Saat ini kita menyaksikan suasana perang terjadi di Jalur Gaza. Namun kepentingan anak-anak di wilayah itu seharusnya menjadi alasan utama bagi seluruh dunia untuk mendesak dihentikannya kekerasan di sana.
David Bürgin dari University of Ulm, Steinhövelstrasse, Germany dan pengajar di University of Basel, Basel, Switzerland mengutip kalimat dari Dame Graça Machel, seorang aktivis hak asasi, mantan ibu negara Mozambik dan Afrika Selatan sebagai berikut: Children are both our reason to eliminate the worst aspects of armed conflict and our best hope of succeeding in that charge. Sebuah kalimat yang sangat menyentuh.
Sederhananya, anak-anak adalah alasan kita untuk menghentikan dampak terburuk dari konflik bersenjata dan demi anak-anak pulalah kita berharap untuk mempertahankan keadaan damai itu.
Tulisan David Bürgin mengulas mengenai dampak buruk perang terhadap anak-anak. Menurutnya, setidaknya ada tiga hal yang dialami oleh anak-anak dalam situasi perang. Pertama, gangguan kecemasan dan emosi. Kedua, stres pasca trauma dan gangguan depresi. Ketiga, kehilangan kenyamanan dan keamanan, bahkan mengalami perpisahan dari orangtua, kerabat, dan lingkungan yang menyenangkan. Ketiga hal itu bisa terjadi bersamaan atau sendiri-sendiri, dalam derajat yang bervariasi.
Terperangkap
Setiap individu memiliki proses kehidupan yang dapat dibagi dalam berbagai macam tahapan, yang sederhananya adalah periode anak, remaja, dewasa, dan terakhir adalah orangtua. Namun di antara seluruh tahapan tersebut, tahap anak adalah periode yang sangat penting, sekaligus masa paling kritis. Itu adalah periode sangat awal dalam kehidupan manusia, yang menjadi cikal bakal kehidupan individu selanjutnya.
Dalam periode menjadi anak itulah, seseorang akan mulai belajar dari lingkungannya mengenai rasa percaya diri, mencintai, dan memiliki bahkan mengembangkan diri dalam suasana yang penuh kenyamanan. Ia akan mencermati hal-hal demikian, dari sekecil-kecilnya, setiap-tiap hari, dalam hidupnya saat masih menjadi anak tersebut.
Ia belajar memahami sekitarnya dan menjadikan proses belajar itu sebagai bagian dari pembentukan diri. Ia menerima informasi dari apa yang dilihat dan didengarnya serta dialaminya. Cikal bakal perilaku masa depan seseorang sangat ditentukan oleh pengalamannya di masa menjadi anak.
Dengan demikian, hanya jika seseorang anak bertumbuh dalam suasana dan lingkungan seperti itu, maka kelak ia akan mampu mengaktualisasi diri menjadi pribadi yang positif dan sempurna sebagai manusia di tahapan berikutnya. Sayangnya hampir sejuta anak di seluruh wilayah di Jalur Gaza seumur hidupnya tidak pernah mengalami pengalaman positif dalam hidupnya, bahkan ada yang sejak dari lahirnya tak pernah belajar dari lingkungan yang kondusif.
Alih-alih belajar dan menyaksikan kasih sayang, laporan organisasi Save The Children (STC) pada 2022 menunjukkan bahwa anak-anak di sana terperangkap dalam situasi lingkungan yang sangat merusak perkembangan seorang anak. Sejak dilahirkan, anak-anak itu menyaksikan blokade fisik pada mereka. Setiap hari mereka hidup di area yang begitu tercengkeram oleh berbagai macam regulasi, bahkan melihat tembok-tembok tebal mengitari hidup mereka.
Anak-anak di Jalur Gaza terbiasa hidup dalam kemiskinan, tak jarang dalam teriakan-teriakan ketakutan, deru kematian dan ancaman pembunuhan. Mereka sedari kecilnya merasakan kesulitan makan dan keterbatasan hidup bahkan akses listrik dan air yang seketika bisa dipadamkan begitu saja.
Tiap saat anak-anak di Jalur Gaza mendengar desingan roket, peluru, dan sirene. Perbincangan orangtua mereka adalah mengenai tekanan hidup, kesulitan bekerja, dan masa depan yang sangat tak pasti. Informasi-informasi dalam lingkungan seperti itu masuk ke dalam narasi kognitif mereka, dan akhirnya membentuk diri mereka.
Tak Bisa Bermimpi
Maka yang terjadi sudah bisa ditebak. Mereka bertumbuh menjadi anak-anak yang sangat tidak sehat. Masih dari laporan STC, anak-anak di sana ditemukan mengalami peningkatan masalah yang tesisnya telah disampaikan oleh David Bürgin.
Di Jalur Gaza, pada saat survei dilakukan oleh STC, 8 dari 10 anak mengalami ketakutan, 8 dari 10 anak mengalami gelisah, 7 dari 10 anak mengalami kesedihan atau depresi, dan 8 dari 10 anak mengalami rasa duka. Lebih dari separuh anak-anak di Jalur Gaza memikirkan untuk bunuh diri dan 3 dari 5 anak menginginkan menyakiti diri sendiri. Semua angka-angka tersebut meningkat hanya dalam waktu beberapa tahun saja.
Sebegitu buruk kondisi psikologis anak-anak tersebut, karena mereka tumbuh besar dalam situasi yang menekan jiwa mereka. Mereka dibentuk oleh lingkungan yang begitu negatif, dan kelak menjadi individu-individu yang mungkin akan melakukan tindakan yang sangat buruk sekalipun. Mengapa? Karena sejak dari kecilnya mereka melihat kehidupan yang sangat tidak mendukung pada perkembangan kepribadian mereka.
Interaksi mereka dengan suasana perang menyebabkan mereka menjadi pribadi yang demikian. Penelitian-penelitian lain mengkonfirmasi bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam suasana perang, bahkan kesulitan untuk membayangkan masa depan yang positif. Mereka tidak melihat harapan terhadap diri, karena menyaksikan penderitaan dan nestapa sejak dari kecilnya.
Árpád Baráth (2002) menuliskan situasi anak-anak pasca Perang Kosovo (1998 - 1999). Beberapa bulan saat krisis selesai, banyak anak-anak ditemukan menunjukkan gangguan kesehatan. Di antaranya adalah sakit kepala, gangguan perut, demam, dan kurang tidur. Demikian juga kondisi gangguan psikologis, banyak dialami oleh anak-anak. Usai konflik di Liberia (1989 - 2004), Christina P.C Borba dkk (2016) melaporkan situasi yang dihadapi anak-anak. Laporan mereka menunjukkan adanya kesedihan dan depresi, motivasi yang rendah, konsentrasi yang tidak baik bahkan perilaku buruk.
Anak-anak di Jalur Gaza berada dalam situasi yang sangat buruk. Jika dirunut kondisi beberapa tahun terakhir ini di mana perang terjadi di berbagai tempat, hampir semuanya telah selesai, kecuali di Ukraina dan beberapa tempat di kawasan Afrika dan Asia. Tidak ada yang berada dalam skala masif dan situasinya seburuk di Jalur Gaza.
Jika perang di berbagai wilayah sudah selesai dan kini anak-anak bisa hidup dalam pemulihan trauma, sebaliknya dalam setidaknya 15 tahun terakhir, anak-anak di Jalur Gaza mengalami lingkungan yang sangat buruk secara permanen, bahkan semakin hari semakin memburuk.
Kembali ke laporan STC, ada kutipan kalimat dari seorang anak berusia 14 tahun bernama Amr. Ia menceritakan pengalaman yang sangat menyedihkan. Ia berkata bahwa saat terjadi peningkatan kekerasan di wilayahnya ia tidak bisa tidur. Ia mengalami malam yang sangat buruk. Ia ketakutan jika rumah mereka atau rumah tetangga mereka terkena bom lagi. Ia ditenangkan oleh ayahnya dan ia pun mencoba tidur kembali.
Entah apa yang akan terjadi pada Amr dan anak-anak lainnya di Jalur Gaza kelak dalam kehidupan mereka, 5 atau 10 tahun atau seumur hidup mereka. Anak-anak di Jalur Gaza tak bisa bermimpi mengenai selesainya perang, apalagi pemulihan. Mimpi buruk baru malah terjadi saat ini. Eskalasi suasana perang semakin meningkat di sana hanya dalam beberapa hari saja.
Menyaksikan wajah-wajah anak-anak yang ketakutan dan mendengarkan laporan televisi menyiarkan anak-anak di Jalur Gaza berteriak ketakutan, tentu sepatutnya kita bertanya, "Apakah kita sudah tidak lagi melihat anak-anak ini sebagai alasan kita menghentikan perang ini?"
Fotarisman Zaluchu pengajar di Prodi Antropologi Sosial FISIP Universitas Sumatera Utara