Ade Armando (AA) membuat pernyataan yang kontroversial. Kalau mau melawan politik dinasti, ya, politik dinasti yang sesungguhnya adalah Daerah istimewa Yogyakarta. Pernyataan itu diikuti sebuah pendapat bahwa Gubernur DIY, dalam hal ini Sultan Hamengkubuwono X adalah gubernur karena garis keturunan.
Pernyataan itu telah menimbulkan polemik yang panjang; sejarah digunakan sebagai suatu alat untuk membangun wacana politik-menyerang lawan, tanpa memerhatikan konteks dan fakta yang sebenarnya. Anne Valk dalam buku berjudul Politics of Memory: Making Slavery Visible in the Public Space memaparkan bagaimana masyarakat dan pemerintah dapat memilih untuk mengingat atau mengabaikan aspek-aspek tertentu dari sejarah mereka untuk memenuhi agenda politik atau ideologis. Dan, hari ini kita sedang menyaksikan AA menjadi aktor dalam memainkan politisasi ingatan untuk mencapai agenda ideologisnya.
Permainan Wacana
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya ragu, jika ada yang mengatakan bahwa AA tidak memahami konteks historis keistimewaan Yogyakarta. Melihat dari latar belakangnya sebagai seorang akademisi, ia tentu paham bagaimana sebuah pengetahuan dan wacana diproduksi. AA sedang memainkan peranannya sebagai produsen wacana untuk mencapai cita-cita politiknya.
Pertama, ia melihat tuduhan 'politik dinasti' yang menimpa Prabowo-Gibran sebagai modal. Dari pernyataannya yang menyerang lawan politik --Ganjar Pranowo, yang dinilai memainkan peranan penting dalam melegalkan politik dinasti di Yogyakarta-- AA berupaya meyakinkan publik bahwa yang paling layak 'ditersangkakan' dalam isu politik dinasti adalah Ganjar, karena ia ikut mengesahkan Undang-Undang Keistimewaan (UUK).
Kedua, secara provokatif, Ia berusaha mengarahkan serangan mahasiswa berbalik menjadi serangan pada lawan politiknya. Namun, pola yang dibangun dan kasus yang dipakai justru menjadi 'senjata makan tuan' yang berbuntut panjang. Sebagai politisi, AA masih menganggap dirinya 'akademisi' yang pernyataannya dinilai selalu berdasar dan benar. Sikap inilah yang membuat AA sering mengalami blunder, dan sulit memperhitungkan setiap ucapan dan perbuatannya.
Dunia politik dan dunia kampus jauh berbeda. Di Kampus, sebagai dosen AA bebas melontarkan pendapat apapun tanpa khawatir mendapat serangan yang tajam dari lawan bicaranya yang mayoritas mahasiswa sarjana, sedangkan di dunia politik nasional, sekecil apapun kesalahan baik dalam ucapan maupun tindakan dapat berdampak yang fatal. Wacana yang dibangun AA tidak bersumber dari pemahaman historis yang umum, sehingga banyak sekali penolakan bahkan perlawanan terhadap wacana itu.
AA memilih kasus DIY sebagai contoh politik dinasti hari ini, padahal semua orang sedang mempertanyakan Gibran yang menjadi cawapres dengan jalan mengubah undang-undang. AA membandingkan dua hal yang jauh berbeda; ia bukan saja sedang 'merendahkan' Keistimewaan Yogyakarta, tetapi yang lebih penting, sedang mengajak masyarakat untuk memahami konteks sejarah yang tidak lengkap dan politis. Dan, dampaknya yang muncul ke permukaan justru sekedar ambisi politik dan logical fallacy.
Cerita Sejarah
Keistimewaan Yogyakarta tidak lahir begitu saja, ada proses sejarah yang barangkali tidak setiap kerajaan di Nusantara mampu melakukannya. Ketika Indonesia diproklamirkan, sehari berselang, Sultan Hamengkubuwono (HB) IX mengirimkan surat resmi yang bermakna dukungan kepada republik, dan dengan itu ia bersedia membantu sepenuhnya perjuangan kemerdekaan.
Dalam buku Takhta untuk Rakyat, HB IX memberikan amanat di tanggal 5 September 1945 yang memuat tiga pokok persoalan. Pertama, Yogyakarta berbentuk kerajaan yang merupakan Daerah Istimewa bagian dari republik. Kedua, kekuasaan dalam negeri dan urusan pemerintahan berada di tangan Sultan HB IX. Ketiga, hubungan Yogyakarta dengan republik bersifat langsung dan Sultan HB IX bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Sebelum maklumat itu dikeluarkan, Belanda terlebih dahulu merayu Sultan untuk menolak kemerdekaan Indonesia dan tetap bersetia kepada Ratu Belanda. Sultan diberikan tawaran oleh pihak Belanda terkait dengan status dan kedudukan khusus Yogyakarta di bawah kendali Belanda, termasuk hak istimewa tertentu bagi Sultan dan pemerintahan setempat. Namun, Sultan menolak tawaran tersebut dan memilih untuk mendukung Republik Indonesia.
Keputusan Sultan untuk mendukung Republik Indonesia memiliki dampak simbolis yang penting dan menjadi salah satu momen krusial dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Penolakan Sultan itu bukan disebabkan karena sikap oportunis yang mencerminkan keinginan berkuasa. Sultan mendukung kemerdekaan Indonesia dengan alasan-alasan yang kompleks, termasuk pertimbangan etika, nasionalisme, dan dukungan terhadap perjuangan rakyat Indonesia.
Sudah sejak lama, Sultan menolak sistem kolonialisme, yang menurutnya telah menciptakan konflik tak berkesudahan di lingkungan Istana maupun di masyarakat bawah. Terlebih, pada abad ke-19, beberapa raja atau kepala tradisional di Indonesia diangkat atau diakui oleh pemerintah kolonial Belanda melalui perjanjian atau traktat yang disebut Contracten (perjanjian) atau Vorstencontract (perjanjian dengan raja).
Dalam perjanjian semacam itu, kepala tradisional setuju untuk mengakui kedaulatan Belanda dan berjanji setia kepada pemerintah kolonial. Namun, perjanjian semacam itu tidak selalu bersifat sukarela atau tanpa tekanan. Kadang-kadang, kepala tradisional setempat dihadapkan pada situasi yang sulit, termasuk ancaman atau tindakan militer oleh Belanda, yang mungkin mengakibatkan mereka menandatangani perjanjian demi mempertahankan keberlanjutan pemerintahan lokal mereka.
Perjanjian itu dinilai oleh Sultan sebagai bentuk nyata praktik kolonialisme yang melahirkan penindasan, awalnya kepada pemimpin lokal, dan akhirnya berdampak kepada rakyat. Sultan HB IX adalah salah satu yang berani menunjukkan penolakan itu, karena ia menganggap bahwa Kesultanan Yogyakarta adalah negeri yang merdeka dan tidak berada di bawah Kerajaan Belanda. Semangatnya itu juga mencerminkan pemikiran modern yang didapatkan semasa menimba ilmu di Belanda.
Tidak sampai di situ, pada waktu Indonesia memasuki masa Revolusi, salah satu momen terkenal terkait penolakan Sultan HB IX adalah ketika Belanda mencoba memaksanya untuk menandatangani perjanjian yang dikenal sebagai Gentlemen's Agreement pada 1948. Perjanjian tersebut bertujuan untuk memberikan pengaruh lebih besar kepada Belanda di Yogyakarta. Namun, Sultan HB IX menolak menandatangani perjanjian tersebut dan lebih memilih mengundurkan diri apabila Belanda memaksa.
Dari serangkaian cerita sejarah di atas, yang paling penting dalam periode berikutnya adalah Yogyakarta bersedia menjadi Ibu Kota sementara di saat para pemimpin republik terusir dari Jakarta yang telah dikuasai oleh Belanda. Dan, Sultan memberikan jaminan untuk membiayai segala macam operasional selama para pemimpin republik berada di Yogyakarta. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan "Indonesia berhutang kepada Kesultanan Yogyakarta."
Tentu saja ini tidak diasosiasikan dengan utang dalam bentuk materiil, melainkan hutang budi, yang tidak semua kerajaan lokal pada waktu itu berani mengambil sikap semacam itu dengan resiko yang sangat berat bagi pemimpinnya.
Politisasi
Kita sedang menyaksikan politisasi sejarah yang dimainkan oleh AA untuk memenangkan kepentingan politiknya. Ia bukan saja sedang 'menembak lawan' yang sedang dihadapi, tetapi peluru yang telah dilepaskan justru menjadi peluru yang tak terkendali.
Politisasi sejarah dalam pemilu merujuk pada penggunaan narasi sejarah atau interpretasi sejarah untuk kepentingan politik tertentu selama periode pemilihan umum (pemilu). Fenomena ini dapat terjadi ketika kelompok politik atau kandidat menggunakan narasi sejarah untuk memperkuat pesan politik mereka, membangun identitas, atau menggambarkan diri mereka sebagai pewaris nilai-nilai historis yang dianggap penting oleh masyarakat.
Fenomena AA menunjukkan pesan yang kuat bahwa dalam pemilu kali ini sejarah menjadi satu variabel penting yang berpengaruh dalam membentuk wacana dominan di masyarakat. Latar belakang akademisi, ternyata tidak membuat seseorang bersikap bijak dalam melihat sejarah dan memproduksi pengetahuan.
Politisasi yang sedang kita hadapi saat ini adalah reinterpretasi sejarah di mana pihak politik mencoba untuk menafsirkan ulang peristiwa sejarah untuk mencocokkan narasi atau agenda politik mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan menonjolkan aspek-aspek tertentu dari sejarah yang mendukung pesan politik mereka, sementara mengabaikan atau merendahkan aspek-aspek yang bertentangan.
Kita juga sedang menyaksikan 'pembiasan fakta sejarah'; AA menjadi aktor dalam penyajian yang tendensius terhadap fakta-fakta sejarah untuk mendukung narasi politik kelompoknya. Hal ini dapat mencakup penekanan berlebihan pada fakta sejarah tertentu, sementara mengabaikan kekurangan atau kejadian yang mungkin merugikan citra politik mereka.
Jon Lawrence dalam artikel berjudul The Culture of Elections in Modern Britain menjelaskan bahwa manipulasi informasi dalam pemilu dapat berdampak pada segregasi sosial dan munculnya kesenjangan di antara pemilih-akhirnya dapat menciptakan konflik pasca pemilu. Apa yang dilakukan AA tentu saja mencerminkan bahwa budaya politik masyarakat kita tidak dalam keadaan yang baik, narasi bernuansa konflik yang diawali oleh pembiasan dan manipulasi informasi akan berdampak fatal bagi masa depan demokrasi Indonesia.
AA telah salah kaprah dalam hal ini. Tidak sepantasnya pemilu dijadikan ajang untuk memainkan 'kartu permusuhan', baik dalam wacana maupun tindakan, yang bisa menciptakan instabilitas sosial. Di sisi lain, dorongan untuk melahirkan pemilu yang berwibawa terus muncul dari berbagai kalangan. Dan, apakah AA layak mendapatkan cancel culture? Saya rasa masyarakat yang akan menilai, dan ini adalah bagian dari pendewasaan politik Indonesia hari ini dan masa yang akan datang.
Ganda Febri Kurniawan dosen Sejarah Politik FISIP UNNES
(mmu/mmu)