Persoalan "keausan" atau kerusakan dini roda yang berakibat pada terhentinya operasi beberapa rangkaian LRT Jabodebek, meski baru dioperasikan kurang dari tiga bulan, masih ramai diberitakan media mainstream dan media sosial. Banyak orang, termasuk saya, bertanya mengapa "keausan" dini tersebut dapat terjadi? Apakah roda yang sama digunakan sejak uji dinamis LRT Jabodebek sejak 2021 lalu? Kalaupun roda-roda itu sudah digunakan sejak uji coba dinamis 2021 pun, seharusnya kerusakan tidak akan separah itu. Pasti ada penyebab lain yang lebih mungkin dan harus segera dicari penyebabnya demi keselamatan angkutan LRT Jabodebek.
Pernyataan Wakil Menteri BUMN saat itu tentang lengkung yang bermasalah ada benarnya, apalagi kemudian muncul masalah "keausan" roda ini. Sebenarnya itu merupakan titik awal bagaimana publik dapat memahami bahwa pembangunan LRT Jabodebek sejak awal bermasalah. Jika pembangunannya saja sudah bermasalah, maka dalam perjalanannya melayani publik akan terus bermasalah tiada henti jika tidak diambil tindakan tegas. Tentu untuk memperbaiki supaya LRT Jabodetabek dapat beroperasi normal, perlu dibereskan dengan tambahan biaya (cost overrun) yang tidak sedikit.
Setelah saya mencari tahu ada apa sebenarnya di balik pembangunan LRT Jabodebek, ditemukan jawaban yang patut diduga merupakan awal munculnya masalah "keausan" roda LRT Jabodebek. Kasus utama adalah adanya pelanggaran peraturan teknis terkait dengan standar lebar rel yang tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan No. 60 Tahun 2012 Tentang Persyaratan Teknis Jalur Kereta Api.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk menanggulanginya, saat ini pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan sedang akan merevisi Peraturan No. 60 Tahun 2012 tersebut. Kok enak ya? Padahal kan ada pelanggaran peraturan mendasar yang patut diduga terkait dengan tindak pidana korupsi yang sangat membahayakan keselamatan pengguna LRT Jabodebek. Jadi tidak ada masalah dengan peraturan yang ada. Yang diperlukan hanya tindakan aparat penegak hukum, supaya kepiluan "keausan" roda LRT Jabodebek ini tidak berulang pada infrastruktur sejenis yang akan dibangun di beberapa kota.
Tidak Mengikuti Persyaratan
Persoalan "keausan" roda LRT Jabodebek terletak pada penanganan lebar jari-jari di tikungan yang seharusnya ada penambahan lebar rel seperti yang diatur dan tertera pada lampiran halaman 16 tabel 3-5 (Pelebaran Jalan Rel Untuk 1435 mm) di Peraturan Menteri Perhubungan No. 60 Tahun 2012. Pengaturan ini dimaksudkan supaya gesekan antara roda dengan rel pas dan stabil saat kereta menikung di lengkungan.
Sebagai contoh, rel LRT Jabodebek dengan berukuran lebar 1435 mm, ketika masuk ke tikungan dengan jari-jari rel antara 300 mm - 350 mm lebar rel di lengkungan tersebut harus dilebarkan atau ditambah sebesar 10 mm supaya LRT dapat melewatinya dengan mulus. Jika jari-jari lengkung rel lebih kecil dari 250 mm seperti di jalur lengkung LRT Jabodetabek saat ini, maka rel harus dilebarkan 20 mm. Jika lebar teknis rel di lengkungan tidak sesuai dengan lebar lengkung yang diatur oleh Peraturan No. 60 Tahun 2012, maka sisi roda bagian luar dan dalam mudah tergerus oleh rel atau sebaliknya.
Dari investigasi yang dilakukan oleh banyak pihak, termasuk saya, patut diduga pengembang LRT Jabodebek tidak mengikuti persyaratan lebar rel yang diatur oleh Peraturan No. 60 Tahun 2012 tersebut ketika membangun rel lengkung. Pada LRT Jabodebek ada beberapa lengkung yang radius lengkungnya antara 90 - 100 mm, demi keselamatan lebar rel harus ditambah 20 mm, bukan hanya 10 mm seperti sekarang. Jadi kesalahan ini bukan pada pembuat roda, yaitu PT INKA atau PT KAI sebagai operator seperti yang selama ini kita dengar, tetapi ada di pengembang dan Direktorat Jenderal Kereta Api. Mengapa ini terjadi karena patut diduga ada penyebab non teknis yang disengaja saat proyek ini dikerjakan.
Pernyataan pihak LRT Jabodebek yang akan melakukan pembubutan roda untuk perbaikan, tidak akan menyelesaikan masalah "keausan" dini roda ini. Karena selama lebar rel belum disesuaikan dengan jari-jari lengkug, jangan harap persoalan "keausan" rel ini dapat diselesaikan.
Langkah Pemerintah
Pertama, proyek LRT Jabodebek sejak awal memang sudah menuai banyak persoalan dan puncaknya muncul ketika Pemprov DKI Jakarta meminta lebar rel bukan 1067 mm seperti rel yang dipergunakan kereta api milik PT KAI, tetapi menggunakan lebar rel 1435 mm yang banyak digunakan untuk kereta dengan kecepatan di atas 120 km per jam. LRT Jabodebek, yang merupakan kereta angkut ringan tidak membutuhkan kecepatan di atas 120 km per jam. Sehingga terjadilah pembengkakan anggaran Rp 12,6 triliun akibat LRT Jabodebek harus membeli lahan untuk pembuatan depo di Bekasi dan peralatan yang cocok untuk lebar rel 1435 mm. Dengan persoalan roda aus tentu penanganannya akan menambah anggaran lagi.
Kedua, hentikan upaya regulator untuk merevisi Peraturan Menteri Perhubungan No. 60 Tahun 2012 (saat ini sedang berlangsung FGD) dan menyewa konsultan teknis demi memberikan pembenaran soal lebar rel di lengkung yang tidak sesuai dengan peraturan tersebut. Dari pada merevisi peraturan, lebih baik menyerahkan persoalan perubahan spesifikasi pembangunan LRT Jabodebek ini ke aparat penegak hukum. Lalu perbaiki semua lebar rel di lengkung LRT Jabodebek yang berukuran kurang dari 250 mm dengan melakukan pelebaran rel hingga 20 mm, bukan 10 mm. Sekali lagi tidak ada masalah dengan peraturan.
Ketiga, kesalahan bukan terletak di PT INKA sebagai pembuat gerbong dan bogi LRT Jabodebek, juga bukan di tangan operator LRT Jabodebek (PT KAI), tetapi pada upaya pengurangan biaya melebarkan rel dari 20 mm hanya 10 mm di lengkung kurang dari 250 mm.
Agus Pambagio pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen
(mmu/mmu)