Membayar Utang Kota pada Anak
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Membayar Utang Kota pada Anak

Jumat, 10 Nov 2023 15:28 WIB
Ahmad Kholikul Khoir
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ruang terbuka hijau di kawasan pesisir Jakarta Utara khususnya Cilincing sangat terbatas. Anak-anak pun membutuhkan ruang bermain.
Pesisir Jakarta butuh ruang terbuka hijau untuk anak (Foto: Pradita Utama)
Jakarta -

"Dorong anak Anda untuk memiliki kaki yang berlumpur, berumput, atau berpasir di pengujung hari, itulah masa kanak-kanak yang pantas mereka dapatkan," begitu kata Penny Whitehouse, pendiri platform Mothernature.com. Jika demikian, lantas bagaimana nasib anak-anak perkotaan yang alamnya hampir tak memberi kesempatan mereka merasakan itu semua?

Banyak laporan menyebutkan bahwa kontak anak dengan alam dapat berdampak positif bagi perkembangannya. Di antaranya laporan dari UNICEF pada 2021 yang menyatakan bahwa akses terhadap green space (ruang terbuka hijau) dapat mengoptimalkan perkembangan kognitif, motorik, dan kesehatan anak. Selain itu diungkapkan pula bahwa ruang terbuka hijau dapat menguatkan spiritualitas dan empati anak.

Selanjutnya, dalam laporan itu pula disebutkan bahwa ruang terbuka hijau dapat menjadi semacam equalizer (penyeimbang) bagi kesenjangan sosial-ekonomi di bidang kesehatan. Dinyatakan juga bahwa ruang terbuka hijau mampu mempertinggi tingkat kohesi sosial di masyarakat karena menjadi media bagi anak-anak berinteraksi satu dengan yang lain.

Gumpalan dan Urbanisasi

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sayangnya, adanya gumpalan ekonomi, di mana uang lebih banyak terhimpun di kota, mendegradasi lingkungan hidup yang ada. Masyarakat yang mulanya tinggal di desa berbondong-bondong ke kota dengan harapan status sosial ekonominya terkerek. Dengan suburnya penghuni kota, maka bangunannya pun semakin padat dan menggerus ruang kosong yang berpotensi hijau sekaligus oksigen bagi masyarakat.

Dalam konteks serupa, fenomena inilah yang disebut Milgram (1970) sebagai overload. Artinya, oleh karena besarnya input penduduk di kota, maka sistem yang ada memprioritaskan hal yang paling signifikan dari masukan tersebut. Dalam hal ini, gedung bagi manusia lebih didahulukan daripada area pepohonan. Dengan kata lain, sistem yang ada lebih memilih menyuburkan bangunan daripada ruang terbuka hijau.

ADVERTISEMENT

Maka, sebenarnya akar masalah dari fenomena itu selain buruknya pengelolaan distribusi ekonomi sehingga menggumpal di kota, juga karena ketidaksanggupan pemerintah dalam merancang penataan kota. Pembuat kebijakan seolah tidak rela ruang terbukanya dihuni oleh rumput dan pepohonan daripada gedung-gedung industri. Anehnya lagi, kini alih-alih memperbaiki kota lama yang tak tertata, malah membuat kota baru.

Dengan minimnya akses lingkungan terbuka hijau di kota itu, maka dapat dikatakan bahwa kota berutang pada anak-anak yang tinggal di pelukannya. Pasalnya, UU Nomor 32, Pasal 3 Tahun 2009 menjamin pemenuhan serta perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia. Selain itu, pemenuhan kebutuhan akan lingkungan hidup di kota juga selaras dengan konvensi hak anak PBB 1989.

Gawai dan Lingkungan Hidup

Melihat tak terpenuhinya hak anak perkotaan atas ruang terbuka hijau menjadikan saya yang terlahir sebagai anak desa (dengan segala keterbatasannya) merasa memiliki privilese. Semenjak kecil, saya dan teman sebaya dapat bermain bola di tanah lapang berumput hijau, menanam tumbuhan, menangkap ikan di sungai, dan beraneka macam aktivitas asyik lain. Alhasil, dari sana saya dapat belajar mencintai alam.

Pengalaman saya itu sangat berbeda dengan yang anak perkotaan alami. Kemarin misalnya, saat saya keluar membeli makan, saya melewati sekumpulan anak yang bermain bola di jalan umum. Sebab kerapnya lalu lalang motor dan mobil, mereka harus sering menepi dan menikmati bunyi klakson kendaraan. Sedemikian, meski itu riskan, tapi orangtuanya tidak bisa melarang, karena saat di rumah mereka hanya akan bermain gawai.

Kekhawatiran orangtua akan dampak penggunaan gawai berlebih pada anak tentu menjadi angin segar, tapi jika itu dibarengi dengan fasihnya literasi digital yang mereka miliki. Tragisnya, kesadaran itu justru timbul bukan karena hal demikian, tapi akibat banyaknya kuota internet yang terkuras. Maka, jika orangtua adalah individu yang berharta, mungkin anak akan tetap dibiarkan khusuk bermain gawai.

Meski memang, masalah itu telah mampu ditangkap oleh beberapa pihak, sehingga berdirilah semisal sekolah alam. Sayangnya, banyak pihak merasa bahwa sekolah semacam ini masih belum banyak jumlahnya dan belum terjangkau bagi keluarga ekonomi menengah ke bawah. Maka dari itu, perlu kiranya pemerintah memperbanyak kuantitasnya dan memberi beasiswa bagi siswa prasejahtera.

Tetapi, tidak dapat dikata pula bahwa dengan memperbanyak sekolah alam, tanggung jawab pemerintah akan ruang terbuka hijau di kota menjadi sirna. Justru dengan hadirnya sekolah alam harusnya semakin mendorong pembuat kebijakan untuk lebih memperbanyak ruang-ruang natural lain, sehingga dapat lebih menunjang perkembangan anak.

Masalahnya, untuk menciptakan pribadi yang berkarakter dan pro lingkungan tidak dapat mengandalkan faktor sekolah semata. Keluarga, masyarakat, dan kondisi lingkungan di mana anak tinggal juga menjadi faktor yang sangat menentukan. Sebab sangat sulit, jika tidak dapat dikata mustahil, anak yang berada dalam masyarakat yang apatis akan kerusakan lingkungan dapat menjadi pribadi yang pro lingkungan.

Meski pemerintah adalah penanggung jawab atas utang kota pada anak, namun utang itu tak akan terbayarkan tanpa hadirnya campur tangan pihak-pihak terkait. Pendeknya, kritik dan kolaborasi perlu kita tingkatkan. Sebab hanya dengan itulah peradaban yang berkemajuan dapat dilahirkan. Mari, segera kita bayar utang perkotaan pada anak!

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads