Sebanyak hampir 56 persen pemilih di bawah usia 40 tahun akan mendominasi demografi pemilih pada Pemilu 2024. Angka fantastis ini tentu menjadi magnet yang berimplikasi pada bagaimana penyesuaian strategi politisi dan partai politik untuk menggaet kelompok pemilih yang sebagian di antara mereka adalah pemilih pemula. Segala jurus dilakukan dari bergaya anak muda, mengangkat isu yang relevan bagi anak muda, hingga merekrut anak muda sebagai kandidat. Sejauh ini, puncak piramidanya adalah pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
Melihat fenomena ini, pertanyaan mendasar yang ingin saya jawab adalah apakah realitas politik anak muda hari ini merepresentasikan realitas anak muda Indonesia pada umumnya. Jawaban sederhananya tentu tidak. Lalu bagaimana seharusnya representasi politik anak muda yang seharusnya?
Bintang Muda sebagai Kepala Daerah hingga Anggota DPR RI
Era demokrasi langsung memberikan ruang bagi anak muda untuk berpolitik. Namun ruang-ruang politik elite anak muda masih didominasi oleh anak muda dari keluarga politik atau lazimnya disebut sebagai dinasti politik. Sederhananya, dengan ongkos politik yang tinggi, hanya anak muda yang mempunyai akses terhadap ekonomi dan kekuasaan yang dapat berlaga dalam pemilu. Anak muda kebanyakan harus menghadapi berbagai hambatan struktural untuk dapat mengakses ruang politik yang seyogyanya sudah terbuka.
Menjadi hal yang wajar, hanya mereka-mereka yang terafiliasi politik sejak ini, mempunyai nama keluarga yang mentereng, atau berasal dari keluarga pejabat saja yang bisa unjuk gigi merepresentasikan anak muda Indonesia lainnya. Deretan nama seperti Gibran Rakabuming Raka (Wali Kota Surakarta), Emil Dardak (Wakil Gubernur Jawa Timur), Bobby Nasution (Wali Kota Medan), Hillary Lasut (Anggota DPR RI), Hanindhito Himawan Pramana (Bupati Kediri), dan Dico Ganinduto (Bupati Kendal) adalah anak muda produk demokrasi langsung yang tidak menghadapi hambatan struktural yang berarti karena latar belakangnya.
Perdebatan mengenai apakah figur politisi muda itu berkualitas dan dapat bekerja dengan baik atau tidak akan menjadi perdebatan yang berbeda. Permasalahan mendasarnya adalah ruang politik dan demokrasi memang terbuka untuk anak muda, tetapi pada kenyataannya tidak terbuka untuk semuanya. Menyadur salah satu tulisan Goenawan Mohamad, mereka mungkin politisi dan pemimpin publik yang baik, tetapi mereka tak tertandingi karena bisa saja tak pernah ada pertandingan.
Fenomena Gibran
Menjadi hal yang naif jika mensimplifikasi pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden sebagai perayaan representasi anak muda. Gibran secara usia tentu dapat dikategorikan sebagai generasi Y atau generasi millennial. Tentu tidak salah jika menganggap Gibran adalah representasi anak muda dalam berpolitik. Namun apakah Gibran dapat dianggap sebagai representasi sesungguhnya anak muda dalam berpolitik? Mari kita berdebat.
Seorang Gibran hari ini tidak akan bisa dilepaskan dari fakta bahwa ia adalah anak seorang presiden yang masih menjabat, mempunyai pengalaman yang relatif singkat sebagai kepala daerah, dan berhasil mencalonkan diri karena perubahan persyaratan pemilu pascaputusan gugatan Mahkamah Konstitusi yang ketua hakimnya adalah pamannya. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa Gibran mempunyai sumber daya dan akses untuk mengatasi hambatan struktural untuk berkontestasi.
Terlepas dari kontroversi dan perdebatan etis yang menyertainya, pencalonan Gibran memang membuka jalan bagi anak muda untuk dapat berkontestasi secara nasional. Namun apakah jalan itu terbuka untuk semuanya? Dengan melihat realitas politik hari ini, jalan ini hanya akan terbuka untuk Gibran-Gibran lainnya. Sayangnya, kita, anak muda kebanyakan bukanlah seorang Gibran dan Gibran bukanlah kita.
Politisi Muda Hari Ini
Generasi muda hari ini banyak berdebat soal privilese dan bagaimana kualitas dapat dikalahkan dengan kekuatan orang dalam. Tanpa bermaksud sepenuhnya melakukan generalisasi, representasi politik anak muda hari ini adalah anak muda yang berprivilese: lahir dengan kondisi dan status tertentu yang memudahkan mereka untuk tampil di gelanggang. Jika ada di antaranya yang tidak memiliki privilese dan dapat melenting jauh, saya yakin kalau mereka adalah pencilan atau outliers.
Pencilan atau outliers itu bisa jadi akan tampil di puncak piramida dalam usia yang tidak cukup muda lagi. Mereka akhirnya berproses dengan menapak satu anak tangga ke anak tangga lainnya. Contoh kisah sukses outliers tidak lain tidak bukan adalah Presiden Joko Widodo. Beliau berproses dan bertransformasi sebagai seorang pengusaha lokal menjadi wali kota dua periode, gubernur provinsi paling kompleks di Indonesia, dan puncaknya presiden dua periode. Sedangkan sang anak, tak bisa lagi kita sebut sebagai pencilan karena akses yang tersedia sebagai anak presiden. Jokowi dan Gibran adalah contoh paling konkret untuk membedakan orang dengan privilese dan pencilan.
Kekuatan Kolektif Anak Muda
Satu tahun belakangan, saya tinggal di kota London, Inggris, dan menyaksikan bagaimana generasi muda Inggris mengutuk Brexit-- keluarnya Inggris dari Uni Eropa--sebagai keputusan yang diwariskan generasi sebelum mereka untuk mereka. Bagi generasi muda Inggris, Brexit menutup kesempatan bagi mereka untuk dapat tinggal dan bekerja di negara-negara Eropa lainnya.
Selain itu, dalam isu yang lebih luas, Brexit dianggap dapat mempersulit kerja sama dengan Uni Eropa dalam mengatasi masalah lintas batas negara yaitu krisis iklim yang notabene perlu penanganan pada level global. Isu krisis iklim menjadi salah satu isu krusial bagi generasi muda Inggris.
Fenomena Brexit dapat menjadi gambaran bagaimana keputusan generasi sebelumnya akan mempengaruhi generasi hari ini. Tidak hanya itu, Brexit juga dapat memberikan gambaran bahwa keapatisan itu dapat menjadi pilihan tetapi dampak kebijakan akan selalu menjadi konsekuensi. Dengan jumlah lebih dari setengah pemilih, generasi muda Indonesia harusnya memiliki kekuatan kolektif untuk menentukan masa depan Indonesia. Dalam konteks menghadapi pemilu, setidaknya kita bisa turut menentukan Indonesia dalam lima tahun mendatang.
Lalu apakah cukup kekuatan kolektif ini disalurkan dengan memilih figur politisi muda? Dengan realitas politik anak muda hari ini, saya rasa atribusi ini tidak cukup relevan. Figur politisi muda hari ini tidak sepenuhnya menggambarkan realitas anak muda Indonesia hari ini.
Riset yang dilakukan oleh Survei Indikator (2023) menunjukkan bahwa pemilih muda memiliki preferensi isu yang berbeda dengan kelompok pemilih yang lebih tua. Isu seperti tersedianya lapangan pekerjaan, krisis iklim, dan pemberantasan korupsi menjadi perhatian penting bagi pemilih pemula. Kontras, kelompok pemilih yang lebih tua lebih mengedepankan isu stabilitas ekonomi dan kesejahteraan.
Agar beranjak dari permasalahan simbolik, pemilih muda Indonesia perlu bergerak menuju diskursus isu yang penting bagi masa depan generasi muda. Muda bukan lagi hanya soal usia dan simbol, tetapi bagaimana isu dan kebijakan penting bagi anak muda diperjuangkan. Fondasi keyakinan ini saya yakin dapat mengantarkan kekuatan kolektif anak muda Indonesia untuk menentukan masa depan kita sendiri sebagai subjek demokrasi, bukan hanya objek demokrasi.
Beranjak dari Objek Menjadi Subjek
Realitas politik hari ini memberikan ilusi bahwa tampilnya anak muda di gelanggang menjadi representasi terbukanya ruang bagi partisipasi anak muda dalam politik. Realitas politik hari ini menunjukkan bahwa mereka yang hadir dengan privilese dapat mengatasi hambatan struktural untuk dapat berkontestasi. Dalam populasi anak muda secara keseluruhan, mereka adalah pencilan atau outliers. Proses yang mereka jalani untuk sampai pada puncak piramida tidak bisa kita tiru karena privilese yang mereka punya.
Sebagai subjek dalam demokrasi, anak muda perlu lebih kritis dalam menyikapi realitas politik hari ini. Selain menguji apakah substansi yang diperjuangkan berpihak pada anak muda, anak muda perlu menguji kapasitas politisi hari ini dalam menghadapi tantangan bernegara yang kompleks. Muda memang menjadi kekuatan, tetapi kompetensi, rekam jejak yang panjang, dan berproses dari bawah menjadi aspek yang lebih krusial dalam mengelola negeri. Anak muda mesti lebih kritis dalam menilai.
Gojek dan Tokopedia awalnya menjadi contoh suksesnya kepemimpinan anak muda. Namun begitu sistem yang dihadapi lebih kompleks, terutama setelah melantai di Bursa Efek, ujung-ujungnya orang yang berpengalaman, kompetensi, dan rekam jejak yang panjang di industri lebih dibutuhkan untuk memimpin perusahaan dan mengatasi tantangan. Artinya usia muda sebenarnya bukan jaminan.
Pada akhirnya, Pemilu 2024 ini akan menjadi pembuktian politik anak muda. Apakah hanya akan sebatas simbolik saja atau memang benar-benar ada keberpihakan kebijakan pada masa depan generasi muda. Lebih dari itu, sebagai subjek demokrasi yang mendominasi populasi pemilih, anak muda hari ini punya kekuatan untuk menentukan arah masa depan generasi muda, tanpa harus bergantung pada tokoh politik anak muda. Kekuatan sesungguhnya ada di kita, bukan mereka.
Muhammad Syaeful Mujab
Sekretaris Jenderal PPI UK 2022/2023
Mahasiswa Master London School of Economics and Political Science
Simak juga 'Saat Elite PDIP Mengaku Sakit Hati atas Proses Demokratisasi di RI':
(rfs/rfs)