Diskursus Norma dalam Putusan MK soal Kampanye Politik

Kolom

Diskursus Norma dalam Putusan MK soal Kampanye Politik

A Fahrur Rozi - detikNews
Senin, 13 Nov 2023 15:28 WIB
Jelang pemilu, spanduk bertuliskan larangan kampanye dibentangkan di kawasan Car Free Day (CFD) Bundaran HI.
Foto ilustrasi: Ivani
Jakarta -

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 65/PUU-XXI/2023 yang membolehkan kampanye politik di fasilitas pemerintahan dan tempat pendidikan terus menyisakan diskursus norma. Persoalan ini tidak hanya berkutat pada pro-kontra substansi-teknis ketika pergulatan kampanye menghinggapi fasilitas tertentu, tetapi juga menyangkut esensi dan konsistensi norma yang dibangun dalam ruang interpretasi hakim.

Diskursus itu mendorong adanya eksaminasi terhadap putusan tersebut. Pada perkara 128/PUU-XXI/2023, sejumlah mahasiswa PTKIN kembali menguji ketentuan bolehnya kampanye politik di fasilitas publik. Terlepas dari itu, memang terdapat sejumlah anotasi yang perlu diuraikan untuk mengkritisi ratio decidendi hakim MK dalam menafsirkan antara norma yang termuat dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2017 tentang Pemilu dan ketentuan dalam penjelasan pasal a quo.

Kesalahan Tafsir Original Intent

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pertama, adanya kesalahan pembacaan hakim terhadap original intent pasal yang diujikan; antara pelarangan yang termuat dalam batang tubuh norma dengan kebolehan yang termuat di bagian penjelasan norma (putusan a quo sub-bab [2.2]). Dalam konteks ini, hakim mengakui bahwa kehendak pembuat undang-undang jelas menginginkan adanya pelarangan terhadap kampanye di fasilitas pemerintahan, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Hal ini jelas didasarkan pada kebenaran korespondensif terhadap fakta politik yang terjadi belakangan yang memberikan residu aktif mempolarisasi masyarakat, dan hal tersebut masih relevan hingga sekarang.

Padahal, kelonggaran yang dituangkan oleh pembentuk undang-undang di bagian penjelasan pasal a quo --Peserta Pemilu dapat hadir atas dasar undangan pihak terkait dan hadir tanpa atribut kampanye-- merupakan norma tersendiri yang seharusnya diatur dalam bentuk norma tersendiri pula. Sudah jelas pembuat undang-undang dalam hal ini sudah menempatkan peserta Pemilu dalam dua entitas subjek dan dua konteks objek yang berbeda.

ADVERTISEMENT

Dalam entitas subjek, mereka dilarang dalam kapasitasnya sebagai peserta pemilu, sedangkan mereka diperbolehkan dalam kapasitas personal sebagai tamu undangan. Dalam konteks objek, mereka dilarang hadir dalam rangka melakukan kampanye politik, sedangkan diperbolehkan ketika menghadiri momentum kegiatan atau perayaan di tempat-tempat tersebut, seperti peringatan hari besar keagamaan, undangan tasyakuran, peresmian tempat ibadah, undangan dies natalis, dan reuni sekolah.

Alhasil, dapat dijelaskan antara larangan dalam pasal dan kebolehan dalam penjelasan tidak memiliki irisan norma. Pertentangan norma sebagaimana didalihkan hakim dalam putusannya itu tidak terbukti di sini. Secara substansi, antara pasal dan penjelasan merupakan norma tersendiri yang tidak beririsan dan tidak bertentangan (ancontradictio in terminis). Artinya, kampanye politik di fasilitas pemerintahan, tempat ibadah, dan tempat pendidikan tetap dilarang tanpa syarat/catatan apapun yang dapat membolehkan (termasuk bagian penjelasan).

Di sinilah kesalahan bacaan hakim terhadap original intent norma a quo. Sehingga menggabungkan antara norma dalam pasal dan norma dalam penjelasan (sebagai pengecualian) tidak benar karena kedua norma tersebut berada dalam substansi entitas subjek dan konteks objek yang berbeda.

Tak Ada Kebenaran Koherensif

Kedua, pertimbangan hukum hakim tidak mengandung kebenaran koherensif terhadap sejumlah proposisi yang dibangun oleh hakim sendiri (sub-bab [3.12]). Sedari awal, hakim berkesimpulan bahwa kampanye politik memiliki peran penting untuk mendorong ekosistem politik dalam demokrasi yang baik dengan transformasi informasi kepada pemilih, mendorong partisipasi aktif dalam proses pemilu, serta membentuk opini publik terkait dengan berbagai isu politik (sub-bab [3.11.2]).

Tetapi, dalam proposisi selanjutnya, hakim tampak ragu terhadap pelaksanaan kampanye politik di tempat publik seperti fasilitas pemerintahan, tempat ibadah, dan tempat pendidikan mengingat kepentingan pihak tempat yang harus dipertimbangkan, hak pihak terkait, dan seperangkat nilai masing-masing tempat (sub-bab [3.12]). Hakim akhirnya tiba pada kesimpulan bahwa kampanye politik yang demikian itu harus dibatasi dalam rangka menjamin dan menjaga hak masing-masing pihak terkait.

Hal yang bisa ditarik dari cara penalaran hakim ini adalah kampanye politik sebagai pendewasaan politik membawa konsekuensi logis yang negatif, dan hal tersebut diakui dapat merusak tatanan nilai dan sejumlah hak masing-masing pihak. Karena dasar itu, kemudian hakim inkonsisten/ambigu dalam menarik suatu konklusi bernalar; antara pelarangan atau pembatasanβ€”meski pada akhirnya Mahkamah memilih pembatasan dengan frasa "...sepanjang mendapat izin dari penanggungjawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye."

Untuk membuktikan ambiguitas ini, dapat dijelaskan dua hal. Pertama, hakim berada dalam posisi pilihan/dituntut memilih; antara kampanye sebagai pendidikan politik dan netralitas nilai keseimbangan sebagai nilai yang harus dijaga. Di sini, hakim tidak dapat mengakomodasi dua proposisi dalam suatu tarikan konklusi dengan menggunakan prinsip pembatasan. Alasannya, antara kampanye politik dan hilangnya nilai netralitas merupakan proposisi hipotetik yang sifatnya bikondisional (kondisi logis yang tidak terbantahkan), jika disimpulkan: kampanye politik mempengaruhi pemilih (tidak netral) sebagai ekspresi berpolitik.

Selanjutnya, untuk mencapai konklusi yang mengharuskan hakim memilih antara dua proposisi di atas, hakim perlu berpijak pada suatu kaidah. Terdapat suatu kaidah ushuliyyah dalam fikih klasik yang memberikan stratifikasi terhadap suatu pengambilan kesimpulan: Dar'ul Mafasid Muqaddamu 'Ala Jalbi Masholih (meninggalkan kerusakan lebih utama daripada mengambil kemaslahatan). Artinya, menjaga nilai netralitas dan keseimbangan harus didahulukan dari kampanye politik kendati menyangkut ihwal pendidikan politik. Dengan kaidah itu, seharusnya hakim berpegang teguh pada prinsip pelarangan terhadap kampanye politik di dunia pendidikan dan fasilitas pemerintahan.

Tidak Konsisten

Anotasi yang terakhir, hakim tidak secara utuh dan konsisten dalam memberikan pertimbangan terhadap sejumlah perangkat nilai dan asas yang berlaku di masing-masing tempat; fasilitas pemerintahan, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Hakim dalam putusannya sebatas mempertimbangkan nilai-nilai yang termuat di lingkungan tempat ibadah (sub-bab [3.13]).

Pertimbangan hakim terkait pentingnya penghormatan terhadap sensitivitas nilai di tempat ibadah seharusnya menjadi suatu dasar analogis untuk mempertimbangkan hal serupa di fasilitas pemerintahan dan tempat pendidikan. Bahwa kedua tempat yang disebutkan juga memiliki nilai sensitivitas dalam menjaga netralitas dari kepentingan politik.

Maka, komposisi penegakan terhadap asas netralitas itu sendiri tidak cukup semata dibebankan penegakannya secara internal kepada masing-masing individu, tetapi juga dibarengi dengan keharusan untuk melindungi hal tersebut dari pelbagai hal yang dapat merusak/membatalkan, termasuk kampanye politik. Hal ini jelas akan menimbulkan persoalan hukum baru mengingat nilai dan asas netralitas diatur dalam sejumlah perundang-undangan.

Ketiga anotasi inilah yang menjadi diskursus norma dalam ketentuan mengenai larangan dan kebolehan sekaligus terkait kampanye politik di fasilitas pemerintahan dan tempat pendidikan. Anotasi ini menjadi dasar dari dua hal: menjadi dasar adanya eksaminasi terhadap suatu putusan dan menjadi anotasi yuridis terhadap putusan sebagai yurisprudensi hukum ke depan.

A Fahrur Rozi pengamat politik dan hukum ketatanegaraan

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads