Berjalannya waktu membuat weak signals itu semakin kuat dan akhirnya nyata. pada era 1980-an mobil terbang, kecerdasan buatan, atau robotika sekadar driving forces. atau "mimpi". Hari ini adalah kenyataan. Pada 1990-an perubahan iklim karena penggunaan bahan bakar fosil sekadar sinyal-sinyal akademis, saat ini dampaknya telah memukul penduduk bumi. Demikian pula hantaman pandemi COVID-19, perang dagang, ataupun perang militer memperebutkan sumber daya bisa terjadi kapan saja. Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity serta Brittle, Anxious, Non-linear, dan Incomprehensible menjadi penanda zaman kita sekarang, di mana yang tetap adalah perubahan itu sendiri.
Berupaya menjawab kondisi ini, berbagai negara mengembangkan kemampuan strategic foresight untuk meraih keunggulan di tengah persaingan, ataupun mencegah krisis. Salah satu pusat keunggulan itu adalah United Arab Emirates Future Foresight Strategy yang menyadari keterbatasan sumber daya alam agar ke depan mereka terus eksis. Demikian pula Policy Horizons Canada (PHC), Secretariat for Strategic Development (SSD) Swedia, European Union Policy Lab Uni Eropa, atau Bundesministerium fΓΌr Bildung und Forschung (BMBF) Foresight Jerman. Bahkan, Singapura yang memiliki Center for Strategic Futures (CSF) membekali semua ASN mereka dengan kemampuan membaca kemungkinan masa depan.
Dalam perspektif saintifik, strategic foresight adalah "kemampuan untuk menilai secara tepat apa yang akan terjadi di masa depan dan merencanakan tindakan berdasarkan pengetahuan ini" (Cambridge Dictionary). Lebih lanjut UNDP menyatakan foresight sebagai a systematic, participatory, future-intelligence-gathering and medium-to long-term vision-building process aimed at enabling present-day decisions and mobilizing joint action. Artinya, dengan membaca berbagai driving forces pembentuk masa depan, kemungkinan yang akan terjadi 5, 10, atau 20 tahun lagi bisa diantisipasi.
Berbeda dengan Prediksi
Proses strategic foresight berbeda dengan memprediksi masa depan, karena proses alam semesta tidak dapat ditentukan secara persis. Namun masa depan menyediakan berbagai alternatif potensial serta dapat dipengaruhi oleh pilihan kita saat ini. Konsep strategic foresight dikembangkan untuk mempertajam analisis tren untuk penyusunan strategi, menjelaskan apa yang mungkin, dapat, akan, atau diharapkan terjadi di masa depan, yang oleh para pakar disebut sebagai Possible Futures, Plausible Futures, Probably Futures, ataupun Preferable Futures.
Fokus strategic foresight adalah memahami dan mengantisipasi tren dan peristiwa masa depan. Hal ini dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi tentang kondisi dunia saat ini, kemudian mengidentifikasi faktor eksisting yang mempengaruhi perubahan, dan akhirnya melakukan penilaian atas berbagai potensi dampaknya. Sehingga perspektif strategic foresight akan membantu negara mengidentifikasi peluang dan tantangan baru agar bisa ditindaklanjuti dengan penyusunan strategi. Berbagai pilihan metode foresight tersedia, setidaknya pada sepuluh tahun yang lalu telah terdapat 55 metode (Saritas, 2013).
Menariknya, Lembaga Pemeriksa Keuangan Eksternal Pemerintah (BPK) pernah menghasilkan strategic foresight berjudul Membangun Kembali Indonesia Pasca COVID-19: Skenario, Peluang, dan Tantangan untuk Pemerintah yang Tangguh. Buku ini mengandaikan skenario lima tahun setelah 2021, agar kapal besar Indonesia mengarah pada tujuan yang tepat pasca hantaman pandemi COVID-19. Memanfaatkan metode scenario planning yang cukup advanced dihasilkan empat skenario dari dua sumbu fundamental uncertainties, kondisi pandemi, dan efektivitas respons pemerintah, menghasilkan kemungkinan situasi terbaik sampai yang paling buruk.
Dari hasil pandangan para pakar yang dilibatkan, dinarasikan implikasi setiap skenario pada Sektor Kesehatan, Perekonomian, Keuangan, Sosial, Politik, Pendidikan, Lingkungan Hidup, dan Teknologi. Juga diuraikan terkait Peluang, Tantangan, dan Risiko yang muncul di setiap skenario. Inti dari pendapat BPK dengan perspektif foresight ini adalah adanya lima isu yang selalu muncul di setiap skenario yang harus diantisipasi pemerintah, yaitu perlunya 1) reformasi kesehatan, 2) reformasi pajak dan kesinambungan fiskal, 3) visi dan kepemimpinan pemerintah, 4) transformasi digital dan tata kelola data, serta 5) kualitas sumber daya manusia. Kelimanya perlu diperhatikan oleh siapapun pemimpin terpilih nanti dalam membangun negara kita pasca pandemi.
Selain menindaklanjuti pendapat BPK di atas, idealnya berbagai kementerian pembantu presiden yang melaksanakan perspektif foresight dalam merencanakan pembangunan, serta menelorkan kebijakan untuk mendorong program-program yang mampu menghadirkan recovery dan percepatan pembangunan serta pemerataan. Bersyukur, saat ini Kementerian/Lembaga mulai menerapkan pendekatan foresight. Di antaranya Bappenas dalam penyusunan RPJMN atau Kementerian ESDM terkait roadmap penggunaan energi baru terbarukan. Beberapa pihak juga telah menyusun Buku Putih Indonesia 2045, mengangkat isu pembangunan berkelanjutan, ataupun tumbuhnya kesadaran pemanfaatan bonus demografi.
Untuk itu pemerintah perlu berpikir secara whole of government dan bahkan menyusun whole stakeholder policy agar mampu menggambarkan kemungkinan serta membentuk masa depan. Diperlukan kerja kolaboratif baik oleh internal pemerintah serta berbagai stakeholders signifikan, termasuk melibatkan para pakar untuk menghadirkan kebijakan berbasis data dan ilmu pengetahuan.
Agaknya, pemerintah perlu memperhatikan hasil kajian PWC mengenai Megatrends β 5 perubahan global yang membentuk kembali dunia tempat kita tinggal. Analisis yang dirilis Oktober 2022 itu menyebutkan bahwa terdapat lima risiko yang dihadapi para pengelola pemerintahan di dunia, yaitu 1) Perubahan Iklim, 2) Disrupsi Teknologi, 3) Pergeseran Demografi, 4) Dunia yang mengalami perpecahan, dan 5) Ketidakstabilan sosial.
Pandangan Jauh ke Depan
Perlu digarisbawahi bahwa terkait strategic foresight, para founding parent kita orang-orang yang waskita, yang cerdas dalam membaca tanda-tanda zaman, serta mampu memanfaatkannya untuk keuntungan bangsanya. Momentum Perang Dunia II dimanfaatkan untuk menggerakkan kesadaran rakyat melawan kolonialisme Belanda. Setelahnya, kepiawaian mendayung di antara dua karang super power, Blok Barat dan Blok Timur, berhasil mempersatukan NKRI, baik wilayah daratan serta lautan. Pasca kemerdekaan administrasi dan politik tersebut, ternyata negara kita belum berhasil membongkar struktur ekonomi, yang ditandai oleh indeks ketimpangan yang belum membaik, bersamaan dengan indeks oligarki yang malah memburuk.
Apakah weak signal potensi konflik terbuka di Indo-Pasifik yang dapat terjadi kapan saja, ditandai pergerakan bidak-bidak militer dan diplomasi mampu memberi momentum kemerdekaan ekonomi bangsa kita? Bung Karno pernah mengatakan bahwa perjuangannya lebih ringan karena musuhnya jelas, yaitu bangsa asing. Pemerintah ke depan dituntut mampu menyatukan segenap potensi bangsa, mengendalikan oligarki, dan mengharmonisasi kepentingan bersama demi mewujudkan tujuan bernegara pasca dekolonialisasi, yaitu menggelar kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, serta turut serta mewujudkan perdamaian dunia.
Tanggal 19 Oktober lalu dua pasangan Bakal Capres-Cawapres telah mendaftarkan diri ke KPU, dan kemungkinan pasangan lainnya akan menyusul. Pandangan jauh ke depan (foresight) perlu dimiliki oleh para Capres-Cawapres, karena bangsa kita berada pada situasi dunia yang semakin rentan dan kompleks, di tengah berbagai momentum peristiwa berskala regional maupun global.
Para Capres-Cawapes harus mampu mengenali berbagai driving forces pembentuk masa depan, menskenariokan dan menarasikan, agar kondisi ideal bangsa kita dapat direalisasikan ke depan. Tawaran visi-misi tersebut akan menentukan keputusan para pemilih di bilik suara nanti, yang prosentase terbesarnya adalah anak-anak muda pemilik masa depan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nico Andrianto mahasiswa Program Doktor Terapan ilmu Administrasi Pembangunan Negara Politeknik STIA LAN, Jakarta