Putusan Usia Capres dan Etika "Dissenting Opinion" Hakim MK
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Putusan Usia Capres dan Etika "Dissenting Opinion" Hakim MK

Rabu, 01 Nov 2023 16:10 WIB
Agunghermansyah
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan batas maksimal usia capres 70 tahun. MK juga menolak gugatan usia 21 tahun bisa jadi capres/cawapres.
Foto: Andhika Prasetia
Jakarta -
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 (Putusan 90/2023) terkait batas usia capres dan cawapres telah menimbulkan kegaduhan yang luar biasa menjelang Pemilu 2024. Pertama, selain mengabulkan sebagian, MK juga menambahkan norma baru terkait batas usia capres dan cawapres, yakni pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Padahal, terkait batas usia maupun persyaratan pencalonan capres dan cawapres tersebut sejatinya bukan merupakan kompetensi MK, melainkan pembuat UU.

Kedua, perbedaan pendapat atau dissenting opinion dari Hakim Konstitusi Saldi Isra yang viral dan paling populer di medsos perihal peristiwa "aneh" yang "luar bisa" terkait perubahan sikap dan pendirian Mahkamah hanya dalam sekelebat. Secara gamblang hakim konstitusi Saldi Isra menceritakan dinamika dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada 19 September 2023. Dimulai dari pembahasan perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 yang diputus tanpa kehadiran Hakim Konstitusi Anwar Usman dengan mayoritas hakim konstitusi sepakat menolak. Tiba-tiba pada RPH Putusan Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 yang dihadiri oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman, MK yang semula menolak berubah mengabulkan sebagian.

Sangat sulit dipungkiri, dissenting opinion hakim konstitusi Saldi Isra adalah faktor pendorong berbagai kalangan masyarakat untuk melaporkan seluruh hakim MK kepada Majelis Kehormatan MK. Mulai dari laporan etik atas konflik kepentingan yang ditujukan kepada Ketua MK Anwar Usman yang merupakan ipar Presiden Jokowi dan paman dari Cawapres Gibran Rakabuming. Disusul laporan etik yang ditujukan kepada hakim konstitusi Saldi Isra atas dissenting opinion oleh Komunitas Advokat Lingkar Nusantara yang dianggap terlalu tendensius. Hingga sampai untuk pertama kali dalam sejarah semua hakim MK dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik.

Masalah Etik


Merujuk pada Pasal 18 UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Putusan Pengadilan memang tidak termasuk ke dalam kategori informasi yang dikecualikan. Tetapi tidak dengan RPH yang termasuk dalam kategori informasi yang dikecualikan oleh Pasal 40 ayat (1) UU No.24 Tahun 2003 sebagaimana terakhir diubah dengan UU No.7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu seluruh informasi dan dinamika yang ada dan berkembang dalam RPH tersebut termasuk privasi lembaga. Berdasarkan Pasal 17 huruf j UU KIP, RPH termasuk ke dalam informasi yang dikecualikan dan tidak boleh diungkapkan. Jadi, apapun dinamika dan informasi yang ada pada saat RPH tersebut tidak boleh keluar dan harus tetap menjadi rahasia lembaga.

Dalam konteks ini, hakim konstitusi Saldi Isra telah salah besar dan keliru apabila mencurahkan semua kegundahannya atas dinamika dalam RPH melalui dissenting opinion yang kemudian dimuat dalam putusan dan dibacakan pada persidangan yang terbuka untuk umum. Harusnya Saldi Isra sebagai hakim konstitusi sekaligus wakil ketua MK secara ex officio berdasarkan Pasal 322 KUHP wajib merahasiakan semua informasi dan dinamika yang ada pada RPH sebagai informasi yang dikecualikan dan tidak boleh diungkapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) UU MK jo. Pasal 17 huruf j UU KIP.

Di Mahkamah Agung (MA), RPH termasuk ke dalam rahasia negara. Para hakim dan PNS di MA dilarang untuk mengungkapkan informasi yang ada pada RPH karena perbuatan tersebut sama saja dengan membocorkan rahasia negara dan termasuk ke dalam pelanggaran kode etik berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 butir (1) huruf m PP No.30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri, yakni membocorkan dan/atau memanfaatkan rahasia negara yang diketahui karena kedudukan untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain dan oleh karena itu dapat dikenakan sanksi administrasi berupa pemecatan tidak dengan hormat.

Sedangkan dari segi substansi, dissenting opinion hakim konstitusi Saldi Isra seperti "curhat" dan terlalu tendensius serta terkesan menyudutkan rekan-rekan hakim konstitusi yang merubah sikap dan pendiriannya pada saat RPH. Kita tahu latar belakang hakim konstitusi Saldi Isra adalah seorang ahli hukum tata negara yang lihai menulis di berbagai media. Hampir tidak ada fenomena ketatanegaraan yang lolos dari tajamnya lisan dan tulisan seorang Saldi Isra. Tetapi dengan posisinya sebagai hakim konstitusi, Saldi Isra tidak bisa membawa gaya menulisnya di media itu ke dalam pembuatan dissenting opinion yang nantinya akan menjadi advisblaad atau pertimbangan hukum dan dituangkan dalam putusan yang terbuka untuk umum.

Merujuk pada Pasal 70 Peraturan Mahkamah Konstitusi No.2 Tahun 2021, maka substansi dissenting opinion hakim konstitusi Saldi Isra harusnya cukup memuat pertimbangan atas dasar fakta (feitelijke gronden) yang terdiri dari: keterangan-keterangan para pihak dan kesimpulan atas alat bukti yang diajukan pada persidangan dan pertimbangan hukum (rechtelijke gronden) yang terdiri dari: legal standing pemohon, kewenangan mahkamah, alasan dan pokok permohonan, serta pendapat mahkamah. Jadi, dissenting opinion hakim konstitusi Saldi Isra tidak perlu terlalu jauh menyinggung perubahan pendirian dan sikap dari rekan-rekan hakim konstitusi pada saat RPH, karena bukan muatan substansi dalam pembuatan Putusan MK.

Lagi pula tidak ada yang salah apabila mahkamah pada Putusan Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 yang awalnya sepakat menolak, lalu pada Putusan 90/2023 berubah sikap dan tidak mengikuti putusan sebelumnya. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dan sistem hukum Indonesia tidak menganut asas preseden. Bahkan dalam suatu postulat dikatakan nit agit exemplum litem quo lite resolvit, menyelesaikan suatu perkara dengan mengambil contoh perkara lain sama halnya dengan tidak menyelesaikan perkara itu. Berdasarkan postulat ini, maka hakim sangat bersifat otonom dan tidak terikat pada putusan hakim sebelumnya.

Tidak Membatalkan Putusan


Pada kenyataannya, kewenangan MK saat ini tidak hanya sebatas menguji dan menyatakan UU bertentangan atau tidak dengan UUD 1945 (negative legislature), tetapi juga telah bergeser membuat norma hukum baru dalam putusannya (positive legislature) layaknya open legal policy yang dimiliki pembuat UU. Berbagai Putusan MK yang membuat norma hukum baru diantaranya adalah: (i) Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 yang memuat teknis peraturan dalam Penggunaan KTP dan Paspor dalam pemilu bagi pemilih yang namanya belum tercantum dalam DPT; dan (ii) Putusan Nomor 1/PUU-VIII/2010 yang menaikkan minimum batas usia pertanggungjawaban pidana anak dari 8 tahun menjadi 12 tahun.

Jadi, apapun itu hasil dari putusan MK tersebut, putusan itu bersifat final and binding serta erga omnes. Jadi mau ada kritik yang menyatakan putusan MK itu tidak sah sekalipun dan laporan etik dengan dasar putusannya melanggar kode etik tidak dapat mengubah dan membatalkan Putusan 90/2023 tersebut. Res judicata pro veritate pro habetur atau apa yang diputus hakim harus dianggap benar.

Agung Hermansyah, Ferdy F. Tjoe, Yosua M. Tampubolon
advokat, konsultan, dan peneliti hukum di Jakarta
Simak juga 'Jimly Ungkap 9 Isu Laporan Dugaan Pelanggaran Etik Hakim MK':
(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads