Menimbang Fokus Putusan Majelis Kehormatan MK
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menimbang Fokus Putusan Majelis Kehormatan MK

Senin, 06 Nov 2023 14:30 WIB
Munafrizal Manan
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Pelapor dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim Mahkamah Konstitusi (MK) terkait putusan batas usia capres-cawapres, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, mengungkapkan bahwa Ketua MK Anwar Usman tak setuju dibentuk Majelis Kehormatan MK (MKMK) secara permanen. Sehingga, sampai saat ini MKMK dibentuk ketika adanya laporan saja.
Sidang Majelis Kehormatan MK (Foto: (Brigitta Belia Permata Sari/detikcom)
Jakarta -

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah selesai memeriksa laporan dugaan pelanggaran etik dari berbagai pihak. MKMK pun telah memeriksa sembilan hakim konstitusi sebagai terlapor. Menurut jadwal, MKMK akan membacakan putusan pada 7 November 2023.

Salah satu perdebatan yang muncul, apakah putusan MKMK dapat menyatakan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak sah dan batal? Ada yang berpendapat, dan bahkan bersikeras meminta MKMK memutus tidak sah dan membatalkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Sebaliknya, ada yang berpendapat MKMK tidak berwenang memutus tidak sah dan membatalkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Saya berada dalam barisan pendapat kedua ini.

Bukan Lembaga Banding

MKMK adalah organ pengawas dan penegak etik terhadap dugaan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi oleh hakim konstitusi, bukan lembaga banding atas putusan MK. Saya percaya, MKMK akan menempatkan dirinya sebagai lembaga etik yang tugas dan wewenangnya limitatif dalam koridor etika.

Saya pernah merilis pendapat hukum bahwa MKMK tidak dapat membatalkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Ada dua argumentasi pokok yang saya kemukakan. Pertama, sifat final putusan MK itu telah ditegaskan oleh Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. MK merupakan lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final sehingga tidak ada upaya hukum yang tersedia untuk menilai Putusan MK itu tidak sah dan kemudian membatalkannya.

UUD NRI Tahun 1945 merupakan hukum dasar tertinggi dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia. Dengan demikian, membatalkan putusan MK bermakna mencederai konstitusi, terlepas suka atau tidak suka dan memuaskan atau tidak memuaskan isi putusan MK. Seorang konstitusionalis tidak akan melanggar konstitusi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kedua, UU Kekuasaan Kehakiman, apabila dibaca dan dipahami secara utuh, tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk membatalkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Ketentuan Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman perihal hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila hakim mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, tidak dapat dijadikan dasar hukum yang kuat untuk membatalkan Putusan MK yang bersifat final.

Pasal 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan dan membedakan tentang batasan pengertian hakim, hakim agung, hakim konstitusi, dan hakim ad hoc. Penyebutan ini untuk memberikan kejelasan dalam konteks apa batasan pengertian itu digunakan dalam UU Kekuasaan Kehakiman.

Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman menggunakan kata "hakim" yang secara spesifik dan limitatif ditujukan untuk hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5 yaitu hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya. Dengan demikian, penggunaan kata hakim dengan huruf "h" kecil dalam Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman tidak dapat diartikan generik berlaku untuk semua hakim dan termasuk hakim konstitusi.

Jika dicermati lebih jauh, pasal-pasal lain dalam UU Kekuasaan Kehakiman secara jelas menggunakan penyebutan berbeda untuk kata hakim dan hakim konstitusi. Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 48 UU Kekuasaan Kehakiman menggunakan penyebutan dan pembedaan kata hakim dan hakim konstitusi dengan sangat jelas sehingga menjadi jelas pula sesungguhnya dimaksudkan kepada siapa (addressaat norm).

ADVERTISEMENT

Pasal 36: Hakim dan hakim konsitusi dapat diberhentikan apabila telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang.

Pasal 37: Ketentuan mengenai tata cara pemberhentian hakim dan hakim konsitusi diatur dalam undang-undang.

Pasal 48:
(1) Negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.

(2) Jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam Pasal 36, kata "Hakim" menggunakan huruf "H" besar karena berada di awal kalimat dan menurut kaidah baku penulisan memang harus menggunakan huruf besar. Sementara dalam Pasal 37 dan Pasal 48, kata hakim dan hakim konstitusi dibedakan dan ditulis dengan huruf "h" kecil. Meskipun sama-sama menggunakan huruf "h" kecil, bukan huruf besar, addressaat norm ketentuan itu ditujukan secara jelas dan berbeda kepada siapa.

Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 48 UU Kekuasaan Kehakiman terang-benderang menunjukkan perbedaan penggunaan kata hakim dan kata hakim konstitusi. Dengan demikian, penyebutan kata hakim tidak dapat dipaksakan mencakup hakim konstitusi, sebaliknya penyebutan kata hakim konstitusi bukan dimaksudkan untuk hakim.

Dengan menggunakan pendekatan sistematis, berdasarkan Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 48 UU Kekuasaan Kehakiman di atas, menjadi jelas bahwa Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman sesungguhnya in concreto ditujukan untuk lembaga-lembaga peradilan di lingkungan Mahkamah Agung yang sifat putusannya tidak serta-merta final karena ada hierarki kelembagaan bertingkat (pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali).

Apabila Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman juga termasuk untuk hakim konstitusi, maka pembentuk undang-undang tentu sudah menambahkan kata hakim konstitusi sebagaimana dalam norma Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 48 UU Kekuasaan Kehakiman.

Jika ketentuan Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman ini dipaksakan sebagai dasar hukum untuk membatalkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, maka akan terjadi konflik norma hukum, yaitu hukum yang rendah (UU Kekuasaan Kehakiman) bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi (UUD NRI Tahun 1945). Menurut asas hukum yang berlaku universal, tidak dapat dan tidak boleh hukum lebih rendah menganulir hukum lebih tinggi (lex superior derogat legi inferiori).

Fokus di Ranah Etik

Atas dasar itulah saya yakin putusan MKMK akan hanya fokus di ranah etik, tidak akan melampaui tugas dan wewenangnya dengan membatalkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Keyakinan saya ini diperkuat pula oleh alasan lain, yaitu Profesor Jimly Asshiddiqie memiliki track record sangat menghormati sifat final dan mengikat sebuah putusan hukum.

Saat menjadi Ketua MK, Profesor Jimly pernah berkirim surat resmi pada 7 Oktober 2005 kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) perihal kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM yang melanggar putusan MK mengenai pengujian UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. MK telah menjatuhkan putusan bahwa UU ini melanggar UUD 1945, namun pemerintah justru mencantumkannya sebagai rujukan dalam mengeluarkan Perpres Nomor 55/2005 tentang Harga Jual Eceran BBM. Ketua MK Profesor Jimly tegas mengingatkan Presiden SBY agar melaksanakan Putusan MK yang bersifat final dan mengikat.

Ketika Profesor Jimly menjadi Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), pernah ada dua KPUD mempermasalahkan Putusan DKPP dan menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yaitu Ketua KPU Kabupaten Puncak Jaya dan Ketua KPU Kabupaten Lumajang. Ketua DKPP Profesor Jimly, pada 11 Januari 2013, mengadakan pertemuan koordinasi dengan pimpinan Mahkamah Agung terkait gugatan ini, dan menyampaikan ketentuan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu bahwa Putusan DKPP bersifat final dan mengikat. Atas dasar ketentuan ini, Putusan DKPP tidak dapat dibatalkan.

Dua peristiwa itu menunjukkan jalan pikiran dan sikap Profesor Jimly yang sangat menghormati putusan hukum yang bersifat final dan mengikat, terlepas putusan itu disukai atau tidak disukai dan memuaskan atau tidak memuaskan. Oleh karena itu, saya percaya MKMK tidak akan membatalkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang bersifat final karena dasar hukumnya diatur pada level konstitusi.

Munafrizal Manan advokat, analis hukum konstitusi, alumnus University of Melbourne dan Universiteit Utrecht

(mmu/mmu)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads