Polemik "Indirect Evidence" dalam Kasus Pidana
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Polemik "Indirect Evidence" dalam Kasus Pidana

Selasa, 31 Okt 2023 11:10 WIB
Sheila Maulida Fitri SH MH
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
ice cold
Jakarta -
Indonesia sedang dihebohkan dengan mencuatnya kembali kasus "Es Kopi Vietnam" 2016 silam, hal ini merupakan respons dari tayangnya film dokumenter yang mengulas substansi kasus tersebut. Padahal kasus itu sudah diputus baik pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tingkat kedua yaitu Banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Kasasi di Mahkamah Agung maupun Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Vonis tetap dijatuhkan dengan pidana penjara selama 20 tahun.

Yang menjadi polemik adalah banyak kalangan menilai vonis tersebut tidak beralasan dengan dalil tidak ditemukannya bukti langsung dalam proses pembuktian di persidangan. Hal ini juga memunculkan banyak asumsi dan teori konspirasi di kalangan masyarakat serta warganet.

Pembuktian

Bagi seorang Jaksa Penuntut Umum, Pembuktian merupakan upaya untuk meyakinkan hakim guna menyatakan seorang Terdakwa bersalah sesuai dengan surat dakwaan yang telah disusunnya dengan berkoordinasi dengan Penyidik dari Kepolisian.

Sedangkan bagi seorang Terdakwa dan Penasihat Hukumnya, pembuktian merupakan usaha sebaliknya, yaitu upaya untuk meyakinkan Hakim berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan Terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari suatu tuntutan hukum, atau jika seorang Terdakwa telah mengakui perbuatannya, maka dimohonkan untuk diringankan hukumannya.

Pembuktian dilakukan dengan berdasarkan alat bukti yang ada dan sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu: (a) keterangan saksi, (b) keterangan ahli, (c) surat, (d) petunjuk dan (e) keterangan terdakwa serta bukti elektronik yang ditambahkan dalam system peradilan Indonesia berdasarkan Pasal 5 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Urutan alat bukti dalam KUHAP tersebut menunjukkan suatu hierarki kekuatan pembuktian.

Alat Bukti


Alat bukti yang menjadi dasar dalam pembuktian kemudian dikenal terbagi menjadi dua yang kini semakin populer, yaitu bukti langsung (direct evidence) dan bukti tidak langsung (indirect evidence) atau secara ilmiah disebut circumstantial evidence.

Indirect evidence sesungguhnya tidak dikenal dalam sistem peradilan pidana dalam KUHAP, maka saya akan menafsirkan istilah direct dan indirect evidence dalam perspektif hukum acara pidana yang dirujuk dari pendapat Yahya Harahap mengenai definisi direct dan indirect evidence dalam perspektif hukum perdata, sebagai berikut: direct evidence merupakan bukti yang secara langsung dapat membuktikan bahwa benar si Terdakwalah yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya.

Sedangkan untuk indirect evidence/circumstantial evidence merupakan bukti yang tidak secara langsung membenarkan perbuatan dan kesalahan Terdakwa, melainkan bukti yang diambil dari bukti-bukti lain yang satu dengan yang lainnya saling berkesesuaian sehingga dari bukti-bukti yang berdiri sendiri-sendiri tersebut dapat ditarik sebuah simpulan yang dapat digunakan untuk membuktikan kesalahan Terdakwa.

Tak Bisa Berdiri Sendiri

Pada dasarnya dalam kondisi tertentu tergantung pada uraian jenis tindak pidana yang terjadi, alat bukti sebagaimana Pasal 184 ayat (1) KUHAP dapat dinilai sebagai indirect evidence, namun penerapannya secara ideal tidak bisa berdiri sendiri. Harus ada direct evidence yang menyertainya dan minimal ada dua jenis alat bukti yang sah.

Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 183 KUHAP mengenai sistem pembuktian pidana yang dianut di Indonesia bahwa "Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya."
Sehingga kedudukan indirect evidence ini idealnya bersifat komplementer setelah diperolehnya minimal dua direct evidence yang sah, sebagaimana disebut secara limitatif dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan Pasal 5 UU ITE mengenai bukti elektronik.
Sheila Maulida Fitri, S.H, M.H
(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads