Pemilu 2024 akan segera dilaksanakan, capres dan cawapres secara resmi telah mendaftar ke panitia penyelenggara pemilu yaitu KPU. Riak dan euforia pendukung dan masyarakat mulai terlihat pada ruang maya dan nyata, dialektika mulai bermunculan untuk membicarakan secara esensial para capres dan cawapres mengenai kelayakan mencalonkan diri dan memimpin negara yang begitu besar ini jika menang dalam kontestasi. Termasuk, berkembangnya narasi kepemimpinan muda yang rasa-rasanya perlu sedikit diluruskan agar diskusi masyarakat di ruang publik kita mengenai topik ini menjadi berbobot dan secara ontologi sungguh-sungguh dipahami.
Dicalonkannya Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden menjadi pembicaraan yang tidak berhenti sampai saat ini. Sosok Gibran oleh pendukungnya direpresentasikan sebagai kepemimpinan muda yang hari ini tampil dan mengambil bagian dalam usaha membangun negara melalui politik sebagai cawapres. Di sisi yang lain, tak sedikit yang merespons dengan nada minor mengenai majunya Gibran sebagai cawapres Prabowo Subianto dalam kontestasi pemilu.
Bagi masyarakat dengan respons minor ini, Gibran belum layak untuk mencalonkan diri sebagai cawapres karena beberapa catatan, seperti usia yang belum cukup (walau telah terpenuhi melalui keputusan MK) serta kapasitas dan rekam jejak pengalaman yang panjang sebagai pemimpin publik. Namun, catatan kritis ini tampaknya tenggelam dalam perhatian publik karena menguatnya narasi Gibran sebagai representasi kepemimpinan muda yang mewakili 52% jumlah pemilih orang muda dalam pemilu (data KPU, Juli 2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepemimpinan dan Muda
Kita sering lupa bahwa dialektika dan diskusi masyarakat kita perlu dituntun pada perspektif yang ontologis sebelum membicarakan sesuatu lebih jauh. Konsensus mengenai pengertian tentang kepemimpinan muda sungguh perlu dicapai dalam perdebatan yang hari ini terjadi; jika tidak, maka semangat kebebasan berpendapat dan memberi aspirasi akan menghasilkan "pertengkaran" yang tidak produktif bagi kemajuan kita.
Kepemimpinan muda secara jeli dibaca terdiri dari dua kata yaitu kepemimpinan dan muda. Mari kita mendudukkan pengertian yang esensial mengenai dua kata ini. Pertama, kepemimpinan. Kata ini sungguh memiliki makna yang begitu dalam; tidak dapat disamakan dengan kata pemimpin.
Pemimpin secara sederhana adalah seseorang yang memimpin dua orang atau lebih, organisasi, atau keluarga. Namun kepemimpinan sungguh amat berbeda. Dalam kepemimpinan terkandung value yang menjiwai kata ini sehingga tak semua orang dapat disebut memiliki jiwa kepemimpinan, namun sebagai pemimpin, semua orang bisa melakukannya, tetapi tidak dengan kepemimpinan.
Kepemimpinan lahir melalui proses yang panjang, tentu tidak satu, dua, atau tiga tahun saja; proses membentuk kepemimpinan seseorang harus melewati banyak situasi, masalah, dan tentunya pengalaman yang cukup dalam memimpin. Kepemimpinan hanya dapat dimiliki oleh seseorang yang pernah memimpin dan proses memimpin itu mengandung nilai, etika, dan pembelajaran yang membuat seseorang semakin cakap dalam mengorganisasi, berdiplomasi, berpolitik, dan memiliki pengetahuan yang menjadikannya layak memiliki value kepemimpinan karena pengalaman memimpin tersebut.
Saya coba memberi sampel untuk menyederhanakan apa itu kepemimpinan yang bagi saya secara pribadi layak saya sebut sebagai pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan, yaitu Joko Widodo (Jokowi). Sebelum saya anggap layak dicalonkan oleh partai politik pada Pemilu 2014, Jokowi memenuhi kriteria saya sebagai seseorang yang memiliki jiwa kepemimpinan. Pengalamannya sebagai Wali Kota Surakarta dan sebagai Gubernur DKI Jakarta yang cukup sukses membawa perubahan menjadi bahan uji kepada Jokowi sebelum menjadi calon Presiden 2014.
Mari kita cek bersama, apakah capres dan cawapres dalam Pemilu 2024 memiliki value sebagai seseorang yang memiliki jiwa kepemimpinan --khususnya bagi Gibran sebagai cawapres muda yang ikut dalam kontestasi saat ini?
Kedua, muda. Berdasarkan klasifikasi usia menurut WHO, usia muda berada dalam rentang 24 - 44 tahun. Berdasarkan klasifikasi ini, jelas sekali bahwa narasi muda yang kita bicarakan adalah kompetensi mengenai usia seseorang yang dinilai memiliki semangat lebih atau magis semper dalam memimpin, pengetahuan, dan tentunya kesehatan fisik.
Narasi muda ini telah masuk perbincangan politik pemilu, menjadi konsekuensi bahwa kata muda tidak menjadi pengertian yang terbatas dan sempit; pembicaraan dalam kompetisi politik seperti pemilu menjadikan kata muda ini menjadi lebih aspiratif. Artinya, kepemimpinan muda hendaknya tidak terbatas pada klasifikasi usia semata, namun bisa sampai pada pembicaraan yang lebih aspiratif, seperti mampukah capres dan cawapres menjawab tantangan orang muda?
Atau, mampukah para kandidat melibatkan pemuda dalam agenda pembangunan yang membawa negara pada reformasi birokrasi dan pembangunan? Atau, mampukah para kandidat menyelesaikan isu orang muda, seperti lapangan pekerjaan dan krisis iklim?
Menjadi Parameter Ideal
Setelah melihat secara esensial mengenai kepemimpinan muda, saya berharap pembicaraan masyarakat kita bisa menjadi partisipasi yang membangun terciptanya kualitas diskusi ruang publik kita yang merangkak naik secara positif. Jujur saja, sebagai orang muda saya sungguh ingin kesadaran kolektif terjadi dalam pemilu kita terutama kesadaran tentang partisipasi politik orang muda yang jujur, berkualitas, dan beretika.
Saya tentu berharap, kepemimpinan muda dapat dihasilkan melalui pemilu kita dengan satu syarat bahwa pengertian kepemimpinan muda tidak mengalami bias persepsi sehingga masyarakat dapat menjadikan nilai-nilai ontologi tentang kepemimpinan muda sebagai parameter ideal dalam menentukan pilihan politik dalam Pemilu 2024; memilih kandidat yang jelas memiliki rekam jejak positif, pengalaman memimpin birokrasi yang cukup, dan tentunya menjadi kandidat yang siap memperjuangkan aspirasi dari 52% pemilih muda.
Terakhir, populasi orang muda yang besar dalam Pemilu 2024 bukan tidak mungkin akan menjadikan orang muda sebagai komoditas politik; suaranya diincar dengan berbagai cara oleh kandidat capres-cawapres dengan menggunakan berbagai cara termasuk politik kuda troya, dan mungkin salah satunya adalah dengan mencalonkan orang muda menjadi cawapres sebagai upaya aspiratif mendapatkan perhatian orang muda.
Saya sungguh berharap, politik orang muda menjadi politik yang progresif yang jauh dari praktik nepotisme dan korupsi yang jelas-jelas telah membawa negara kita terus berada dalam lambatnya percepatan pembangunan. Politik orang muda adalah politik yang memperjuangkan konstitusi, menjunjung tinggi etika politik, berangkat dari semangat belajar masa lalu, dan membawa masyarakat pada konsolidasi terciptanya bonum comunne atau kebaikan bersama.
Yohanes Tola Ketua PMKRI Yogyakarta
(mmu/mmu)