Israel-Palestina dan Resolusi PBB

Kolom

Israel-Palestina dan Resolusi PBB

Abdul Salam Taba - detikNews
Kamis, 23 Nov 2023 14:30 WIB
Israels Ambassador to the United Nations Danny Danon speaks during the United Nations Security Council meeting on the situation in the Middle East, including Palestine, at U.N. Headquarters in New York City, New York, U.S., December 18, 2017. REUTERS/Brendan McDermid
Foto: Brendan McDermid/Reuters
Jakarta -

Penolakan Israel terhadap Resolusi Majelis Umum PBB pada 27 Oktober 2023 yang berisi seruan gencatan untuk kemanusiaan (humanitarian truce) di Jalur Gaza telah dikecam banyak pemerintah dan masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Alih-alih ditaati, seruan itu justru direspons oleh tentara Israel dengan blokade dan pembunuhan secara brutal di wilayah yang dikenal sebagai penjara terluas di dunia.

Israel berdalih hanya menyerang kelompok militan Hamas, tapi kenyataannya penduduk sipil yang berlindung di rumah ibadah, rumah sakit, sekolah, dan kamp pengungsi PBB di turut dibombardir secara sporadis dan membabi buta. Akibatnya, puluhan ribu penduduk Gaza baik orang tua, anak-anak, bahkan bayi terluka dan mati mengenaskan.

Sejak Israel didirikan pada 1948 dengan dukungan negara Barat seperti Amerika dan Inggris, sudah banyak penduduk Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat yang ditindas dan dicaplok tanah dan rumahnya oleh penduduk Israel. Ironisnya, tindakan tersebut bukannya dicegah tapi malah terus dilakukan dengan dukungan kepolisian dan tentara, sementara negara-negara sekutu Israel hanya menutup mata.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kalaupun mereka bertindak, paling banter yang dilakukan sebatas menyayangkan tindakan Israel sehingga pencaplokan tanah dan rumah warga Palestina terus terjadi. Kondisi itu diperparah oleh blokade Israel yang berkepanjangan sehingga rakyat yang bermukim di Jalur Gaza kesulitan mendapatkan akses ekonomi, kesehatan, air bersih, dan sumber daya listrik untuk menopang kehidupannya.

Akumulasi tindakan zalim tersebut mendorong perlawanan rakyat Palestina, khususnya Hamas yang merasa diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil oleh pemerintah Israel maupun sekutunya. Karena itu, bagi Hamas tidak ada jalan lain selain melawan penindasan tersebut dengan cara konfrontasi. Bila awalnya perlawanan hanya bermodal ketapel dan lemparan batu (intifadah), belakangan perlawanan sudah bersenjata dengan beragam amunisi seperti yang dilakukan pada 7 Oktober lalu.

ADVERTISEMENT

Konflik Palestina dan Israel harus mendapat perhatian PBB dan banyak pemerintahan serta masyarakat internasional. Tujuannya, agar kekerasan dan pembunuhan secara brutal yang masih terus berlangsung di Jalur Gaza segera bisa diakhiri dan dicarikan solusi damai yang permanen.

Pengesahan Resolusi ES 10/21 oleh Majelis Umum (MU) dengan dukungan mayoritas anggota PBB yang diharapkan dapat meredam konflik, tidak bisa menghentikan serangan militer Israel terhadap warga sipil di Jalur Gaza. Pasalnya, resolusi yang diveto oleh Amerika dan Inggris itu hanya bersifat rekomendasi dan tidak mengikat Israel untuk segera melakukan upaya gencatan senjata.

Secara yuridis Resolusi MU baru mengikat jika disetujui 2/3 negara anggota PBB dan direkomendasikan oleh 5 anggota tetap dan 10 anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK), sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Piagam PBB. Contohnya, Resolusi DK 47/1 tahun 1992 yang menghapus keanggotaan Yugoslavia (dalam hal ini Serbia dan Montenegro) dan harus bermohon ulang jika ingin kembali menjadi anggota PBB.

Sebaliknya, resolusi DK tidak perlu persetujuan negara anggota dan secara hukum bisa mengikat (legally binding) negara anggota maupun bukan anggota PBB, seperti dinyatakan di Pasal 25 Piagam. Resolusi hanya bisa dibatalkan jika ditolak (diveto) oleh salah satu atau lebih 5 negara anggota tetap yaitu Amerika, Inggris, Prancis, Rusia, dan China.

Bahkan Resolusi DK dapat menyimpangi prinsip perjanjian internasional di Konvensi Jenewa 1969 yang berbunyi suatu perjanjian tidak memberikan hak dan kewajiban kepada pihak (tertiis pacta nec nocent prosun). Dalam arti, semua negara baik yang sudah maupun belum meratifikasi piagam dan statuta PBB terikat dengan keputusan DK, seperti diatur dalam Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 49 Piagam.

Keberadaan hak veto sudah banyak dikritik dan minta dihapus karena dinilai tidak demokratis dan menciptakan kekuasaan di luar ketentuan Piagam (ultra vires). Namun hak istimewa tersebut tetap berlaku dan diterapkan dengan dalih untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional, meskipun faktanya veto seringkali dilakukan karena kepentingan negara anggota tetap PBB.

Sejak konflik Palestina dan Israel kembali meletus pada 7 Oktober lalu, sudah ada beberapa rancangan resolusi yang dibuat DK tapi tidak bisa disahkan karena adanya veto anggota tetap. Resolusi yang diajukan Amerika perihal jeda kemanusiaan, misalnya, gagal disahkan karena diveto Rusia dan China. Pun, resolusi gencatan senjata yang diusulkan Rusia gagal diadopsi karena diveto Amerika dan Inggris, termasuk penolakan dua negara anggota dan 9 negara abstain.

Namun kegagalan menghentikan serangan brutal militer Israel ke warga sipil di Gaza harus direspons dengan semakin mendorong kontribusi dan peranan PBB. Karena badan dunia ini masih diperlukan meringankan beban penduduk sipil di wilayah yang berkonflik seperti yang telah dan sedang dilakukan UNHCR, WHO, dan UN Relief and Works Agency for Palestina Refugees in the Nearest (UNRWA) di Gaza, misalnya.

Intinya, badan-badan PBB lainnya turut berperan memberikan bantuan kemanusiaan dan mengoordinasikan operasi bantuan kemanusiaan seperti pengiriman bahan makanan dan obat-obatan ke wilayah yang terdampak bencana alam, kelaparan, dan konflik bersenjata. Selain itu, berupaya mendamaikan beragam konflik antarnegara di berbagai kawasan yang bersengketa.

Contohnya, sengketa Agresi Militer I dan Agresi Militer II pada 1947 dan 1949 yang dilakukan Belanda di wilayah Indonesia berhasil didamaikan PBB lewat serangkaian perundingan dengan 5 Resolusi DK yang berakhir diakuinya kemerdekaan Indonesia oleh Belanda di Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 27 Desember 1949. Pun pengakuan PPB kepada Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat dengan pengibaran bendera merah putih di markas PBB di New York pada 28 September 1950.

Dalam konteks konflik Palestina, tekanan kepada Israel harus terus dilakukan oleh negara anggota MU dan badan- badan lainnya yang mendukung perdamaian di Palestina seperti Unicef, Ecosoc, WHO, ICC, dan UNHCR. Tujuannya, agar terwujud gencatan senjata dan penghentian konflik di Jalur Gaza lewat pengesahan resolusi yang disetujui oleh mayoritas negara anggota PBB, terutama setiap anggota tetap DK.

Sejalan dengan upaya tersebut, tuduhan penjahat perang dan desakan penyidikan dalang dibalik serangan brutal ke Gaza, aksi boikot produk-produk Israel dan demonstrasi warga dunia di berbagai negara, serta dukungan organisasi internasional maupun regional seperti OKI dan Liga Arab secara hand in hand turut memicu akselerasi perdamaian antara Palestina dan Israel. Akankah PBB dan masyarakat internasional kembali tak berkutik melawan hegemoni dan tindakan brutal yang dipertontonkan Israel di Jalur Gaza, kita nantikan bersama.

Abdul Salam Taba alumnus Fakultas Hukum Jurusan Hukum Internasional Universitas Bosowa Makassar

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads