Imaji kita tentang terciptanya demokrasi politik yang sehat masih jauh dari cita-cita demokrasi itu sendiri. Deviasi politik kita menuju jurang demokrasi yang benar-benar mengalami regresi. Impian menjadi negara dengan demokrasi yang stabil hanya menjadi bayangan imajinasi politik yang enggan terwujud.
Indonesia mengalami krisis demokrasi yang menandai perbagai persoalan yang cukup besar. Ruang sipil yang masih terkikis mengutarakan kebebasan, persoalan lingkungan hidup yang dialami masyarakat adat, menguatnya kekuatan politik dinasti, dan instrumen hukum dipakai penguasa untuk mengamputasi lawan politik. Sekiranya kondisi ini masih sangat terlihat dalam dinamika demokrasi kita saat ini.
Ben Anderson menulis buku Imagined Communities (1983) membayangkan sebuah bangsa yang lahir dan tidak pernah bertatap muka satu sama lain bertemu dalam satu tempat, membayangkan diri mereka masing-masing bagian dari suatu bangsa. Ketika Nusantara ini masih diisi oleh kerajaan-kerajaan yang terpisah bersatu membentuk menjadi sebuah bangsa yang bernama Indonesia. Sekarang, konsep itu bersatu dalam guyub, memiliki cita-cita dan semangat yang sama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Imaji bangsa terbebas dari rezim yang korup, oligarki yang mengancam demokrasi, dan melemahnya dinasti politik, semua itu hanya sebagai utopia. Indonesia masih mengalami situasi krisis demokrasi yang ditandai pelbagai persoalan yang menyelimutinya.
Di negara demokrasi yang masih belum berkembang segala situasi dan konsekuensi bisa saja terjadi. Manuver yang dilakukan oleh berbagai elite pun masih bisa terjadi, situasi ini tentu bisa mempengaruhi fragmentasi politik. Tensi politik hari ini tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Kegaduhan di ruang publik menuju Pemilu 2024 pun masih disesaki berbagai manuver elite yang membingkai dalam pesimisme bagi kemajuan bangsa.
Menciptakan pendidikan politik bagi masyarakat umum pun sulit terealisasi, menyaksikan satu elite ke elite lainnya sibuk dengan membangun koalisi tanpa mementingkan aspek fundamental demi kemaslahatan bersama. Pemilu 2024 seperti ritual para oligarki membangun koalisi demi kepentingan pribadi.
Desain Politik
Meski reformasi politik sudah berlangsung selama 25 tahun, euforia menumbuhkan demokrasi tidak berjalan secara ideal, sulit membingkai rasa optimisme pasca jatuhnya rezim Orde Baru dan melangkah lebih jauh dari rezim otoriter. Sebaliknya evolusi yang baru memperlihatkan autoritarian populisme rezim dibalut demokrasi.
Faktanya, situasi politik kita masih terjebak dalam kemelut kepentingan elite dalam memperpanjang pengaruh politiknya agar tetap berkuasa. Misalnya, setahun lalu isu yang sempat mencuat tentang penundaan pemilu untuk mengakali kepentingan penguasa pupus di tengah jalan karena dianggap tidak relevan dan rasional.
Selain itu, ancaman kemunduran demokrasi saat ini tengah berada di depan mata bagaimana konstitusi diakali oleh sekelompok elite tentang batas pencalonan usia pencalonan capres dan cawapres yang semula 40 tahun menjadi 35 tahun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Tetapi, putusan terakhir dari Mahkamah Konstitusi tentang Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sedianya berbunyi, "Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun." Atas putusan MK ini, seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun (CNBC Indonesia, 17/10).
Pelemahan aturan main demokrasi yang digagas para elite menjadi ancaman negeri ini. Dalam buku Levitsky & Ziblatt How Democracies Die 2018 disebutkan bahwa penolakan atau komitmen yang lemah atas aturan main demokrasi merupakan satu faktor yang membunuh dan melemahkan demokrasi.
Sementara itu, hasil riset Warburton & Aspinall Explaining Indonesia's Democratic Regression: Structure, Agency and Popular Opinion 2019 menunjukkan bahwa salah satu karakteristik yang menentukan dari gelombang kemunduran demokrasi yang terjadi di seluruh dunia selama dekade terakhir sebagian besar kerusakan demokrasi disebabkan bukan oleh para jenderal dan tentara, tetapi oleh pemerintah terpilih.
Argumen ini membawa pada kondisi demokrasi yang terjadi di Indonesia; pemerintahan yang terpilih dengan cara yang picik sangat dengan mudah membajakkan demokrasi dan mengakali aturan main demi mempertahankan pengaruh politiknya.
Desain politik hari ini menunjukkan bahwa Jokowi sedang membangun desain politik dinastinya untuk mempertahankan pengaruhnya pasca tidak menjabat. Celakanya, elite politik berada dalam koridor yang sama mendukung kondisi ini. Situasi yang cukup kompleks; pesta demokrasi pada 2024 dihadapi dengan perasaan yang pesimistis.
Hamzah Jamaludin S.IP, M.Sos analis politik