Per 4 Oktober 2023, platform Tiktok Shop ditutup oleh pemerintah. Setelah menerima gelombang protes para pelaku UMKM "offline", akhirnya pemerintah mengeluarkan beleid yang melarang kegiatan social commerce melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (Permendag PMSE).
Tak dapat dihindari, Permendag PMSE pun kemudian menuai pro dan kontra. Platform Tiktok Shop ditengarai menyebabkan penurunan omzet UMKM "offline". Adanya predatory pricing menjadi salah satu penyebab di balik penurunan tersebut. Dikhawatirkan kondisi ini akan berdampak jangka panjang kepada perkembangan UMKM. Apalagi UMKM saat ini merupakan salah satu basis ekonomi Indonesia.
Selain itu, serbuan barang impor yang lebih mudah untuk didapatkan melalui Tiktok Shop dengan harga miring juga ditengarai membuat UMKM "offline" kalah bersaing. Sebaliknya, protes dari UMKM yang memanfaatkan Tiktok Shop tidak terbendung. Mereka beranggapan bahwa kebijakan tersebut akan berdampak besar kepada mereka yang jumlahnya juga tidak sedikit. Hal ini menjadi sangat unik melihat pro dan kontra datang dari kelompok yang sama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
UMKM yang mana yang perlu kita lindungi kepentingannya?
Konsep social commerce kemudian dianggap sebagai dalang dari situasi tersebut. Apa itu social commerce? Berdasarkan Permendag PMSE, social commerce merupakan penyelenggara media sosial yang menyediakan fitur, menu, dan/atau fasilitas tertentu yang memungkinkan pedagang dapat memasang penawaran barang dan/atau jasa.
Social commerce bukan merupakan "barang" baru. Konsep ini telah diperkenalkan pertama kali pada 2005 oleh Yahoo. Konsep ini terus berkembang. Pada 2014, Facebook menyediakan fitur untuk melakukan pembelian langsung di platform social commerce mereka.
Perkembangan social commerce semakin menggeser makna dari social commerce itu sendiri yang seharusnya hanya sebagai platform untuk melakukan kegiatan promosi barang dan/atau jasa sebelum adanya transaksi. Hal ini yang kemudian menjadi sorotan pemerintah. Pemerintah masih beranggapan media sosial hanya sebagai media untuk melakukan promosi dan tidak untuk melakukan transaksi barang dan/atau jasa.
Disrupsi Teknologi
Christensen pada sekitar 1990 telah memperkenalkan suatu konsep yaitu bagaimana suatu inovasi di dalam market dapat berdampak kepada proses bisnis yang telah dibangun. Konsep ini yang kemudian dikenal luas di tengah perkembangan teknologi saat ini, yaitu disrupsi teknologi. Seluruh negara, tak terkecuali Indonesia mengalami ini.
Masih segar di ingatan kita bersama, bagaimana Indonesia menghadapi disrupsi teknologi di bidang transportasi seiring dengan perkembangan platform online transportation. Ketika Gojek memulai ekspansinya pada 2018 sejak didirikan pertama kali pada 2010. Kemunculan platform online transportation berdampak pada kesenjangan tarif dan pendapatan antara driver online transportation dan transportasi umum. Legalitas eksistensi online transportation pun kemudian dipertanyakan. Butuh waktu bagi Pemerintah hingga akhirnya online transportation dan transportasi umum dapat berjalan berdampingan hingga saat ini.
Plato pernah menyatakan bahwa hukum merupakan "positive rules" yang mengikat setiap orang. Melalui hukum positif diharapkan kepastian hukum dan tatanan sosial tercipta. Penerbitan Permendag PMSE merupakan respon atas adanya disruptif di dunia commerce. Respons tersebut persis seperti respons yang diberikan pemerintah ketika mengatasi isu disruptif di bidang transportasi.
Law as a tool of social engineering merupakan salah satu konsep hukum Roscoe Pound yang ideal dalam menjawab tantangan disruptif teknologi. Konsep ini sangat erat dengan konteks pembangunan yang saat ini terjadi di berbagai aspek. As a tool, hukum tidak bisa statis dan berada di belakang, namun diharapkan aktif sebagai elemen yang mengawal perubahan yang terjadi akibat pembangunan. Mengawal perubahan disini bukan berarti hanya sekedar menjawab tantangan melalui penerbitan regulasi, lebih dari itu, hukum harus bisa menjawab tantangan selanjutnya yang akan terjadi di depan, termasuk harus bisa diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
Menentukan yang Ideal
Melihat kembali fenomena social commerce, penerbitan Permendag PSME, dengan seluruh pro dan kontranya, menunjukkan bahwa kepastian hukum belum hadir dan diterima oleh seluruh stakeholders. Menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah upaya Pemerintah menerbitkan Permendag PSME untuk melindungi seluruh UMKM ini sudah cukup?
Pemberian izin kepada social commerce merupakan hal yang dapat dipertimbangkan melalui penyesuaian Permendag PMSE dengan beberapa pembatasan untuk melindungi pelaku UMKM lainnya, antara lain terkait dengan pricing policy untuk menghindari predatory pricing dan penggunaan data pribadi untuk menghindari penyalahgunaan penggunaan data pribadi, termasuk menghindari praktik monopoli. Bagaimana menjamin seluruh kepentingan umum terakomodasi di dalam kebijakan ini adalah "PR" yang tidak mudah. Memaksimalkan partisipasi publik, terutama seluruh UMKM dalam penyusunan regulasi merupakan kunci penting dalam mewujudkan hal tersebut.
Peningkatan pemahaman UMKM akan perkembangan teknologi, praktik e-commerce dan turunannya, juga merupakan hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Hal ini cukup relevan mengingat protes social commerce sebagian besar datang dari pelaku UMKM "offline". Terbukti, pasca ditutupnya Tiktok Shop, para pedagang Tanah Abang meminta Pemerintah untuk menutup e-commerce lainnya. Fenomena perkembangan e-commerce tidak akan berhenti dan isu seperti akan terus muncul, sehingga menjadi penting untuk menghadapi perkembangan tersebut dan menjadi bagian darinya.
Terlebih dari itu, apapun itu langkah Pemerintah ke depannya, entah itu melakukan penyesuaian ketentuan social commerce atau tidak, memastikan penegakan hukum adalah hal yang harus dilakukan juga dengan memperhatikan tiga elemen pentingnya yaitu lembaga penegak hukumnya, penegak hukumnya, serta kesadaran dan kepatuhan masyarakat akan hukum itu sendiri.
Belajar dari penanganan isu disrupti teknologi online transportation, fenomena social commerce bukan tidak mungkin, dengan mempertimbangkan seluruh kepentingan, dapat berjalan berdampingan dengan UMKM "offline" dan platform e-commerce lainnya.
Simak juga 'Facebook dan Instagram Lagi Urus Izin Social Commerce':