Bersamaan dengan itu, lembaga pengawal konstitusi tersebut juga tengah dihadapkan dengan "ujian ulangan" terkait penentuan batas usia calon presiden dan wakil presiden, melalui permohonan uji konstitusional UU dalam perkara No. 141/ 2023.
Permohonan No. 141/ 2023 yang merupakan buntut panjang dari putusan No. 90/ 2023, adalah salah satu bukti kurangnya kepuasan rakyat terhadap putusan MK. Berbeda dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya, di mana ketidakpuasan rakyat hanya berujung ke tahap pemeriksaan etik hakim MK.
Dalam ujian ulangan ini, pemohon meminta MK untuk meninjau kembali norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu pascaputusan No. 90/ 2023, agar diubah menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau sedang/pernah menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah tingkat provinsi.
Catatan Era Reformasi
Pasca dibentuknya MK, peristiwa ini telah menjadi referensi baru yang akan tercatat dalam history pemerintahan pada era Reformasi. Sekaligus mengenai hal ini juga diapresiasi oleh pakar hukum tata negara Jimly Asshidiqie yang dinilai kreatif.
Peristiwa ini juga merupakan bentuk perlawanan terhadap final dan binding-nya putusan MK tersebut, karena tidak tersedianya upaya hukum lain sebagai sarana pengujian putusan MK. Bahkan setiap amar putusan MK dengan sifat erga omnes-nya, juga otomatis menjadi norma pengganti UU dan harus dilaksanakan.
Namun apakah bisa? Apakah tidak nebis in idem --karena, Pasal 169 huruf q telah dijadikan objek uji materi di beberapa permohonan sebelumnya? Pertanyaan ini tentu muncul di benak sebagian besar orang. Sehingga untuk menjawab keraguan-keraguan tersebut, akan dilakukan kajian dan analisis terkait hal ini.
Sebagaimana UU MK, Peraturan MK serta penafsiran MK dalam beberapa putusannya, permohonan yang dikatakan nebis in idem, jika permohonan yang diajukan adalah untuk menguji materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari UU telah pernah diuji menggunakan batu uji konstitusional yang sama.
Namun nebis in idem tersebut dikecualikan terhadap permohonan yang menggunakan batu uji konstitusional yang berbeda atau terdapat alasan yang berbeda. Arti kata "atau" di sini dapat dimaknai bahwa batu uji atau alasan yang berbeda sifatnya alternatif.
Sebagaimana faktanya, mengenai hal ini juga telah diterapkan oleh MK di beberapa putusan sebelumnya, misalnya dalam putusan No. 37/ 2019 dan putusan No. 55/ 2019 dengan permohonan terhadap pasal dan substansi yang sama terkait keserentakan pemilu, namun dalam putusannya MK tidak mempermasalahkan tentang pengajuan objek permohonan tersebut.
Putusan lainnya adalah No. 73/ 2022 terkait ambang batas pencalonan presiden yang menjadi salah satu substansi permohonan terbanyak yang pernah diajukan di MK (lebih dari 30-an permohonan). Bahkan dalam putusan tersebut MK menyatakan secara eksplisit permohonan itu tidak nebis in idem, karena adanya dua perbedaan dengan permohonan yang telah diputus sebelumnya, yaitu sebagian dari batu uji konstitusionalnya belum pernah digunakan dan terdapat perbedaan alasan permohonannya.
Berdasarkan hal itu, maka akan dilakukan kajian terhadap empat hal terkait permohonan No. 141/ 2023 tersebut, yaitu; pertama, terkait legal standing pemohon yang akan dilakukan komparasi dengan permohonan dengan substansi yang sama dalam putusan No. 29-51-90-91-92/ 2023, di mana kelima permohonan tersebut diajukan oleh WNI yang tidak berkepentingan untuk mendaftar sebagai capres dan cawapres dan oleh partai politik yang tidak memenuhi ambang batas parlemen 4% sehingga tidak berhak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dan, dalam kelima putusan atas permohonan tersebut tidak ada putusan yang tidak diterima/Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) karena alasan ketidakterpenuhan legal standing pemohon.
Kedua, terkait objek permohonan yaitu Pasal 169 huruf q dengan materi muatan yang berbeda dengan objek di enam putusan batas usia presiden sebelumnya, karena yg diuji dalam permohonan No. 141/ 2023 ini adalah materi muatan Pasal 169 huruf q setelah dimaknai sesuai putusan MK No.90/ 2023. Selain itu dalam putusan No. 91-92/ 2023 dengan objek permohonan Pasal 169 huruf q, juga telah diputus MK kehilangan objek pasca putusan No. 90/ 2023, artinya Pasal 169 huruf q sebelum dan sesudah putusan MK No. 90/ 2023 merupakan dua norma pasal yang saling berbeda.
Ketiga, terkait batu uji konstitusional yang digunakan adalah Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, maka dengan demikian terdapat perbedaan dengan batu uji yang digunakan dalam enam putusan sebelumnya, yang tidak menggunakan Pasal 1 ayat (3). Jika dikaitkan lagi dengan penafsiran dalam putusan No. 73/ 2022, MK menyatakan jika sebagian batu ujinya belum pernah digunakan, maka tidak nebis in idem.
Keempat, terkait hal yang dimohonkan dan alasannya, terdapat perbedaan dengan keenam putusan sebelumnya, di mana pemohon lebih berfokus kepada Indonesia sebagai negara hukum yang harus menjamin kepastian hukum yang adil dikaitkan dengan kepastian hukum putusan No. 90/ 2023 dan concurring opinion-nya. Sebab jabatan hasil pemilu dan pilkada yang dimaksud dalam putusan tersebut sangat beragam (syarat usia DPR, DPD, dan DPRD 21 tahun; syarat usia bupati/wali kota dan wakilnya 25 tahun; syarat usia gubernur dan wakilnya 30 tahun), artinya WNI setelah berusia 21 tahun dan sedang/pernah menjabat sebagai legislatif dapat dicalonkan sebagai presiden.
Selain itu disimulasikan juga kluster para hakim konstitusi berdasarkan "mengabulkan sebagiannya", bahwa yang menyetujui syarat alternatif sedang/pernah menduduki jabatan hasil pemilu dan pilkada (termasuk gubernur) hanya tiga hakim; dua hakim hanya setuju dengan syarat sedang/pernah menjabat sebagai kepala daerah tingkat provinsi/ gubernur; dan empat hakim lainnya tidak setuju/menolak. Sehingga jika diakumulasikan, seharusnya suara mayoritas adalah yang menyetujui pernah/sedang menjabat kepala daerah ditingkat provinsi/gubernur yang terdiri dari lima hakim. Bahkan Daniel Yusmic P. Foekh dalam concurring opinion-nya menyatakan hanya mengabulkan sebagian dari petitum pemohon, berbeda dengan beberapa hakim lainnya yang mengabulkan permohonan melebihi dari petitum (ultra petita).
Kenegarawanan Pengawal Konstitusi?
Berdasarkan beberapa analisis di atas, dapat disimpulkan permohonan tersebut tidak bermasalah dalam syarat formil pengajuan permohonan (berpeluang tidak NO). Sehingga dapat dijadikan sebagai sarana alternatif dalam upaya hukum pengujian terhadap putusan MK walaupun tidak secara langsung. Karena hakim juga manusia biasa yang berkaitan erat dengan dengan salah dan khilaf, sehingga dibutuhkan suatu sarana peninjauan terhadap produk hukum yang telah ditetapkannya.
Namun demikian, mengenai materi/substansi dari permohonan tersebut kembali kita serahkan kepada MK sesuai kompetensi yang dimiliki dengan mengedepankan sikap kenegarawanan mereka. Berkaitan dengan pemeriksaan atas permohonan tersebut, pemohon juga dapat menggunakan hak ingkarnya yang telah dijamin oleh Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman, untuk meminta perkara tersebut hanya diperiksa oleh Hakim yang dianggap tidak terikat konflik kepentingan, setidaknya juga mengacu kepada putusan MKMK No. 2/ 2023 yang telah dituangkan dalam kesimpulannya.
Christo Sumurung Tua Sagala, S.H, M.H dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jember
(mmu/mmu)