Ada satu fenomena menarik yang muncul di dunia entertainment saat ini yaitu kemunculan bocah-bocah kosong. Bocah-bocah kosong ini diasosiasikan dengan Gen Z yang sedikit sekali pemahamannya tentang pengetahuan umum bersifat strategis, termasuk politik. Dalam sejumlah kesempatan, mereka secara terang-terangan mengakui ketidaktahuannya terhadap sejumlah politisi dan pejabat publik yang mungkin saja bagi kebanyakan kalangan dinilai kebangetan.
Itu baru soal sosok dan figur (aktor politik), belum terkait hal-hal substansial seperti kebijakan-kebijakan publik yang diracik di sebuah dapur besar bernama ruang politik kekuasaan. Di sana banyak kepentingan mereka yang dipertaruhkan, tetapi mereka tidak mengenalinya dan juga tidak terlalu peduli. Itulah salah satu potret sebuah generasi yang berjarak dengan politik, aspek penting yang amat menentukan sejumlah kebijakan vital dan strategis termasuk masa depan mereka.
Terlepas dari sejumlah kepentingan industri hiburan, kemunculan bocah-bocah kosong ini sebenarnya membawa pesan penting akan sebuah desain dan konsepsi politik yang related dengan kebutuhan-kebutuhan mereka. Bahwa sudah saatnya pesan-pesan politik dikemas dengan inovasi-inovasi baru yang kompatibel dengan kebutuhan Gen Z tanpa mengabaikan spirit utama nilai-nilai demokrasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tantangan
Gen Z atau sering dikenal juga sebagai i-Generation merupakan kelompok usia muda yang lahir dalam rentang waktu dari1997 sampai 2012. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk BPS pada 2020, kelompok usia ini berjumlah 74,93 juta atau setara dengan 27,94% dari populasi Indonesia yang sebanyak 270,2 juta jiwa pada 2020. Jumlah yang fantastis ini menjadikan mereka sebagai generasi dengan jumlah terbanyak di Indonesia sekarang.
Keunggulan generasi ini adalah kecakapan mengakses informasi berkat penguasaan teknologi (media sosial) sehingga memungkinkan mereka mengakses beragam isu secara luas dan cepat. Namun sayangnya intensifikasi penguasaan teknologi pada generasi ini tidak sebanding dengan antusiasme mereka terhadap isu-isu politik. Ada semacam antipati di kalangan mereka atas politik, salah satunya terbaca dalam tingkat kepercayaan yang rendah terhadap peran partai politik (parpol).
Survei Indikator Politik Indonesia pada 2021 misalnya menunjukkan, indeks kepercayaan generasi milenial dan Gen Z terhadap parpol hanya sebesar 32,67 persen. Selebihnya 52,7 persen mengakui ketidakpuasan terhadap parpol dan politisi karena belum berhasil mewakili aspirasi masyarakat.
Apatisme Gen Z terhadap politik ini juga berbanding lurus dengan praktik lancung korupsi di kalangan elite kekuasaan, fanatisme dan antagonisme yang bersumber dari politik identitas, maraknya fake news, dan upaya saling menjatuhkan di antara politisi. Gen Z memandang ini sebagai sesuatu yang irasional karena bertentangan lansekap dan nilai politik yang sesungguhnya.
Lebih-lebih pada era yang serba digitalisasi dan serba terkoneksi saat ini, mereka tumbuh menjadi suatu generasi yang lebih fleksibel. Fleksibilitas ini menjadikan mereka cenderung mengelola pertikaian dengan kompromi, mengedepankan diskusi yang inklusif dan egaliter tanpa harus saling menjatuhkan.
Makanya saat generasi ini --yang sebagiannya diwakili oleh bocah-bocah kosong dalam dunia entertainment tadi-- tidak menunjukkan empatinya terhadap politik, harus dimaknai sebagai titik balik untuk menentukan formula-formula baru bagaimana seharusnya politik ditata ulang untuk 'menjinakkan' partisipasi mereka.
Partisipasi politik kaum muda termasuk Gen Z tidak boleh dianggap remeh mengingat siklus pergantian kepemimpinan mutlak membutuhkan kehadiran mereka. Apalagi Indonesia saat ini sedang memantapkan diri menyambut bonus demografi dan realisasi visi Indonesia Emas 2045. Melalui sejumlah kanal demokrasi generasi muda harus diberdayakan sejak dini sehingga sejumlah agenda yang diusung dengan perubahan positif yang dinginkan benar-benar menjadi berkat, bukan kutukan.
Rejuvenasi Politik
Rejuvenasi merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris yaitu rejuvenation yang punya arti peremajaan atau pembaharuan. Dalam dunia pemasaran, rejuvenasi adalah suatu proses untuk melahirkan kembali suatu produk dengan melakukan perubahan yang sangat nyata sehingga dapat mengubah persepsi, citra, maupun penilaian yang jauh lebih positif. Lantas, apa makna rejuvenasi dalam dunia politik?
Rejuvenasi politik adalah peremajaan atau pembaharuan konsep-konsep politik. Politik dengan visi-misinya yang tidak efektif menopang kemajuan dan partisipasi Gen Z di dalamnya harus segera ditinggalkan. Kalau kita peka, tidak sulit sebenarnya untuk membaca preferensi politik Gen Z, sering dengan itu pula dapat dipetakan pintu masuk untuk menarik partisipasi dan kepekaan mereka.
'Si Paham Politik Jalur FYP', konten komedi di channel Youtube Warung Konten Wadah Kreasi (WKWK) milik Genfliks merupakan salah satu media yang membantu kita mengidentifikasi karakter Gen Z memahami politik. Di sana Gen Z yang diwakili bocah-bocah kosong mengaku memahami politik hanya melalui For Your Page (FYP) sebuah fitur di media sosial Tiktok. Sekalipun dengan pengetahuan yang ala kadarnya, ada kecenderungan, mereka belajar politik melalui media sosial.
Karena itu untuk membangun kesadaran politik generasi ini, pesan-pesan politik aktual harus tersampaikan secara unik, cair, dan kreatif melalui sejumlah platform media sosial seperti Facebook, Instragram, X, Tiktok, dan Youtube.
Harus diakui kekuatan teknologi informasi merupakan salah satu hal membuat membuat politik semakin dekat dengan Gen Z. Di sana diskursus politik kesetaraan, keadilan, pluralisme, transparansi birokrasi, digitalisasi, dan pembangunan berbasis keutuhan lingkungan mesti diproduksi secara masif yang dipadukan dengan acara hiburan dan edukasi populer kekinian seperti komedi, film, podcast, infografis, komik, diskusi, dan budaya populer lainnya.
Survei Indikator menunjukkan, sebagian besar anak muda Indonesia yang berasal dari kelompok Gen Z dan milenial sangat peduli pada isu-isu korupsi dan kerusakan lingkungan. Sebanyak 64% responden menyatakan bahwa mereka sangat khawatir terhadap isu korupsi. Sementara yang menyatakan sangat khawatir dengan isu kerusakan lingkungan sebesar 52%.
Kemudian, isu kesehatan sangat dikhawatirkan oleh sebanyak 43% responden, polusi 42%, lunturnya nilai sosial dan budaya tradisional 36%, isu pekerjaan 36%, perubahan iklim sebesar 34%, radikalisme Islam dalam politik 32%, perpecahan/polarisasi politik 31%, HAM 29%, keamanan pribadi 28%, kebebasan berekspresi 23%, dan hubungan antar-ras/etnis 17%.
Sejumlah kekhawatiran ini harus menjadi titik start melakukan rejuvenasi politik melalui pola pendekatan baru yang selaras dengan orientasi politik Gen Z, antara lain politik riang gembira, tidak mengabaikan isu-isu lingkungan, mengusung birokrasi bebas korupsi, dan anti perpecahan.
Di depan mata, ini merupakan upaya strategis memantik keterlibatan Gen Z agar terlibat aktif menggunakan hak pilihnya di pemilu mendatang (Pilpres, Pileg dan Pilkada), sementara untuk jangka panjang ini amat menentukan keberhasilan visi Indonesia Emas dengan membentuk suatu generasi yang punya skill, punya karakter yang kuat, serta dapat mengambil bagian secara penuh dalam kompetisi demokrasi regional maupun global.
Rian Agung Paralegal di Lembaga Bantuan Hukum Kemanusiaan dan Duta Keadilan (YLBHK-DKI)
(mmu/mmu)