Isu percepatan jadwal pemilihan kepala daerah (pilkada) dari semula 27 November 2024 menjadi September 2024 seyogianya memperhatikan semangat demokrasi lokal dan otonomi daerah. Dari perspektif kajian politik pemerintahan lokal, eksistensi pilkada langsung tidak lepas dari cetak biru otonomi daerah sebagai motor penggerak demokratisasi di daerah. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran dan pendewasaan politik rakyat yang berbuah partisipasi politik nyata dalam proses pemilihan dan pembuatan keputusan politik. Sehingga percepatan jadwal pilkada penting dikaji dari kacamata politik pemerintahan lokal melalui konsep demokrasi lokal.
Demokrasi lokal dalam pandangan ini berbeda dengan demokrasi liberal, demokrasi lokal mensyaratkan demokrasi partisipatif yang membuka ruang publik seluas-luasnya bagi semua aktor untuk merumuskan dan memutuskan kebijakan yang bersandar bagi kebutuhan rakyat. Sejalan dengan konsep otonomi daerah yang memungkinkan tumbuhnya partisipasi luas bagi masyarakat demi mendorong kemajuan daerahnya sehingga pilihan politik diambil secara mandiri tanpa bergantung dengan pemerintah pusat (Aminah, 2014). Jadwal Pilkada yang dipersingkat maka berpotensi membatasi ceruk partisipasi lokal secara ekstrem.
Dalih Percepatan Pilkada
Rencana penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dengan agenda memajukan jadwal Pilkada 2024 mencuat dengan beberapa alasan. Pertama, dalih keserentakan waktu pelantikan kepala daerah agar tidak berjauhan dengan waktu pelantikan presiden guna menyelaraskan program rencana pembangunan jangka pendek di aras nasional dan daerah.
Kedua, agar ajang Pilkada 2024 masih menjadi pekerjaan rezim pemerintahan saat ini bukan rezim hasil Pemilu 2024, dengan alasan pemerintahan hasil Pemilu 2024 akan disibukkan dengan konsolidasi pembentukan kabinet. Selain itu masa kerja penjabat kepala daerah menjadi relatif singkat karena segera digantikan kepala daerah definitif hasil pemilihan.
Percepatan jadwal pilkada berkonsekuensi langsung terhadap perkembangan demokrasi lokal. Dari kajian politik pemerintahan lokal, demokrasi lokal menawarkan kepada semua warga untuk mengekspresikan seluruh potensinya dengan melaksanakan kebebasan mereka termasuk identitas lokal mereka melalui praksis-praksis politik seperti pemilu dan pilkada (Aminah, 2014). Apabila dipercepat menjadi September 2024, maka mekanika tahapan pilkada akan sangat singkat dibandingkan pemilihan sebelumnya. Dengan tahapan yang serba cepat dan kejar tayang, bagaimana dengan ruang pelibatan masyarakat secara utuh dan leluasa sesuai aspirasi lokal mereka?
Kualitas Tahapan Pilkada
Irisan dengan tahapan pemilu sangat riskan tidak saja bagi penyelenggara pemilu, namun juga bagi masyarakat di daerah. Seiring berjalannya tahapan pemilu dan pilkada secara bersamaan, fokus penyelenggara dan masyarakat juga akan terbelah. Pemilih di daerah dihadapkan pada dua kontestasi yang tidak berimbang, dengan derajat prestise berbeda.
Pemilu yang memasuki masa-masa puncak bisa saja memiliki pamor lebih tinggi ketimbang pilkada. Atensi publik nasional dan lokal tertuju pada pemilu. Alhasil, kualitas tahapan dan kualitas partisipasi pilkada menjadi taruhannya. Sebagai praktik desentralisasi politik, pilkada dengan waktu tahapan yang pendek akan mempengaruhi mutu pendidikan dan partisipasi politik rakyat.
Pelaksanaan pilkada bagi masyarakat sendiri membutuhkan persiapan yang matang sejak masa sosialisasi. Sosialisasi yang intensif dan masif dari pemerintah, penyelenggara pemilu, dan stakeholder agar masyarakat mengetahui kapan pilkada berlangsung. Pentingnya fase ini ingin mendorong keinginan rakyat mengaktualisasikan dirinya secara positif dalam momen pilkada. Menjadi tugas pemerintah dan penyelenggara pemilu mengalokasikan waktu yang cukup bagi sosialisasi. Sosialisasi yang efektif merupakan tonggak awal bagi antusiasme lokal terhadap proses elektoral di daerah.
Begitu pula tahapan pencalonan kepala daerah dan kampanye sebagai pintu masuk partisipasi masyarakat dalam menjaring calon pemimpin yang sesuai dengan preferensi politiknya. Jangan sampai dengan waktu yang semakin sempit lantaran mengejar masa pemilihan dan pelantikan, kampanye sebagai wujud pendidikan politik tidak terlaksana secara bertanggung jawab dan tidak accessible bagi rakyat. Proses pencalonan dan kampanye kemudian sebatas prosedural semata dilakukan oleh kandidat peserta pemilihan tanpa memperhitungkan rakyat sebagai sasaran pendidikan politik.
Pertimbangan Demokrasi Lokal
Keterbatasan akses informasi dan minim pendidikan politik akibat pendeknya waktu tahapan-tahapan krusial dikhawatirkan dapat menurunkan partisipasi pemilih. Ajang pilkada langsung yang ditujukan mendewasakan pemilih daerah secara politik akhirnya tidak terealisasi. Sementara itu kerawanan yang kerap menghantui pilkada langsung semakin sulit dihindari.
Kuatnya corak primordialisme dan paternalistik masyarakat lokal menjadi target empuk hoaks dan hasutan-hasutan emosional berbau SARA, dibarengi nihilnya pendidikan dan literasi politik pemilih. Ekses-ekses negatif berupa polarisasi ekstrem dan konflik horizontal sangat rawan terjadi.
Argumentasi elite politik mempercepat pilkada dengan alasan efektivitas tata Kelola pemerintahan dan konsolidasi kebijakan nasional dan lokal lebih menekankan sifat desentralisasi administrasi daripada desentralisasi politik, melalui penguatan demokrasi lokal. Tujuan desentralisasi membuka keran demokratisasi lewat pilkada langsung, dengan harapan masyarakat akan melek politik hanya sekadar program regular dan agenda tambahan.
Kebijakan mempercepat pilkada bersifat top-down terkesan lebih mengontrol partisipasi daripada meningkatkan partisipasi. Waktu pemilihan pada September 2024 setidak-tidaknya menimbang elemen demokrasi lokal sebagai bagian semangat desentralisasi. Bahwa tujuan people empowering melalui pilkada menjadi pertimbangan utama dalam tata kelola pemilihan.
Pengaturan waktu tahapan perlu menakar partisipasi rakyat ke arah penguatan demokrasi lokal yang mapan dan konsolidatif. Dan, terpenting pemerintah mensosialisasikan isu utama wacana percepatan pilkada kepada masyarakat. Ide pemerintah pusat tersebut tetap perlu melewati penilaian kritis publik dan mendengar suara masyarakat daerah. Agar, esensi demokrasi lokal dengan core business partisipasi rakyat tetap terjaga, sehingga penerbitan Perppu tidak dianggap cerminan demokrasi elitis belaka tetapi menjurus pada grass-root democracy.
Silvester Sili Teka lulusan ilmu politik Universitas Airlangga
(mmu/mmu)