Akhir-akhir ini keluhan akan gerah dan panasnya udara semakin ramai. Baik di dalam perbincangan nyata maupun di media sosial. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memang telah merilis suhu udara yang kian panas sejak September lalu, pada siang hari bisa mencapai 38 derajat Celcius.
Di sisi lain, sempat heboh salah satu kepala desa di Kabupaten Sukabumi yang menolak pantai di daerahnya disebut sebagai salah satu pantai terkotor di Indonesia.
Dua peristiwa di atas tampak tak berkaitan. Namun sesungguhnya mereka bicara dalam bingkai perubahan iklim. Tak ada yang keliru dengan dua peristiwa itu, namun penting jika hal itu dipahami di atas kesadaran mengenai perubahan iklim dan kemauan untuk melakukan sesuatu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Komitmen Pemerintah
Pemerintah telah menunjukkan komitmen dalam memitigasi dan beradaptasi dengan perubahan iklim. Dimulai pada 2004, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to The United Nations Framework Convention on Climate Change. Lalu, pada 2011 pemerintah menerbitkan Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang secara garis besar memuat kerangka kebijakan bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, dan para pemangku kepentingan dalam pelaksanaan kegiatan yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dalam upaya mengurangi emisi GRK.
Tak berhenti di situ, pada 2014 pemerintah kembali menerbitkan dokumen Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) yang memuat berbagai masukan dari pemerintah dan para pemangku kepentingan mengenai panduan bagi masyarakat dalam mempersiapkan upaya penyesuaian terhadap perubahan iklim.
Selanjutnya pemerintah telah meratifikasi Perjanjian Paris melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change. Bagian penting dalam ratifikasi ini adalah penyampaian kontribusi yang ditetapkan secara nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC) pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan nasional dan 41% dengan keterlibatan internasional sampai 2030.
Namun demikian, di akar rumput isu perubahan iklim masih tampak jauh. Menurut survei Purpose yang dirilis pada 2021, sebanyak 9 dari 10 orang Indonesia mengaku khawatir akan perubahan iklim, namun mereka minim pengetahuan mengenai perubahan iklim. Survei tersebut melibatkan 2.071 responden yang tersebar di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah.
Awal 2023, Remotivi juga merilis survei bertajuk krisis iklim dan menyimpulkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia memiliki kesadaran yang rendah terhadap pemanasan global. Dari 1.097 responden yang tinggal di kota dan desa, sebanyak 34,2% menganggap bahwa perubahan iklim merupakan proses alamiah bumi. Hal ini persis sama dengan survei dari Universitas Yale, Amerika Serikat pada 2021 yang menemukan bahwa 18 - 21 persen penyangkal iklim berasal dari Indonesia, artinya tidak melihat perubahan iklim sebagai fenomena buatan manusia.
Ironis, bukan? Ada kegagapan memahami isu perubahan iklim sementara dampaknya telah terasa nyata merugikan. Misalnya, pada April 2021 terjadi siklon tropis di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang mengakibatkan bencana banjir bandang dan longsor. Ratusan orang meninggal, puluhan orang hilang, dan puluhan ribu jiwa kehilangan tempat tinggal.
Para petani tak kalah menjeritnya mengenai musim. Tahun-tahun ini benar-benar beda. Tidak tahu lagi kapan masa tanam, masa panen, dan mengelola tanaman. Kadang hujan terus atau datang lebih awal dari musim tanam, demikian pula musim kering.
Secara global pun telah diakui bahwa planet bumi mengalami perubahan nyata yang terkait dengan iklim. Laporan Kajian ke-5 oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2014 merilis kenaikan suhu bumi sekitar 0,8 derajat Celcius dalam abad terakhir. Diperkirakan pada akhir 2100, suhu global akan naik lebih tinggi di kisaran 1,8 - 4 derajat Celcius jika dibandingkan dengan rata-rata suhu pada rentang 1980 - 1999.
Di samping itu, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) merilis terjadinya peningkatan signifikan permukaan air laut sejak abad ke-19. Salah satu bukti nyata perubahan iklim adalah terjadinya pemanasan global akibat meningkatnya produksi gas rumah kaca di atmosfer yang menyebabkan gletser, salju di puncak gunung, dan lapisan es di Kutub Utara dan Selatan mencair yang berujung pada naiknya permukaan laut.
Selain mengancam kehidupan masyarakat di area pesisir, air laut yang memanas akan memuai lebih cepat menciptakan lebih banyak awan besar dan berat yang berpotensi menjadi hujan dan badai.
Upaya Membumikan Isu
Secara sederhana perubahan iklim merupakan perubahan suhu dan cuaca berkepanjangan. Hal ini sebenarnya terjadi secara alamiah, namun sejak 1800-an telah terjadi perubahan drastis yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Aktivitas seperti pembakaran batu bara, gas, dan minyak; pembuangan sampah sembarangan; penggunaan pupuk sintetis; produksi limbah padat; dan pembakaran hutan inilah yang menghasilkan gas yang memerangkap panas sehingga bumi semakin panas.
Langkah-langkah pemerintah secara struktural yang sudah dilakukan harus diikuti dengan upaya membumikan isu perubahan iklim. Karena setiap individu memberikan efek katastropik dari setiap tindakan upaya mitigasi pemanasan global yang semakin memburuk. Pemerintah telah menyusun berbagai rencana aksi yang melibatkan berbagai para pemangku kepentingan, aktor yang tidak dapat dilupakan adalah masyarakat umum.
Untuk menjembatani gap pemahaman dan kesadaran perubahan iklim antara pemerintah dan masyarakat perlu menyederhanakan bahasa dan penjelasan perubahan iklim ke semua lapisan masyarakat. Perubahan iklim bukan sesuatu yang belum terjadi; masyarakat telah merasakan akibatnya dan akan semakin parah. Hal ini yang kadang lupa ditekankan dalam penjelasan-penjelasan mengenai perubahan iklim, kita terlalu fokus pada upaya mitigasi dan lain-lain, lupa membangun kesadaran holistik untuk melihat realitas dan kemauan untuk bergerak bersama.
Langkah-langkah kecil mengenai pengelolaan sampah juga krusial. Kita, masih sering melihat orang membuang sampah sembarangan. Di jalan, di selokan, di pantai, dan banyak tempat lain. Hal ini menunjukkan edukasi mengenai pengelolaan sampah belum berhasil. Tulisan "jangan buang sampah di sini", atau "buanglah sampah pada tempatnya" belum mampu menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pengelolaan sampah. Perlu tindakan yang tegas. Aturan mesti memiliki sanksi dan dilaksanakan.
Pemerintah harus serius pada pelaksanaan sanksi yang melanggar pengelolaan sampah. Perlu dibuat mekanismenya, misalnya ada media yang disediakan untuk melapor siapa yang membuang sampah sembarangan, lalu ditindaklanjuti. Selain itu, konsep 3R (reduce, reuse, dan recycle) yang sudah digalakkan juga terus disosialisasikan secara masif. Juga berbagai alternatif, seperti pemanfaatan sampah menjadi sumber energi atau bahan bakar alternatif perlu terus didalami dan dikomunikasikan ke seluruh lapisan masyarakat.
Pemerintah perlu membangun kerja sama dengan para tokoh pada lapisan masyarakat. Ada kalanya pada daerah tertentu, tokoh agama lebih didengar oleh masyarakat daripada unsur pemerintah. Di daerah lain mungkin ketua komunitas atau tokoh adat memiliki pengaruh yang sangat besar. Pemerintah harus memberdayakan unsur-unsur di luar pemerintah untuk membangun budaya sadar perubahan iklim ini.
Berbagai regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah harus dibumikan dan dilaksanakan secara masif karena masalah perubahan iklim merupakan tanggung jawab bersama.