Wewenang Berlebih Asosiasi Fintech
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Wewenang Berlebih Asosiasi Fintech

Rabu, 01 Nov 2023 14:30 WIB
Muhammad Andri Perdana
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi fintech
Jakarta -

Industri keuangan di setiap belahan dunia merupakan industri yang sangat diregulasi oleh karena perannya yang sangat berpengaruh bagi perekonomian, baik kepada kelas pemodal maupun kelas pekerja. Pengaruh sektor keuangan yang besar disertai sifatnya yang krusial dan kompleks inilah yang mendasari dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

OJK memiliki peran penting melindungi perekonomian dan masyarakat dari risiko sistemik dan perilaku tidak bertanggung jawab pelaku industri jasa keuangan. Oleh karenanya, setiap bank dan lembaga keuangan lainnya yang berada di bawah naungan OJK tentu harus benar-benar tunduk terhadap segala regulasi dan aturan main yang ditentukan OJK demi melindungi konsumen, masyarakat, dan perekonomian.

Namun, hal yang berbeda kita temukan pada industri financial technology (fintech) lending di negeri kita. Berbeda dengan perbankan dan lembaga keuangan lainnya, aturan main perusahaan-perusahaan fintech lending tidak langsung diregulasi oleh OJK, namun oleh asosiasi pelaku usaha fintech itu sendiri, yakni Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama (AFPI), dan Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan kata lain, asosiasi-asosiasi fintech mengatur sendiri aturan main mereka melalui pedoman perilaku yang dibuat oleh mereka sendiri. Penyerahan wewenang pengaturan sendiri (self regulation) ini didasari dari Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016. Wewenang ini diserahkan untuk meminimalisir regulasi kepada fintech atas dasar "tidak ingin mematikan industri yang baru berkembang."

Pedoman perilaku yang dibuat bersama oleh AFTECH, AFPI, dan AFSI ini dikenal sebagai Joint Code of Conduct. Setiap masing-masing asosiasi juga memiliki wewenang untuk mengatur sendiri aturan main anggotanya lebih jauh. Aturan main ini meliputi batasan bunga harian, praktik penagihan, hingga penerapan prinsip iktikad baik. Setiap perusahaan fintech yang ingin beroperasi secara legal harus bergabung dengan asosiasi-asosiasi tersebut yang telah ditunjuk oleh OJK sebagai penyelenggara.

ADVERTISEMENT

Secara sistematis, hal ini bermasalah karena yang menentukan aturan atas pelaku usaha adalah pihak yang sama yakni para pelaku usaha tersebut sendiri. Secara struktural hal ini membuat posisi dan kepentingan konsumen sangat lemah dalam pengaturan industri fintech lending.

Konflik Kepentingan

Penerapan Self-Regulatory Organization (SRO) sebenarnya bukan suatu hal yang baru dalam industri keuangan, sebagaimana PT Bursa Efek Indonesia (BEI), PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI), dan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) merupakan SRO yang berperan dalam keberlangsungan operasional pasar modal di Indonesia. Namun, SRO tersebut merupakan pihak yang terpisah dari para emiten dan investor pasar modal, sehingga keberadaannya menjadi bermanfaat untuk kepentingan kedua belah pihak.

Sedangkan, pada industri fintech lending, yang menjadi SRO untuk mengatur para pelaku usaha adalah pihak yang sama. Konflik kepentingan terjadi secara inheren dan perlindungan terhadap konsumen berada di bawah 'belas kasih' asosiasi fintech yang secara wajar lebih mengutamakan kepentingan anggotanya sendiri.

Permasalahan besar terlihat dari penentuan batasan tarif bunga. AFPI, misalnya, telah menerapkan batasan bunga bagi anggotanya maksimal 0,4 persen (flat) per hari. Jika dikonversi menjadi per tahun, bunga tersebut adalah 146% per tahun. Bunga tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan kredit tanpa agunan (KTA) bank yang kini berkisar 10-25% per tahun. Perbandingannya terlalu jauh walau dengan profil risiko yang berbeda sekalipun.

Dan, yang memperparah keadaan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sendiri menemukan bahwa dalam AFPI terdapat penetapan suku bunga flat 0,8% per hari dari jumlah aktual pinjaman yang diikuti oleh seluruh anggota. AFPI sendiri mengatakan bahwa tarif 0,8% ini adalah harga maksimal (price ceiling) dari data 2020, sehingga tidak ada masalah dalam hal tersebut dan justru baik untuk konsumen.

Padahal, penemuan bahwa seluruh anggota AFPI mematok bunga 0,8% per hari menunjukkan bahwa batasan tersebut lebih bertindak sebagai penetapan harga (price-setting) dibandingkan price ceiling. Anggota asosiasi fintech lending tidak berlomba-lomba untuk memberikan bunga lebih rendah, namun lebih saling berlomba-lomba menggunakan teknik pemasaran yang beragam untuk menarik konsumen.

Kondisi ini membuat unsur kompetisi tarif bunga menjadi tidak dirasakan dan konsumen hanya dapat menerima tarif tersebut sebagai hal yang normal.

Lemahnya Pedoman

Penyerahan wewenang self regulation ini juga menunjukkan lemahnya penegakan terhadap pedoman yang dibuat oleh pihak industri sendiri. Kita mengerti bahwa Joint Code of Conduct ketiga asosiasi fintech melarang penggunaan kekerasan fisik dan mental, serta melarang penyalahgunaan data pribadi. Namun sebagaimana terjadi sampai saat ini, praktik kekerasan, intimidasi, dan penyalahgunaan data pribadi sangat masif diterima oleh pengguna fintech lending, baik yang legal maupun ilegal.

Terakhir yang paling mencolok, fintech AdaKami yang merupakan fintech lending legal di bawah AFPI, ramai diberitakan menggunakan praktik penagihan yang penuh teror dan kekerasan mental kepada banyak penggunanya hingga menyebabkan bunuh diri. Hal tersebut tidak terjadi pada fintech tersebut saja dan telah menjadi masalah sejak lama, namun kita lihat hingga sekarang permasalahan tersebut terus berlangsung.

Sehingga dengan kondisi saat ini, ketika ada pelanggaran sekalipun kita tidak melihat adanya penegakan hukuman yang benar-benar serius bagi fintech lending yang melanggar aturan yang dibuat sendiri. Dari namanya saja, aturan tersebut merupakan 'pedoman', bukan 'peraturan' maupun 'undang-undang'. Akibatnya, kita lihat sekarang ini sangat diragukan seberapa besar negara dapat dan mau bertindak atas pelanggaran aturan yang sejatinya tidak dibuat oleh pihak negara.

Mengkaji Kembali

Dengan menjamurnya perusahaan fintech lending, pinjaman online (pinjol) oleh telah menjadi pilihan utama dan seringkali satu-satunya bagi masyarakat dan UMKM yang dianggap unbankable dan undeserved. Negara tidak perlu lagi susah payah untuk mencari menggencarkan program bantuan modal ataupun mencari solusi atas pendapatan dan biaya hidup masyarakat rentan: hal-hal tersebut banyak ditangani oleh fintech lending yang setia berjasa membantu masyarakat serta mendorong program pemerintah.

Padahal, ini merupakan jalan keluar jangka pendek bagi masyarakat yang mana beban bunga yang akan diterima akan jauh lebih berat dalam jangka panjang.

Lembaga negara perlu mengkaji kembali apakah sudah saatnya masuk untuk meregulasi industri fintech lending agar dapat melindungi konsumen terutama dari kalangan masyarakat rentan. Penyerahan wewenang yang diberikan pada 2016 lalu besar didasari atas dilema untuk tidak mematikan industri baru dengan keketatan regulasi.

Sekarang industri fintech lending telah tumbuh sangat menjamur dan kini sangat banyak persoalan muncul dari sisi perlindungan konsumen serta dampak jangka panjangnya bagi perekonomian. Perusahaan-perusahaan fintech lending mungkin bisa berdalih jika fintech lending semakin diatur oleh negara, maka ini akan dapat berdampak negatif bagi penyaluran kredit terhadap UMKM oleh sebab UMKM unbanked hari ini sangat bergantung kepada jasa fintech lending.

Namun, justru karena begitu banyak UMKM yang bergantung pada bunga fintech lending yang tinggi, kita jadi harus lebih berhati-hati karena dampaknya tak lagi meringankan UMKM, namun menjadi beban yang memperburuk kondisi dalam jangka panjang.

Bila negara bisa hadir untuk memberikan pilihan lain kepada masyarakat unbanked dan undeserved dengan pinjaman yang lebih ringan dibandingkan fintech lending saat ini, maka kita dapat melihat seberapa besar fintech lending sebenarnya mampu memberikan bunga yang kompetitif dan memposisikan dirinya sebagai pahlawan penyaluran kredit.

Muhammad Andri Perdana peneliti CELIOS

Simak juga 'Debitur Nakal, Hati-Hati!':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads