Mempertanyakan Moral Konstitusi Koalisi Indonesia Maju
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Mempertanyakan Moral Konstitusi Koalisi Indonesia Maju

Senin, 23 Okt 2023 16:05 WIB
Saparuddin
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Koalisi Indonesia Maju resmi memilih Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden (bacapres) pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024. Direncanakan Prabowo-Gibran bakal mendaftarkan ke KPU pada 25 Oktober 2023 mendatang
Prabowo dan Koalisi Indonesia Maju resmi umumkan Gibran sebagai cawapres (Foto: Dea Duta Aulia/detikcom)
Jakarta -

Ketika Ketua Mahkamah Konstitusi ( MK), Anwar Usman, memutuskan "membolehkan" Gibran memasuki arena konstestasi politik tertinggi di negeri ini, saya termasuk salah satu warga negara Indonesia yang terhenyak dan bahkan marah. Bisa dikatakan, tidak percaya bahwa MK akan "sehina" itu menggadaikan marwahnya sebagai penjaga hukum tertinggi di negara ini. Tetapi jauh lebih terhenyak lagi, saat Koaliasi Indonesia Maju ( KIM) yang sejak awal resmi mengusung Prabowo Subianto sebagai Calon Presiden dari koalisinya mendeklarasikan Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon Wakil Presiden dari KIM.

Pertanyaan awam saya, apakah di KIM sudah tidak ada lagi orang baik, yang memiliki sedikit moral untuk melihat secara jernih masa depan hukum ( baca: konstitusi) di negara ini? Kurang ahli apa Prof. Yusril Ihza Mahendra dalam ilmu ketatanegaraan? Apakah serendah ini moral para ahli dan politisi di negara ini melihat politik dan kekuasaan sebagai satu-satunya tujuan?

Saya sedang mencoba menjernihkan pikiran saya ketika menulis ini, dan membangun prasangka baik kepada Calon Presiden yang diusung oleh KIM, Prabowo. Bisa jadi, memilih Gibran bukanlah pilihan hatinya. Mungkin Prabowo memilih Gibran karena, menurut para koleganya, itulah satu-satunya cara untuk "tidak malu" kembali sebagai kontestan yang maju sebagai kontestan Pemilu Presiden (Pilpres) keempat kalinya (tiga kali Capres dan satu kali Cawapres).

Tetapi Prabowo lupa satu hal bahwa setiap keputusan politik tidak hanya punya konsekuensi elektoral, tetapi juga adalah pertaruhan masa depan negara dan bangsa serta tatanan hukum yang berkeadilan dan bermoral. Saya yakin Prabowo pun paham bahwa keputusan MK bukan hanya kontroversial, tetapi juga itu adalah keputusan yang salah. Bukan wewenang MK untuk memutus batas usia. Tetapi itu adalah kewenangan pembuat Undang-Undang, dalam hal ini DPR dan pemerintah. Dan, orang yang berakal dan bermoral di negeri ini, semua tahu, bahwa MK melalui ketuanya mungkin berpolitik dan punya kepentingan?

Kita bisa mahfum, jika Prabowo memilih Gibran karena alasan elektoral, tetapi Prabowo lupa bahwa menghitung peluang dengan menggandeng Gibran, bukan juga jaminan bahwa Prabowo akan melenggang dan menang pada Pemilu 2024. Bahkan dalam hitungan dan analisa saya, memilih Gibran bisa jadi adalah bumerang bagi Prabowo. Aroma penolakan di akar rumput para pencinta Prabowo sudah menunjukkan reaksi negatif di media sosial.

Meskipun salah satu lembaga survei nasional telah merilis hasil survei terbaru yang menempatkan Prabowo-Gibran sebagai pasangan yang memiliki elektoral tertinggi, tetapi itu bukan jaminan bahwa dalam tiga bulan ke depan pasangan ini akan berhasil menang, atau bahkan bisa jadi tidak akan lolos ke putaran kedua.

Penolakan demi penolakan dari kalangan terdidik, aktivis demokrasi, dan aktivis media sosial akan menjadi bola salju antipati pemilih pada pasangan ini. Situasi ini tentu akan menguntungkan pasangan Ganjar-Mahfud dan pasangan Anies-Cak Imin.

Jika asumsi Prabowo bersama KIM bahwa suara pemilih Jokowi pada 2019 bisa menjadi kantong elektoral utama bagi Prabowo-Gibran, maka pasangan ini harus berhitung ulang, sebab saat ini sedang terjadi arus balik "kekaguman" terhadap pesona dan kecintaan terhadap Jokowi. Para pendukung garis keras Jokowi pun mulai sadar bahwa Jokowi tidak lebih baik dari pemimpin-pemimpin yang haus dan hanya mengejar kekuasaan semata.

Upaya "mendorong" anaknya melanjutkan kekuasaan sesungguhnya adalah titik balik moral dan nalar politik warga negara Indonesia pemilih Jokowi, yang selama hampir sepuluh tahun mengagumi sosok presiden yang berkuasa saat ini. Benar-benar berkuasa. Meski Presiden Jokowi, dan para pendukungnya (yang masih terhipnotis) berkali-kali membantah bahwa Presiden tidak ikut cawe-cawe, dia tidak akan bisa mengelabui kewarasan dan moral warga negara seluruhnya. Masih terlalu banyak orang baik yang memiliki akal sehat dan kesadaran di negeri ini.

Sesungguhnya, pun saya masih berharap, pada detik-detik sebelum batas akhir pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 25 Oktober 2023, untuk Prabowo beserta para pengusungnya di Koalisi Indonesia Maju masih mau melakukan rapat koalisi darurat untuk mengubah keputusan cawapresnya. Tetapi jika pun sudah final, saya mengucapkan selamat memasuki kontestasi. Jaga kewarasan negeri ini.

Ingat satu hal, rakyat Indonesia sudah cerdas dan sudah tahu bahwa apa yang terjadi di dunia politik tidak terjadi tiba-tiba, semua direncanakan sejak lama oleh seseorang atau sekelompok orang. Seperti kata Presiden ke-32 Amerika serikat yang terpilih sebanyak empat kali dari 1933 sampai 1945 (bukan hanya menjadi kontestan selama empat kali), Franklin Delano Roosevelt: Dalam politik tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, Anda bisa bertaruh itu direncanakan seperti itu. Selamat berjuang para penjaga kewarasan negeri ini.

Saparuddin Santa Direktur Eksekutif Visi Indonesia Consulting

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads