Belajar Merindu di Pasar Gedhe
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Belajar Merindu di Pasar Gedhe

Senin, 06 Nov 2023 16:06 WIB
Iwan Yahya
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Kolomnis Iwan Yahya
Foto: Iwan Yahya (dok. iARG)
Jakarta -

Membaca pesan dan memahami perilaku masyarakat Kota Bengawan selalu tak akan pernah cukup dari kesan di permukaannya. Budaya dan tradisi santun di dalam kehidupan orang Jawa sedemikian penuh pesan simbolik dengan makna tersirat. Subyek-subyek ikonik nyaris tak lepas dari makna filosofis. Sebut saja misalnya motif batik Kawung. Bentuk berulang yang simetrik menyiratkan makna filosofis manunggaling kawula lan Gusti.

Jika kita melancong ke Pasar Gedhe, siratan makna semacam itu pun kental. Berdiri kokoh dengan gerbang utama yang besar menghadap ke Balai Kota Solo dalam jarak yang tak lebih dari dua ratus meter. Pasar yang notabene merupakan ruang terbuka tempat berbaurnya masyarakat itu terhubung ke pusat kekuasaan setempat oleh jembatan kecil di atas Kali Pepe. Berhias tugu jam di persimpangan jalan Urip Sumoharjo yang menggenapkan kesan simbolik. Mengisyaratkan kedekatan pemimpin dengan rakyat, rakyat dengan rakyat nan tanpa jeda.

Solo telah dan kian tumbuh dalam spirit keselarasan semacam itu. Grebeg Suro penanda datangnya bulan Muharam maupun Grebeg Soediro pada perayaan Imlek adalah wujud harmoni. Mengusung pesan persatuan dalam bauran rindu yang penuh toleransi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak heran dalam geliat gemulainya nan nyaris tanpa suara, Pasar Gedhe tak luput membingkai resonansi masyarakat dengan dinamika bangsa. Menatap dalam isyarat ke arah Balai Kota. Bak menanti pencerahan akan makna di balik pusaran deras kontestasi politik bangsa yang telah menautkan Mas Wali Kota.

Kala para cerdik pandai beradu pendapat soal sidang Mahkamah Konstitusi, bisa jadi relung hati insan bersahaja yang mewarnai riak Pasar Gedhe justru diliputi pertanyaan sederhana. Apa yang salah?

ADVERTISEMENT

Rasanya sedang menonton pentas layar tancap dengan lakon tumbangnya Gaharu raksasa. Luluh lantak tersambar petir akibat keropos dalam batangnya yang lama terabaikan. Lalu setelah itu terjadi para penduduk langit yang amat terhormat itu riuh. Sontak bereaksi dalam beragam ekspresi sesuai dengan kepentingan mereka sendiri.

Ah, apakah sengkarut dan keriuhan ini berguna dan memang kita butuhkan?


Risalah Anak Singkong

Pasar Gedhe memang menyimpan pesona. Para pedagangnya ramah dan lembut dalam tutur kata. Menyajikan kesan damai nan memantik rindu. Es dawetnya melegenda. Begitu pula lenjongan, panganan berbahan dasar singkong dan ketan yang maujud dalam beragam sebutan seperti gethuk, tiwul, cenil, klepon, lupis, dan sawut. Warisan kuliner tradisional yang membungkus keraifan berjejak sejarah nan panjang.

Literatur sains mencatat bahwa singkong (Manihot esculanta) telah dikenal sejak dua ribu tahun sebelum masehi di Brasil selatan dan Bolivia timur. Masyarakat Teotonio yang hidup di sepanjang kawasan barat daya lembah Amazon telah membudidayakannya. Itu diungkap dalam artikel ilmiah Jennifer Watling yang terbit di PLOS ONE 25 Juli tahun 2018.

Kajian lain oleh Kaori O'Connor seperti tertuang di buku Jonnathan Curry-Machado berjudul Global Histories, Imperial Commodities, Local Interactions yang diterbitkan Palgrave McMillan tahun 2013. Tahun 1500 Brazil merupakan koloni Portugis. Budak-budak Brazil dipekerjakan di ladang singkong dan bahkan mereka juga diangkut menuju Afrika untuk tujuan yang sama. Di bagian lain disebutkan bahwa Portugis pertama kali membudidayakan singkong di Goa dan kemudian menyebar ke seluruh Indonesia pada akhir abad ke enam belas. Lalu sejak tahun 1806 kolonial Belanda menanamnya secara masif di Pulau Jawa sebagai komoditas ekspor kala itu.

Seperti halnya budak Brazil di Afrika, buruh ladang di Jawa juga mengkonsumsi singkong. Maka lenjongan lahir dari pergumulan hasrat pembebasan diri dari lapar yang berselaras dengan kreativitas olah cita rasa pangan. Mengekspresikan perlawanan panjang kaum anak singkong demi bertahan hidup dalam definisi kecukupan yang unik.

Teksturnya yang lembut, kenyal dan lengket menyatu dalam balutan manis gula aren dan gurih kelapa parut menyiratkan nilai utama tentang tautan dan keselarasan. Menumbuhkan ikatan perasaan senasib yang menguatkan. Selaras dengan makna tulisan di tembok Pasar Gedhe yang berbunyi rejo pasare rumaket pasadulurane. Pesan yang bermakna bahwa pasar yang memakmurkan hanya dapat tumbuh jika ikatan persudaraan terajut erat. Lebih dari itu kebersahajaan lenjongan juga mengusung makna filosofis mendalam bahwa kesederhanaan merupakan puncak cita rasa. Konsep hidup yang beranalogi dengan pemahaman fisikawan akan ayat semesta berkait sifat dan dinamika bunyi. Bahwa puncak gempita adalah sunyi.

Maka kini kala klepon, gethuk dan lain-lain telah berada dalam daftar buruan para pelancong, itu membuktikan betapa semesta berlaku adil dan tak pilih kasih dalam urusan anugerah. Lebih dari itu semesta selalu memberkati dengan pengembalian berkelipatan. Buah selalu lebih besar dari benihnya. Begitulah hukumnya.

Seperti itulah filosofi lenjongan. Legasi dari pergumulan akal budi dalam masa panjang yang membentuk adab dan prilaku santun bersahaja. Diwariskan secara turun temurun seperti terekspresikan dalam perilaku para pedagang di Pasar Gedhe. Menguatkan ajaran kebajikan Mangkunegoro IV yang berbunyi tuna satak bathi sanak. Bahwa kokohnya pertautan persudaraan yang harmonis dan toleran berada jauh di atas nilai untung rugi.

A ha! Rasanya tak salah jika saya menyebut Pasar Gedhe itu bagai madrasah. Sebuah ruang terbuka yang mengajarkan betapa tak bijak jika kita menilai dan apalagi menghakimi suatu kaum dan atau siapa pun secara sepihak. Ajaran bijak tuna satak bathi sanak yang menjadi pegangan para pedagang di Pasar Gedhe itu adalah manifestasi ajakan bernalar kritis dalam memahami keadaan dan membaca peristiwa. Membangun perspektif luas dengan topangan kesediaan untuk berbaik sangka.

Sebuah frasa yang tepat kiranya dikaitkan dengan keadaan bangsa kita saat ini. Kebebasan dalam kegembiraan pesta demokrasi tak pelak telah menghadirkan ruang salah sangka di antara sesama anak bangsa. Semua pihak elok bijak untuk tidak melontaran narasi yang mengkerdilkan kesejatian siapa pun. Kebebasan berpendapat bukanlah kunci pembuka keliaran berekspresi tanpa kendali di ruang diskursif. Buruk sangka hanya akan menyuburkan cara pandang dalam kerangka law of noncontradiction. Seolah segala sesuatu yang tak bertaut mustahil saling membenarkan.

Sebuah cara pandang yang mestinya tidak menjadi pilihan kita sebagai bangsa yang sedang dalam hasrat besar untuk berubah. Sifat cahaya mengajarkan bahwa koherensi yang memicu resonansi menguatkan tak membedakan golongan. Justru dari perbedaanlah keselarasan yang memberdayakan suatu kaum dapat dibina.

Dalam geliat yang nyaris tanpa suara, insan-insan bersahaja di Pasar Gedhe beresonansi dengan dinamika bangsa. Menyiratkan gelora asa yang menuntun nalar di titian baik sangka. Memilih hening menjalani ikhtiar karena yakin bahwa renda dharma dapat diuntai bersama dengan tanpa berisik dalam bakti yang tak berbisik. Melayarkan biduk kehidupan dalam kaidah yang tak mengabaikan bahwa keberuntungan merupakan bagian skenario semesta yang mustahil dilawan.

Maka semoga keselamatan dan kedamaian hati tercurahkan bagi segenap kandidat presiden. Pun demikian bagi Mas Gibran dan dua calon wakil presiden lainnya. Terpeliharalah cinta dalam qolbu dan aliran darah mereka para putra terbaik bangsa. Masuk ke medan kontestasi demokrasi berkawal niat baik. Mengabaikan luka oleh fitnah dan caci maki demi perubahan. Mengikis ketertinggalan, menjawab tantangan global demi membesarkan bangsa. Begitu pun bagi kita semua, tidak perlu berprasangka buruk dan apa lagi mempersoalkan apakah mereka itu pangeran atau anak singkong.

Di atas semua perbedaan pilihan politik yang ada saat ini, sejatinya kita semua sedang memilin gelora rindu dan asa yang sama. Mendambakan kemenangan Bangsa Indonesia yang teduh dalam keselamatan, adil, penuh toleransi dan lebih sejahtera. Bukan kemenangan parsial golongan mana pun. Sungguh itu sangat menawan untuk kita perjuangkan bersama. Wallahualam.

Iwan Yahya. Dosen dan Peneliti The Iwany Acoustics Research Group (iARG). Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.

(rdp/rdp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads