Media nasional dan internasional pernah mencoba menghitung upah yang pantas untuk pekerjaan ibu rumah tangga. Angkanya fantastis. Pada 2020, salary.com menganggap angka 2.5 miliar/tahun sebagai upah yang layak untuk pekerjaan multidisiplin ini. Jumlahnya yang fantastis seperti mengkonfirmasi anggapan bahwa ibu rumah tangga adalah profesi yang begitu mulia.
Anggapan ini tidak keliru, meski di sisi sebaliknya, kita dengan mudah bisa menemukan cerita tentang ibu rumah tangga yang dilanda depresi.
Depresi salah satunya disebabkan oleh adanya perasaan kesepian. Perasaan yang ganjil mengingat banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan oleh ibu rumah tangga (IRT). Sibuk tapi sunyi-riuh namun sepi, barangkali menjadi paradoks yang berkelindan paling erat dalam kehidupan sebagai ibu rumah tangga. Sebagai IRT, kedua hal ini seringkali memberi saya sudut pandang baru dalam melihat peristiwa.
Sudut Pandang Baru
Tiga pekan lalu, saya mengikuti sebuah workshop autoetnografi. Workshop ini bertempat di sebuah kafe yang juga toko buku bekas. Saya melihat-lihat koleksi buku mereka yang menjulang di tiap sisi dinding ruangan. Cocok sekali sebagai penyelenggara workshop menulis, pikir saya.
Saya mendaftar workshop ini karena tergiur dengan kata 'penulis' dan 'autoetnografi'. Sebagai seorang yang sangat sering menggunakan pengalaman pribadi sebagai referensi dan pintu masuk sebuah tulisan, saya merasa harus ikut acara ini. Saya membayangkan akan membedah beberapa tulisan, mengkaji beberapa prinsip di dalamnya, dan tentu saja berlatih menulis. Bayangan yang ternyata keliru.
Barangkali karena terlalu menggebu-gebu, saya mengabaikan beberapa hal mendasar. Tidak sampai 10 menit setelah acara dibuka, saya menyadari agaknya saya berada di tempat yang salah. Moderator membuka acara dan menjelaskan secara singkat gambaran diskusi beberapa jam ke depan. Merasa janggal, saya mengecek poster acara di IG, saat itulah saya baru tersadar bahwa workshop ini bukan untuk mempelajari jenis tulisan apatah lagi teknik menulis.
Saya sudah terbiasa kesasar meski menggunakan bantuan Gmaps, tapi nyasar di acara semi ilmiah menorehkan pengalaman nyasar yang baru.
Sesi perkenalan setelahnya membuat saya berharap menguasai jurus shunshin no jutsu. Dari semua peserta, hampir semuanya adalah mahasiswa sarjana dan master. Sisanya adalah pekerja instansi pemerintah, aktivis NGO, dan the one and only, seorang ibu rumah tangga. Rasanya, saya benar-benar ingin menghilang.
Sekalipun semua orang bilang IRT adalah pekerjaan mulia, toh pada sesi perkenalan itu saya tidak menyebut diri sebagai ibu rumah tangga. Saya menyambar beberapa 'pekerjaan sampingan' yang pernah saya kerjakan sebagai identitas diri. Saya sesekali menulis dan menjahit, begitulah mulut saya berkilah. Dan, begitulah paradoks lainnya dalam keseharian ibu rumah tangga.
Jarak Imajiner
Menit berlalu, dan meskipun sempat merasa berada di tempat yang salah, seru juga mempelajari hal baru. Autoetnografi adalah sebuah metode penelitian yang menggunakan pengalaman pribadi sebagai pemantik untuk menganalisis fenomena sosial. Fokus metode ini bukan pada pengalaman pribadi tersebut, melainkan pada pemaknaan atas pengalaman tersebut.
Ketika sesi tanya jawab dibuka, banyak pertanyaan yang juga ingin saya ajukan. Tentang kemungkinan menambahkan data dari sumber lain, irisan antara metode ini dengan struktur tulisan esai dan beberapa pertanyaan receh lainnya.
Namun dengan cepat saya menahan diri untuk mengangkat tangan dan bersuara. Apakah pertanyaan dan topik yang saya ajukan,relevan dalam forum ini? Begitulah yang membuat saya menahan diri kuat-kuat. Saya merasa jarak ibu rumah tangga dengan para akademisi di forum ini begitu dalam dan lebar.
Tentu itu jarak imajiner, karena dalam kenyataannya tak sampai 200 meter jarak di antara kami. Terbatasnya kesempatan yang mempertemukan ibu rumah tangga dengan kelompok profesi lain barangkali jadi salah satu sebab yang menciptakan jarak imajiner itu.
Entah karena kesibukan atau ketiadaan kesempatan, ibu rumah tangga sepertinya jarang berjejaring dengan profesi yang tidak beririsan dengan urusan keluarga. Ibu rumah tangga mungkin punya banyak kontak, mulai dari tukang galon sampai dokter langganan. Dan, tentu saja kontak itu akan berisi deretan nama ibu-ibu lain yang beririsan karena urusan sekolah anak atau lingkungan.
Jarang sekali ibu rumah tangga bersisian dengan tokoh publik, ilmuwan, sastrawan, apalagi jurnalis kawakan jika ia tak pernah menerobos sekat-sekat dalam ruang yang sangat jauh dari kesehariannya. Bahkan dengan psikolog yang sebenarnya memiliki irisan cukup besar dengan urusan keluarga, tidak semua ibu rumah tangga memilikinya.
Dalam sesi berbagi, pembicara bercerita tentang kesulitannya dalam mencari data dari narasumber. Para narasumbernya ini dengan kompak menganggap hal yang dilihat sebagai sebuah masalah pelik oleh peneliti, bukanlah suatu masalah. Perbedaan sudut pandang yang cukup mendasar ini membuat pembicara sempat ingin mengganti penelitiannya.
Tapi, bukankah perbedaan sudut pandang itu sendiri adalah sebuah data? Begitu sanggah saya. Tentu dalam hati. Saya cukup terkejut ketika pembicara meluncurkan kalimat serupa sanggahan saya, sebagai jawaban dari dosen pembimbingnya saat ia berkonsultasi. Kali ini saya tidak ingin menguasai jurus, melainkan ingin segera menyusun gerakan selebrasi. Bagaimana tidak gembira, ibu rumah tangga ini ternyata bisa juga menalar seperti cara berpikir sang pembicara.
Peristiwa ini membuat kepercayaan diri saya timbul sedikit demi sedikit. Mungkin benar para akademisi ini mengasah ketajaman berpikirnya dari pergulatannya dengan teori setiap hari. Namun, ketajaman yang sama, dengan mata pisau yang berbeda, juga bisa didapat ibu rumah tangga dari pergulatannya dengan kehidupan setiap hari.
Saya jadi ingat, beberapa bulan lalu saya sempat mencari beasiswa untuk studi lanjutan. Hampir semua, untuk tidak mengatakan seluruhnya, meminta afiliasi dari kantor dalam pendataan awal. Saya bisa saja mengisinya dengan komunitas tempat saya berkegiatan akhir-akhir ini. Sebelum kemudian saya berpikir, mengapa hanya kelompok tertentu yang boleh dan bisa mengakses beasiswa ini? Kurang besarkah berkontribusi pada peradaban melalui keluarga sebagai alasan seorang ibu rumah tangga untuk belajar? Mengapa belajar harus bertujuan untuk mendukung kerja? Tidak bisakah kita belajar for the sake of kebutuhan dasar sebagai individu yang bertumbuh?
Pertanyaan-pertanyaan itu kembali menghantui saya sepanjang diskusi berlangsung, dan membawa saya pada jawaban-jawaban baru. Bahwa ternyata banyak juga tempat-tempat belajar yang terbuka untuk ibu rumah tangga. Saya lalu mulai mengurutkan beberapa kelas yang sering saya temui. Ada kelas parenting, mengelola emosi, mengelola keuangan, menyusun menu sehat, mengenal tumbuh kembang anak.
Sayangnya, kelas-kelas belajar itu memiliki tema yang sangat spesifik yaitu hanya seputar anak, suami, dan pengelolaan rumah tangga. Kelas-kelas itu seperti merepresentasikan apa yang dituduh oleh Denny Caknan sebagai 'fungsi' istri. Mengapa selalu tema-tema demikian yang terbuka bagi kelompok ibu rumah tangga? Mengapa tidak ada kelas coding, filsafat, atau hukum yang terbuka untuk ibu rumah tangga? Ah, semoga saja saya yang mainnya kurang jauh.
Butuh Dukungan
Percayalah, saya masih meyakini ibu rumah tangga sebagai profesi yang suci nan mulia. Namun jangan lupa, profesi yang mulia juga butuh dukungan agar jalannya mulus tanpa drama. Boleh-boleh saja memilih jalan sunyi ini baik karena kesadaran pribadi, maupun kesepakatan bersama dengan suami. Terlalu berat jika meletakkan beban peradaban hanya pada pundak seorang ibu. Sebab katanya, butuh satu desa untuk mengasuh seorang anak.
Sebagai seorang ibu rumah tangga, saya hanya mau bilang, profesi suci nan mulia ini mestinya justru memberikan kesempatan bagi para ibu untuk terus berdaya dan bertumbuh. Karena ia melayani banyak orang, kadang kala ia lupa melayani dirinya sendiri. Terbukanya banyak kesempatan bagi ibu rumah tangga, pasti akan membantunya tetap berdiri sebagai diri sendiri, sebelum memungkinkannya mengasuh orang lain.
Ibu rumah tangga boleh tidak berkarier, tapi hidupnya tidak boleh berhenti hanya karena memilih rumah dan isinya sebagai long term project.
(mmu/mmu)