Semula saya kira orang Madura sebatas hanya ada di Surabaya dan sekitarnya. Apalagi di Surabaya sendiri bagian utara terkenal basisnya orang Madura. Mereka mengekspresikan dirinya dengan ciri khas mereka melalui beragam pola hidup yang serba unik dibanding etnis Jawa yang mendominasi di sana. Sebagai kaum minoritas, karakter mereka lebih dilirik atau mudah dikenali.
Begitu juga seandainya etnis Jawa hidup di Madura, tentu mereka hidup dengan kejawaanya. Mereka juga akan lebih mudah ditandai dan dikenali ciri khasnya oleh orang Madura di sana. Memang, ciri khas itu akan lebih gampang dikenali ketika mereka berbeda dan minoritas. Tetapi apakah orang Madura sekarang bisa dikatakan sebagai minoritas? Secara kuantitas, jelas benar, tetapi secara kualitas, belum tentu. Mereka di suatu daerah membentuk komunitas yang unik dan solid.
Kesolidan ini yang mengaburkan kuantitas tersebut. Sehingga orang lain lebih bisa menandai dari segi kebiasaannya, bukan jumlahnya. Kualitas itu berbentuk sikap kemandirian, baik dari hidup ataupun ekonomi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Toko Kelontong
Semula saya tidak tahu kalau toko kelontong dua puluh empat jam yang menyebar di mana-mana itu milik orang Madura. Saya kira hanya sebatas milik orang Jawa pada umumnya yang mau membuka usaha, tetapi karena ciri khasnya yang berbeda, buka dua puluh empat jam dan bentuk antara toko satu dengan toko yang lain sama. Di situ saya mulai paham ternyata toko itu memang milik orang Madura.
Mereka menyebar di banyak daerah. Baik di kota-kota besar atau di daerah-daerah kecil. Hadirnya toko-toko tersebut tentu sangat menguntungkan bagi orang yang beraktivitas malam. Kebutuhan mereka tercukupi pada malam hari.
Apalagi didukung dengan salah satu konten dari Habib Ja'far yang bangga dengan kemaduraannya, karena dia berasal dari Bondowoso, basis "Madura swasta", sebutan bagi orang-orang yang hidup dengan ciri khas Madura, namun tidak hidup di Pulau Madura.
Dia membuat konten dengan me-review toko tersebut. Ditambah dengan anekdot mereka, kalau hari kiamat, toko akan tetap buka, tetapi hanya setengah hari saja. Dari situ karakter orang Madura lebih dikenal banyak orang.
Selain toko kelontong, usaha lain yang tidak kalah banyaknya adalah sate. Di samping maraknya toko Madura, jenis usaha ini paling bisa ditandai. Tidak ada ciri khas tertentu, karena baik sate Madura atau sate lainnya hampir sama. Bedanya cuma ada di tulisan gerobaknya. Karena di gerobaknya ada tulisan "sate Madura", otomatis penjualnya orang Madura. Lain cerita jika di gerobaknya tidak bertuliskan identitas apa-apa, mungkin bisa jadi penjualnya bukan orang Madura.
Eksperimen Kemaduraan
Saya pernah melakukan eksperimen kecil-kecilan bersama teman dari Madura. Saat membeli sate, di gerobaknya hanya bertuliskan "sate". Tidak ada identitas kedaerahannya.
Soal sate, saya suka dengan sate Madura. Entah kenapa rasanya beda dengan sate lain yang tidak dari Madura. Terutama pada bumbu kacangnya. Ditambah bumbu-bumbu lain untuk campuran tusukan ayam yang mau disate.
Untuk memastikan ini benar sate Madura atau tidak, teman saya mengujinya dengan memesan menggunakan bahasa Madura. Kalau ia menjawab dengan bahasa Madura, bisa dipastikan dia orang Madura. Kalau menjawab pakai bahasa Jawa atau Indonesia, belum tentu orang Madura.
Contoh lain misalnya saat di Yogyakarta. Saya berjalan sendirian di Jalan Malioboro. Setelah capek berjalan, saya memutuskan duduk di bangku yang disediakan di sepanjang jalan. Sambil melihat seliweran para wisatawan, tiba-tiba fokus saya pada ibu-ibu penjual sate di sepanjang jalan itu. Uniknya, jarak dari satu penjual ke penjual lainnya tidak terlalu jauh --masih bisa terjangkau mata.
Dalam pikiran, tidak mungkin ini orang Madura. Masak orang Madura jualan jauh-jauh ke sini! Dengan polosnya saya berpikir seperti itu. Tanpa berpikir bahwa orang Madura di Kalimantan, misalnya, juga ada, bahkan di daerah lain pun sama.
Pertanyaan yang tersimpan dalam benak itu terjawab ketika ada salah satu penjual sedang teleponan menggunakan bahasa Madura. Itu juga jadi ciri khas orang Madura. Bahkan di toko pun sama, mereka sering teleponan. Konon, itu budaya mereka, sering bertelepon dengan sanak saudaranya, saling memberi kabar tentang perkembangan usahanya. Bahkan bisa juga hanya mengobrol saling tanya soal kabar.
Mengekspresikan Budaya
Terlepas dari banyaknya stigma negatif tentang mereka, tetapi kalau melihat kenyataannya, di mana saja, mereka selalu mengedepankan kemandirian ekonomi dengan mengangkat ciri khas kultur kedaerahannya. Baik berupa sikap hidup maupun jenis usaha yang mereka bawa.
Berjualan sate dan tokoh kelontong. Dua jenis usaha itu secara tidak langsung merepresentasikan karakter budaya daerah mereka. Terlalu kuatnya mereka dalam menjaga budayanya, mereka sampai kolektif membangun bentuk toko yang sama. Sehingga bisa dikatakan, mereka adalah pelaku budaya sejati. Andaikan budaya tersebut baru, tetapi kalau dijalankan dengan kesadaran kolektif, maka budaya yang semula kecil, bisa dengan cepat berubah jadi kuat dan lestari.
Tanda suatu budaya itu berhasil apabila budaya tersebut menjadi identitas yang melekat pada para pelakunya. Dan, itu berhasil dilakukan oleh orang Madura. Di atas hanya contoh kecil bentuk kemandirian orang Madura. Sebenarnya masih banyak lagi jenis usaha yang melekat menjadi identitas mereka. Pada intinya mereka adalah aset bangsa yang perlu dijaga kemurniaannya.
Di tengah modernitas, jarang sekali ada orang dengan etnis tertentu ketika ke luar dari daerahnya tetap mempertahankan kultur kedaerahannya. Justru orang Madura bisa dijadikan contoh bagaimana cara mencintai daerah dan budayanya.
Pada 2023, banyak budaya atau karya budaya dari Jawa Timur yang sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB). Di antaranya ada tari ngremo dari Surabaya sampai makanan ringan bernama brem dari Madiun. Tidak menutup kemungkinan budaya atau karya budaya lain ke depan akan menyusul. Tinggal bagaimana membudayakannya. Kapan saja dan di mana saja.
Ahmad Baharuddin Surya pengajar di Sekolah Progresif Bumi Shalawat Sidoarjo
(mmu/mmu)