

Tugas Milenial

Pertanyaannya kemudian, apa tugas milenial dalam hubungannya dengan demokrasi digital? Tentunya kita harus memulainya dengan data yang dirilis oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2019 - 2020 yang menunjukkan kebanyakan milenial mengakses gawainya. Terhitung presentasi para pengguna ialah rata-rata usia 15 - 19 tahun sebanyak 91 persen dan usia 20 - 24 tahun sebanyak 88,5 persen.

Generasi milienial mengakses internet untuk media sosial sebanyak 51 persen dan berkomunikasi 32 persen. Sehingga fakta ini menunjukkan negara Indonesia menjadi negara dengan urutan ke tiga setelah India dan China yang mengalami peningkatan pengguna media sosial menurut hasil survei HootSuit pada 2020 lalu. Data ini menunjukkan bahwa kaum milenial harusnya memiliki peran yang sangat signifikan dalam membangun demokrasi kita di ruang digital.

Fakta ini mengindikasikan adanya kekuatan dari generasi milenial yang adaptif terhadap digitalisasi termasuk dalam politik. Artinya, peta politik saat ini yang terkesan bermanuver dengan gaya top- down, akan berubah menjadi bottom- up. Masyarakat umum, khususnya para milenial tidak hanya menjadi penonton dalam aktivitas politik, tetapi menjadi penentu kebijakan politik itu sendiri.

Harus diakui, ruang digital saat ini adalah milik generasi milenial. Berkelindan dengan itu, meminjam konsep ruang publik (public sphere) Jurgen Habermas bahwa ruang publik diciptakan dengan tujuan untuk merasionalkan dominasi politik dengan memberikan tanggung jawab negara pada warga negaranya. Dalam hal ini, ruang publik publisitas merujuk pada media masa serta media sosial. Di mana ruang-ruang ini dapat diisi oleh milenial sehingga terbentuknya demokrasi digital yang kita harapkan.

Maka peran milenial dalam konteks politik hari ini ialah bagaimana berupaya untuk memberikan diskusrus politik di ruang digital yang lebih sehat. Menguatnya narasi politik dominan yang mengarah pada perpecahan harusnya dilawan oleh milenial dengan konter narasi.

Selain itu, fenomena demonstrasi besar-besaran sepanjang 2019 - 2020 merupakan bukti bahwa pengaruh milenial dalam mengawal proses demokratisasi melalui media sosial begitu besar. Kebijakan pemerintah terkait pengesahan UU Cipta Kerja maupun RUU KPK yang dinilai tidak berpihak pada rakyat kemudian mendapat penolakan oleh banyak kalangan. Para mahasiswa berkonsolidasi dan melakukan kajian secara online berupaya membangun gerakan perlawanan. Bahkan aksi penyebaran pamflet dan kampanye-kampanye melalui media sosial begitu masif terjadi.

Akhirnya, lewat ruang-ruang digital inilah, generasi milenial dapat merepresentasikan suara masyarakat dengan lebih baik. Milenial bertanggung jawab untuk merawat demokrasi dengan menjaga agar ekosistem ruang digital diisi dengan percakapan yang sehat. Satu-satunya untuk menyelamatkan demokrasi kita. Sebab, demokrasi yang kita raih hari ini begitu mahal harganya. Ia diperjuangkan dengan tumpahan darah bahkan nyawa.

Muhammad Kamarullah lulusan FISIP Universitas Muhammadiyah Malang

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads