Efek domino Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia minimal capres-cawapres sungguh luar biasa, lebih dari yang diduga sebelumnya. Ini memang bukan kali pertama MK dihadapkan pada ujian berat yang dapat menggugah citra mulianya di hadapan publik. Tapi baru kali ini respons yang dikeluarkan cukup keras. Berderet ahli hukum, selain menuntut sanksi etik dan pemberhentian Ketua MK, juga menuntut agar Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dibatalkan.
Ketua Majelis Kehormatan MK (MKMK) Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa pembatalan putusan MK tersebut dimungkinkan selama pelapor mampu meyakinkan MKMK. Bila benar MKMK membatalkan putusan MK, akan lebih banyak, dan lebih besar dampak yang ditimbulkan dengan salah satu risikonya adalah kehancuran mahkota MK. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa putusan MK bersifat final, sehingga bagaimana mungkin dengan sifat final itu, putusan dapat dibatalkan, bahkan oleh MKMK?
Makna dan Konsekuensi Yuridis Putusan Final
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara kelembagaan, merujuk pada pendapat Maruarar Siahaan (2005), sifat final Putusan MK bermakna bahwa MK merupakan lembaga pertama sekaligus terakhir serta tidak ada lembaga lain yang akan melakukan peninjauan terhadap putusan yang telah ditetapkan oleh MK. Artikulasi putusan final berarti bahwa putusan tersebut tidak dapat dilakukan banding (dan upaya hukum lanjutan lainnya), sehingga menimbulkan konsekuensi bahwa putusan tersebut secara normatif harus mengikat (Syahrizal: 2007).
Dalam Naskah Komprehensif (2010), Hamdan Zoelva menegaskan bahwa hakikat putusan final yaitu bahwa putusan MK merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat dilakukan upaya apapun untuk membatalkannya. Hakikat putusan final ini kiranya cukup memberikan gambaran bahwa tidak ada sedikit pun ruang untuk menggugat hingga membatalkan putusan MK yang telah ditetapkan. Suka atau tidak, kepatuhan terhadap putusan MK tetap wajib, dengan berpegang pada asas res judicata proveri tate habetur, sebagai bentuk komitmen bernegara hukum.
Membatalkan putusan MK sama saja menunjukkan bahwa putusannya tidak lagi bersifat final, sekaligus menahbiskan bahwa UUD 1945 terlalu rapuh dan mudah disimpangi. Ini akan menjadi preseden buruk bagi perjalanan MK ke depan. Putusannya akan kehilangan kewibawaan, padahal lembaga peradilan seperti MK meletakkan mahkota pada putusannya.
Kewenangan Majelis Kehormatan
Kita juga perlu untuk melihat lebih detail ihwal MKMK ini, baik kedudukan maupun wewenangnya. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023, MKMK dibentuk untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta kode etik dan perilaku hakim. Karena itu, kewenangan yang diberikan bersifat limitatif, yaitu hanya memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim MK. Muara pemeriksaan MKMK ini adalah putusan, yang apabila hakim terbukti melakukan pelanggaran etik, maka sanksi yang dijatuhkan berupa teguran lisan, teguran tertulis, atau pemberhentian tidak dengan hormat.
MKMK dengan demikian telah jelas tidak mempunyai kewenangan untuk meninjau, menguji, apalagi sampai pada pembatalan putusan MK. Meski demikian, secara praktik, bukan tidak mungkin MKMK akan memberikan putusan tersebut. Kebiasaan menciptakan putusan yang keluar dari batas-batas normatif sebagaimana digariskan oleh hukum yang berlaku sering kali berlindung di bawah kata "progresivitas putusan", anti-positivisme hukum demi mencapai keadilan dan kemanfaatan, ataupun terobosan hukum. Tidak sedikit dari kita yang justru terbuai dan menyambut gembira putusan semacam itu.
Tanpa disadari, yang terjadi adalah terabasan hukum karena menegasikan hukum yang ada. Kebiasaan ini harus dihindari demi menjaga dan meneguhkan semangat bernegara hukum, termasuk dalam konteks wacana pembatalan putusan MK. Secara a contrario, bila ternyata ini benar-benar terjadi, maka rapuhnya konstitusi dan negara hukum benar-benar paripurna, karena bahkan disimpangi oleh lembaga ad hoc seperti MKMK.
Mengakhiri Debat Berkepanjangan
Kita barang kali punya resonansi yang sama bahwa Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia minimal capres-cawapres adalah bentuk pengingkaran terhadap konstitusi dan semangat bernegara hukum. Tetapi merespons putusan MK tersebut dengan cara-cara di luar yang digariskan oleh hukum dan konstitusi adalah bentuk lain dari pembangkangan konstitusi dan negara hukum yang lebih brutal. Alih-alih menyelesaikan persoalan, hal itu justru akan berdampak pada hancurnya mahkota dan kehormatan MK. Oleh karena itu, mengakhiri debat berkepanjangan atas persoalan ini perlu langkah proporsional masing-masing lembaga.
Pertama, MKMK tetap berada pada rel kewenangan yang ada sebagai peradilan etik dan perilaku hakim. Putusan yang dikeluarkan adalah memberikan sanksi maksimal berupa pemberhentian tidak dengan hormat kepada hakim yang terbukti bersalah atas penetapan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Ini lebih tegas dan konstitusional daripada MKMK keluar dari batasan-batasan normatifnya.
Peran MKMK yang melampaui kewenangan tentu akan menimbulkan persoalan lanjutan yang juga akan lebih problematik dan berkepanjangan. Paling sederhananya adalah keabsahan putusannya yang tentu akan disoal oleh banyak pihak. Sebuah "plot twist" yang cukup problematik, menyatakan putusan tidak sah dengan cara mengeluarkan putusan yang juga tidak sah.
Kedua, ihwal substansi putusan MK, opsi penggunaan hak angket DPR yang wacananya telah digulirkan dapat benar-benar dilakukan. Berdasar hasil angket, DPR dapat membentuk norma baru melalui kewenangan legislasi yang sebelumnya "dirampas" oleh MK karena tampil sebagai positive legislature dalam merumuskan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Ini memang bukan pilihan ideal, tetapi setidaknya lebih baik dibandingkan membatalkan putusan MK untuk menyelamatkan mahkota MK yang kian berada di ambang kehancuran. Rasionalisasi sederhananya, DPR juga merupakan state main organ dengan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi, sederajat dengan MK. Peran yang dilakukan juga merupakan peran konstitusional yang masih berada dalam cakupan kewenangannya.
Mohammad Agus Maulidi, S.H, M.H alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
(mmu/mmu)