Generasi Z dan Pemilu yang Berkualitas
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Generasi Z dan Pemilu yang Berkualitas

Selasa, 12 Des 2023 14:30 WIB
Fikram EkaPutra
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi Surat Suara Pemilu
Ilustrasi: Fuad Hasim
Jakarta -

Beberapa bulan menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menandai fase krusial bagi seluruh peserta yang terlibat; pertarungan sejatinya sudah dimulai sejak saat ini. Dinamika adu strategi dan taktik menjadi pemandangan umum yang mengiringi atmosfer politik menjelang tahun pemilihan. Pemilu 2024 esensialnya bukan hanya merupakan akhir dari pertarungan, melainkan juga puncak dari rangkaian persaingan yang telah diawali sebelumnya.

Sebelum mencapai puncak pertarungan, saya merasa penting untuk menggarisbawahi beberapa aspek potensial yang dapat menjadi pemicu kecurangan dalam ajang ini. Meskipun kita berharap agar pemilu menjadi wadah persaingan yang sehat, penting untuk memastikan bahwa kompetisi ini berlangsung dengan keadilan yang tertanam kuat. Dengan demikian, pemenang dari pertarungan ini seharusnya adalah mereka yang secara layak dan kompeten meraih kemenangan, sehingga hasilnya dapat diterima secara positif oleh masyarakat.

Jika kita menggali lebih dalam, menciptakan Pemilu 2024 sebagai panggung pertarungan yang adil menjadi tugas yang tidak ringan. Pemilu yang sejati adil hanya mungkin terwujud ketika para pemilih memegang peran kunci sebagai subjek aktif dalam proses tersebut. Namun, sayangnya politik praktis yang cenderung menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi dapat merusak upaya untuk mewujudkan pemilu yang adil. Praktik politik semacam itu dapat mengubah peran alamiah para pemilih dari subjek yang seharusnya aktif menjadi objek yang dipengaruhi dalam proses pemilihan. Hal ini bisa merusak esensi pelaksanaan pemilu dalam kerangka negara demokratis.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Diupayakan Secara Kolektif

Walaupun dihadapkan pada beragam tantangan, usaha untuk menjaga integritas pemilu harus terus diupayakan secara kolektif. Salah satu langkah konkret yang dapat kita ambil adalah mengurangi dampak politik praktis terhadap para pemilih. Untuk mencapai hal ini, penting bagi kita untuk memahami dinamika pemilih pada 2024, termasuk mengidentifikasi celah-celah yang mungkin dimanfaatkan oleh praktik politik praktis.

ADVERTISEMENT

Pertama-tama, penting untuk memahami bahwa menurut data terbaru dari Kementerian Dalam Negeri per 31 Desember 2021, terdapat sekitar 68.662.815 jiwa penduduk Indonesia yang tergolong dalam generasi Z dengan rentang usia 10 - 24 tahun. Dengan jumlah sebanyak itu, diprediksi bahwa generasi Z akan menjadi kekuatan dominan dalam pemilihan, menyumbang proporsi suara antara 40 hingga 50 persen. Hal ini berarti bahwa suara generasi Z akan memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap hasil Pemilu 2024 mendatang.

Dengan proporsi yang signifikan, jelas bahwa suara generasi Z akan menjadi sasaran utama dalam Pemilu 2024. Keberadaan pemilih generasi Z yang mencapai proporsi tinggi juga menjadikan mereka target potensial untuk praktik-praktik kotor dalam politik praktis. Oleh karena itu, kita perlu mampu mengidentifikasi dan memetakan celah-celah yang dapat dimanfaatkan oleh para pelaku politik praktis di kalangan generasi Z. Terdapat beberapa celah yang perlu kita teliti.

Pertama, dominasi pemilih pemula di kalangan generasi Z, dengan rentang usia 10 - 24 tahun. Pemilih pemula cenderung memiliki keterbatasan pengalaman dan pengetahuan politik. Kondisi ini semakin diperparah oleh kenyataan bahwa sebagian besar generasi Z kurang mendapat pemahaman politik yang memadai melalui pendidikan. Inilah celah yang paling rentan dieksploitasi oleh praktik politik praktis, berpotensi merusak integritas Pemilu 2024.

Kedua, generasi Z dikenal sebagai generasi yang sangat terkait dengan teknologi digital. Meskipun sebagian besar interaksi mereka terjadi dalam ruang digital, keakraban dengan teknologi digital tidak selalu berarti kecerdasan dalam penggunaannya. Menurut data yang dirilis oleh Kominfo pada 2022, indeks literasi digital di Indonesia berada dalam kisaran 3,49 dengan kategori sedang. Dengan kata lain, literasi digital di Indonesia masih belum mencapai tingkat yang memadai.

Kondisi ini dapat menjadi medan subur untuk penyebaran berita hoaks selama Pemilu 2024. Generasi Z yang berhubungan erat dengan dunia digital dapat lebih rentan terhadap berita palsu dan ujaran kebencian yang tersebar melalui platform digital, terutama jika mereka kesulitan untuk menyaring informasi yang diterima.

Dua celah utama tersebut perlu segera ditangani untuk melindungi generasi Z pada Pemilu 2024 mendatang. Melindungi generasi Z pada Pemilu 2024 bukan hanya tentang keselamatan mereka, tetapi juga tentang integritas dan kelancaran jalannya Pemilu 2024 secara keseluruhan. Dengan memastikan kondisi yang baik bagi generasi Z, kita turut berkontribusi pada kelancaran dan hasil positif dari Pemilu 2024.

Ikhtiar Perbaikan

Berdasarkan pemetaan celah-celah kelemahan generasi Z dalam menghadapi Pemilu 2024, setidaknya terdapat dua aspek utama yang memerlukan perbaikan. Dua hal tersebut dapat diidentifikasi sebagai poin kritis, yaitu pendidikan politik dan literasi digital. Kedua aspek ini dapat diibaratkan sebagai kebutuhan pokok bagi generasi Z, terutama yang masih berstatus sebagai pemilih pemula, dalam menghadapi tantangan Pemilu 2024.

Secara sederhana, pendidikan politik dapat diartikan sebagai upaya memberikan pemahaman kepada warga negara agar mereka mampu menyelami, menilai, dan membuat keputusan secara rasional terhadap berbagai isu dan permasalahan yang ada. Di sisi lain, literasi digital yang disebutkan di sini merujuk pada kemampuan untuk menemukan, menggunakan, mengevaluasi, dan memanfaatkan berbagai teknologi digital dengan bijak, cerdas, dan tepat sesuai dengan kebutuhan yang ada.

Bagaimana kita dapat memberikan pendidikan politik dan literasi digital kepada generasi Z untuk mempersiapkannya menghadapi Pemilu 2024? Tentu, jawaban terhadap pertanyaan ini mengharuskan kita untuk memahami karakteristik generasi Z terlebih dahulu. Sebagian besar dari mereka, dengan rentang usia 10 - 24 tahun, telah akrab dengan lingkungan pendidikan.

Pendidikan politik dan literasi digital dapat diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan, baik sebagai bagian dari mata pelajaran inti maupun kegiatan ekstrakurikuler. Selain memiliki kedekatan dengan dunia pendidikan, generasi Z, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, juga sangat familier dengan lingkungan digital. Yang tidak kalah penting, generasi ini tumbuh dalam era media sosial yang berbasis audio visual.

Saya meyakini bahwa pendekatan yang lebih adaptif untuk menyampaikan pendidikan politik kepada generasi Z adalah melalui platform yang mereka sukai. Dalam hal ini, materi pendidikan politik dapat disajikan dalam format video pendek, gambar, atau media audio visual lainnya yang populer di platform seperti TikTok, YouTube, Instagram, dan sejenisnya. Dengan cara yang lebih adaptif tentunya pendidikan politik akan lebih mudah menjangkau dan mencerahkan pemahaman generasi Z.

Selain itu, cara ini merupakan kombinasi antara pendidikan politik dan literasi digital. Sehingga, dua persoalan pokok bisa kita selesaikan dengan satu cara. Bak kata pepatah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Dengan harapan, melalui ikhtiar ini generasi Z mampu mengambil peranan vitalnya pada Pemilu 2024 dengan baik dan yang paling penting generasi Z bisa menjadi subjek bukan malah dijadikan objek dalam Pemilu 2024.

Fikram Eka Putra Wasekum Bidang Penelitian dan Pengembangan BPL HMI Cabang Padang

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads