Mineral timah sudah kritis sebelum pemerintah merilis beleid No 296.K/MB.01/MEM.B/2023 tentang mineral kritis pada 14 September 2023. Beleid tersebut menyebut timah sebagai salah satu mineral yang mempunyai kegunaan penting untuk perekonomian nasional dan pertahanan keamanan negara yang memiliki potensi gangguan pasokan dan tidak memiliki pengganti yang layak kondisinya, namun realitasnya timah "dibiarkan" terjarah.
Makna kritis mineral timah berbeda dengan kritis yang dimaksud di dalam beleid tersebut di atas, karena artinya adalah cadangan timah "terjarah" selama bertahun-tahun, dengan berbagai cara, salah satu yang termutakhir adalah memanipulasi Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB), namun pemerintah menjawabnya dengan kembali merilis beleid.
Untuk mengendus praktik manipulasi RKAB, sepertinya bukan perkara sulit karena kesulitan terbesarnya adalah menumbuhkan kemauan untuk mengendus manipulasi. Dikatakan tidak sulit, karena dengan membandingkan luas Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), perusahaan pertambangan timah dengan jumlah produksi yang diekspor bisa menggambarkan adanya kejanggalan. Logikanya, bagaimana mungkin perusahaan dengan WIUP yang lebih kecil bisa mengekspor timah melebihi perusahaan dengan WIUP yang lebih besar?
Menurut Babel Resources Institut (BRINST) pada semester 1 - 2023, PT Timah Tbk dengan luas WIUP 472.000 hektar hanya mengekspor 8.307 metrik ton timah, sedangkan gabungan smelter swasta bisa mengekspor hingga 23.570 metrik ton, padahal luas WIUP perusahaan smelter swasta hanya di bawah 1000 hektar, misalnya MSP (527 ha), BBTS (132 ha), dan RRP (543 ha). BRINST memang merilis data baru, namun kejanggalan tersebut sebenarnya cerita lama, dengan kata lain apa yang diungkapkan oleh BRINST bukan hal baru, namun ironisnya masih terjadi hingga saat ini.
Pada masa lalu, perusahaan yang saat ini disebut PT Timah Tbk menguasai 88.7 % WIUP timah yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), namun jumlah ekspornya selalu di bawah gabungan perusahaan swasta yang menguasai WIUP lebih kurang 11 % saja. Pertanyaannya, bagaimana pasir timah dari sebuah perusahaan pemilik WIUP berpindah ke perusahaan lain?
Ada beberapa cara; pertama, masyarakat yang disebut tambang ilegal (TI) menambang di WIUP sebuah perusahaan tambang seperti PT Timah Tbk dan menjualnya ke kolektor, lalu kolektor menjualnya ke perusahaan smelter swasta. Realitas inilah yang menyebabkan perusahaan pemilik IUP tidak pernah menambang tapi bisa mengekspor timah.
Kedua, perusahaan yang menjadi mitra dari perusahaan pemilik WIUP tidak menyetorkan seluruh pendapatannya ke pemilik WIUP seperti PT Timah Tbk. Seluruh praktik tersebut bukan tidak mungkin melibatkan oknum aparat penegak hukum dan internal perusahaan pemilik WIUP.
Atas realitas tersebut, pemerintah melalui kementerian ESDM memang melakukan berbagai upaya, dengan mengeluarkan beleid. Seperti Perdirjen Minerba No 569/DJB/2015 tentang Penerapan Standar Nasional Indonesia dan Kode Komite Cadangan Mineral Indonesia Dalam Pelaporan Hasil Kegiatan Eksplorasi, Estimasi Sumber Daya, dan Estimasi Cadangan Mineral dan Batu Bara, yang di dalam salah satu pasalnya mengatur bahwa perusahaan wajib menyusun laporan hasil kegiatan eksplorasi, estimasi sumber daya, dan estimasi cadangan mineral dan batu bara yang ditandatangani oleh Competent Person Indonesia (CPI).
CPI adalah anggota yang ditetapkan oleh organisasi profesi berdasarkan kompetensi sesuai dengan kriteria dan berdasarkan ketentuan serta kode yang ditetapkan oleh masing-masing organisasi profesi. Organisasi profesi yang dimaksud misalnya adalah PERHAPI.
Selain beleid tentang CPI tersebut, pemerintah juga merilis Peraturan Menteri ESDM No. 10 Tahun 2023 yang lazim disebut tentang RKAB. Tujuan hadirnya kedua beleid tersebut tidak lain untuk meminimalkan praktik penambangan illegal dengan memperjelas asal-usul pasir timah yang diperoleh oleh perusahaan pertambangan timah, namun realitasnya kedua beleid tersebut tidak mampu mengubah keadaan; praktik illegal mining dengan "menjarah" WIUP perusahaan lain untuk mendapatkan pasir timah. Data yang dirilis BRINST bisa dirujuk sebagai buktinya.
Dampak Kritis Mineral Timah
Dampak dari penjarahan yang mengakibatkan mineral timah berada dalam kondisi kritis tersebut, selain merugikan secara ekonomi, juga merusak lingkungan dan mengganggu kehidupan sosial. Pertama, secara ekonomi, menurut BRINST mengutip laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) 2022, potensi kerugian negara mencapai Rp 2,5 triliun.
Kedua, dari sisi lingkungan, perusahaan pemilik WIUP tetap harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan dengan melakukan reklamasi, sementara perusahaan lain yang diduga terlibat dalam "penjarahan" dengan memanipulasi RKAB bebas dari tanggung jawab terhadap reklamasi. Akibatnya banyak daerah bekas tambang yang belum direklamasi karena perusahaan pemilik WIUP tidak merasa menambang dan perusahaan lain yang tidak menambang namun mendapatkan pasir timah merasa tidak memiliki kewajiban terhadap WIUP yang rusak. Dalam kondisi demikian, potensi kerugian negara secara ekonomi juga kembali bertambah, karena pemilik WIUP yang dijarah adalah perusahaan BUMN yang harus menanggung biaya reklamasi.
Ketiga, secara sosial, di dalam beleid mengenai RKAB, khususnya Pasal 8 ayat 1 huruf b, menyebutkan delapan kriteria minimal yang harus dipenuhi agar RKAB bisa disetujui, salah satunya adalah program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Idealnya dengan jumlah ekspor yang dihasilkan, perusahaan pertambangan timah memiliki cukup dana untuk mengembangkan program pemberdayaan yang berkelanjutan untuk mengurangi ketergantungan ekonomi terhadap timah sebagai sumber daya tidak terbarukan, namun realitasnya lagi-lagi tidak demikian. Menurut BPS Babel sampai Juli 2023, kontribusi timah terhadap total ekspor masih dominan yang mencapai 82,48 persen, sementara kontribusi non timah hanya sebesar 17,52 persen.
Upaya Meminimalkan Dampak
Kisah bagaimana pemerintah melalui Kementerian ESDM mengeluarkan beleid untuk memperjelas asal-usul barang, mirip dengan upaya Kimberly Process dalam kisah blood diamond di Afrika.
Kimberly Process bermula dari pertemuan produsen dan pembeli berlian utama di dunia pada tahun 2000 di Kimberley, Afrika Selatan, sebagai respons atas ancaman boikot konsumen terhadap berlian konflik. Ian Smillie, salah satu arsitek awal dari Kimberly Process dan ahli di bidang berlian konflik, memperkirakan bahwa saat ini hanya 5% hingga 10% dari berlian di dunia yang diperdagangkan secara ilegal dibandingkan dengan 25% sebelum 2003, namun hal tersebut belum termasuk kasus berlian konflik lain seperti saat tentara Zimbabwe menyita deposit berlian dalam jumlah besar di Zimbabwe timur dengan membantai lebih dari 200 orang penambang.
Peristiwa tersebut tidak dianggap melanggar protokol Kimberley Process karena hanya mendefinisikan berlian konflik sebagai batu permata yang dijual untuk mendanai gerakan pemberontak yang berusaha menggulingkan negara dan apa yang dilakukan oleh tantara Zimbabwe tidak termasuk dalam definisi tersebut (Baker, 2023).
Dari kisah di atas, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meminimalkan dampak kritis mineral timah. Pertama, pengawasan pelaksanaan beleid dan penegakan hukum bagi semua pemangku kepentingan pertambangan timah yang melanggar beleid tersebut. Karena praktik memanipulasi RKAB bukan tidak mungkin melibatkan birokrat selain korporasi. Kasus penahanan mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM yang juga mantan Pejabat Gubernur Bangka Belitung oleh kejaksaan agung menggambarkan hal tersebut.
Kedua, memberikan definisi yang jelas terhadap timah illegal, misalnya sebagai timah yang tidak jelas asal-usulnya, tidak jelas pengelolaan lingkungannya, tidak jelas pengelolaan sumber daya penambangnya, tidak jelas program pengembangan dan pemberdayaan masyarakatnya, dan lain sebagainya.
Ketiga, mendorong perusahaan konsumen timah seperti Samsung dan Apple untuk menolak menggunakan timah yang terkait dengan praktik illegal mining, seperti sempat diberitakan Apple sebagai salah satu perusahaan konsumen timah yang menaruh perhatian terhadap isu kerusakan lingkungan dan pekerja anak dalam penambangan timah di Babel (Starkey, 2013).
Suryana Miharja peneliti pertambangan
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini