Jika Pemilu 2024 yang akan berlangsung tahun depan disematkan sebagai pemilunya para kaum muda, mungkin itu tidak ada salahnya. Ini tidak merujuk ke salah satu pasangan calon yang dianggap mewakili 'kaum muda' secara representasi usia. Bukan. Melainkan suara golongan muda pada Pemilu 2024 kali ini memiliki persentase terbanyak. Dilansir dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kaum muda memiliki pengaruh yang sangat signifikan. Kelompok muda memiliki lebih dari 55% atau sekitar 114 juta suara dari total suara Pemilu 2024.
Tentu hal ini akan sangat menarik. Mengingat kaum muda dianggap memiliki karakteristik yang unik karena perilakunya memiliki kecenderungan yang lebih terbuka terhadap akses media massa dan media sosial dibandingkan generasi tua. Bahkan tak jarang masa depan bangsa selalu dianggap berada di tangan anak-anak muda, karena anak muda dipercaya memiliki semangat perubahan yang tinggi dan tipis akan kadar polusi kepentingan.
Lumbung suara yang melimpah pada kelompok golongan muda di arena kontestasi politik tertinggi di negeri ini tentu menjadi konsen yang sangat serius. Kesadaran politik menjadi faktor determinan dalam partisipasi anak-anak muda pada pemilu kali ini. Bisa dikatakan, para pemilih muda punya andil besar dalam menentukan siapa presiden yang akan terpilih nantinya. Maka, cara kaum muda memilih pemimpin di hajatan politik tahun depan haruslah dibangun dengan dasar pikiran yang kritis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cara Pandang Kritis
Perbincangan mengenai siapa yang pantas menjadi sosok pemimpin berikutnya adalah topik yang mau tidak mau harus jadi konsen bagi kaum muda. Keputusan dalam menentukan pilihan itu harus didorong dengan cara pandang kritis agar pemimpin yang dipilih dapat sesuai dengan isu-isu yang menjadi perhatian para kaum muda dan yang paling penting adalah pilihannya dapat membawa Indonesia menuju ke arah yang lebih baik.
Namun, nyatanya tidak semudah itu. Seringkali pilihan-pilihan yang dipilih tidak berdasarkan pemikiran logis dan kritis. Kecenderungan manusia secara umum untuk memilih sesuatu sering didasari oleh intuisi dan insting. Jonathan Haidt, ahli psikologi dari Amerika Serikat, mengulas persoalan itu dalam bukunya yang berjudul The Righteous Mind. Ia mengatakan bahwa landasan penilaian moral adalah intuisi, bukan pikiran rasional, moral yang lebih didasari pada penilaian estetis ketimbang penalaran berbasis prinsip. Maksudnya, faktor paling besar yang mendasari manusia itu memilih sesuatu karena adanya perasaan suka atau menyenangkan terhadap apa yang dipilih.
Lalu, manusia akan mencari alasan-alasan logis atas pilihannya tersebut. Ini yang dikhawatirkan apabila terjadi pada pemilih muda. Alasan memilih pasangan calon tertentu lebih besar mengikuti intuisi semata. Memilih pasangan calon karena wajahnya yang enak dipandang, gaya bicaranya yang menyejukkan, atau hanya sekadar karena berasal dari kampung halaman yang sama. Sehingga alasan-alasan rasional sering dikesampingkan.
Cara pandang semacam itu tentu sangat berbahaya mengingat suara kaum muda sangat menjanjikan secara kuantitas. Dan, tentu hal ini dapat mencederai marwah anak muda yang kata Bung Karno, bangsa dan negara Indonesia hanya akan maju karena kepedulian para pemudanya.
Jonathan Haidt lebih lanjut mengatakan bahwa sanga sulit memang untuk mengubah pandangan moral seseorang hanya dengan argumentasi logis atau data. Ia harus disentuh dengan intuisi. Dengan kesamaan nilai moral, Haidt mengatakan bahwa seseorang itu akan lebih mudah untuk saling membantu serta lebih mudah mengidentifikasi siapa yang layak untuk dipercaya dan dibantu. Jadi tidak heran, politik identitas menjadi jualan yang masih laris manis hingga hari ini. Karena kepercayaan itu akan lebih mudah diberikan kepada pasangan calon yang dinilai memiliki kesamaan moral yang sama.
Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap manusia memiliki fondasi moral yang berbeda-beda. Sehingga pada akhirnya menjadi tantangan yang berat untuk mengajak para pemilih agar dapat memilih berdasarkan pikiran yang logis serta berbasis data dan fakta. Sebab intuisi dan insting akan lebih kuat mengarah ke sesuatu yang memiliki kesamaan moral yang sama, yakni hal-hal yang paling dekat dan secara personal lebih terasa dengan diri pribadi.
Yang bisa dilakukan sebagai para pemilih, khususnya bagi kaum muda adalah untuk meluaskan batas-batas intuisi tersebut. Jika selama ini alasan memilih pemimpin karena kedekatan faktor pemimpin tersebut sangat terasa secara personal seperti punya kesamaan almamater kampus atau karena berasal dari suku yang sama, maka faktor itu perlu diperluas sehingga alasan memilih bukan karena didasari alasan personal sebagai diri pribadi melainkan sebagai seorang warga negara.
Kesamaan moralnya diperluas menjadi seorang warga negara Indonesia yang memiliki cita-cita yang sama demi kemajuan bangsa. Berat, tapi harus dilakukan, agar terhindar dari sikap-sikap mencari pembenaran bagi pandangan diri dan mematahkan argumen kubu lawan karena tidak mempunyai kesamaan yang sama.
Kesadaran Moral
Kaum muda harus memilih dengan pikiran jernih. Mengikuti intuisi tidak mengapa, bahkan itu adalah kewajaran, tetapi harus dibarengi dengan kesadaran moral yang lebih luas. Agar cara pandangnya bukan hanya untuk diri secara personal, tetapi bagaimana pilihan yang diambil juga berdampak bagi orang lain.
Jika menyenangi pasangan calon karena cara berpenampilannya menarik dan sesuai selera pribadi, maka itu tidak mengapa asal nilai moral yang dibangun jangan hanya sebatas itu. Harus diperluas hingga dampak yang dirasakan terasa oleh semua orang. Maka, ketika secara intuitif telah condong menyukai pasangan calon tertentu, segeralah untuk menelusuri rekam jejak, visi misi, dan program kerja yang dilakukan jika nantinya pemimpin tersebut terpilih.
Kaum muda harus menjadi pemilih yang teliti dan cermat dalam memberikan hak pilihnya kepada kandidat yang bertarung di kontestasi politik. Tunjukkan bahwa kaum muda tidak sekadar memilih hanya karena tren atau ikut-ikutan, tetapi harus menjadi pemilih muda yang rajin menelusuri informasi rekam jejak calon pemimpin yang dipilih, mulai dari latar belakang, pendidikan, keluarga, aktivitas sosial di lingkungannya, karya yang telah dibuat, hingga kontribusi yang telah dilakukan untuk orang banyak. Yakini itu sebagai bagian dari sikap menyenangi pasangan calon yang dipilih.
Dan, yang paling penting adalah tidak menganggap pilihan yang lain buruk atau salah. Justru menjadikannya sebagai sebuah kompetisi sehat dan menyenangkan yang dapat dinikmati setiap orang. Tunjukkan kaum muda adalah pemilih yang cerdas dan bermartabat!
Imaduddin Fadhlurrahman pengurus Perhimpunan Pemilih Indonesia Wilayah Sulteng
(mmu/mmu)