Bila Berhukum Minus Kebijaksanaan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Bila Berhukum Minus Kebijaksanaan

Senin, 23 Okt 2023 14:10 WIB
A. Muh. Agil Mahasin
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi Hukum
Foto ilustrasi: detikcom/Ari Saputra
Jakarta -

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tempo hari menggenapi asumsi saya tentang berharganya sentuhan kebijaksanaan dalam berhukum. Tanpa kebijaksanaan, hukum hanya berfungsi dengan aspek mekanistiknya semata. Dan celakanya, jika hanya aspek mekanistik yang berjalan, sejarah kelam pernah terjadi, tentang Nazi yang melegalisasi genosidanya dengan hukum.

Begitulah hukum. Dalam esensinya yang paling ekstrem, hukum adalah instrumen legalitas kekuasaan. Mungkin di mata kekuasaan, tidak ada instrumen yang punya daya tarik sehebat hukum. Jhon Austin menyediakan argumen hebat untuk itu, hukum adalah perintah. Gustav Radbruch pun punya konsep tidak kalah menarik, tujuan hukum adalah kepastian. Entah filosof tersebut sengaja atau tidak, perintah dan kepastian sejujurnya paling dekat sebagai properti kekuasaan ketimbang masyarakat. Totaliterian seperti Hitler begitu digdaya dengan peralatan ideologis semacam itu.

Tetapi memisahkan hukum dan kekuasaan jelas bukan ide yang menarik pula. Kita telah sampai di sebuah era ketika hukum dipercaya mampu menanggulangi despotisme kekuasaan. Rule of law not rule of man merupakan sebuah adagium atas optimisme kita terhadap kemampuan hukum dalam mengkreasikan batas-batas ideal antara penguasa dan warga negaranya. Dengan begitu, hanya melalui hukum, masyarakat dimampukan mengontrol kekuasaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masalahnya, relasi antara kekuasaan dan hukum dalam konteks kekinian cukup pelik. Kekuasaan punya justifikasi moral, sebab ada esensi kepentingan yang hendak dicapai (entah kepentingannya berupa maslahat atau koruptif). Sementara hukum berada di area yang berbeda. Ia adalah instrumen normatif. Sebuah alat yang seharusnya efektif (bermaslahat) apabila diberikan sentuhan kebijaksanaan, dan sebaliknya bisa destruktif apabila diselipkan ambisi koruptif.

Itu menjadikan hukum kadang-kadang didegradasi esensinya. Alih-alih memuat norma yang substantif sebagai pemenuhan aspek intrinsiknya, hukum diperlakukan sebagai teks semantik semata. Aturan hanya bersoal tentang kata dan redaksi, yang diinterpretasi sepihak oleh kekuasaan. Aspek substantif hukum dikuras, sehingga ia boleh jadi tampil kepayahan sebagai sesuatu yang disebut 'hukum'.

ADVERTISEMENT

Maksudnya begini. Menurut HLA Hart, hukum itu secara esensial memiliki dua sisi. Satu sisi eksternal, kita kenali dengan mudah; bahwa hukum itu imperatif, rigid, dan memiliki daya ekskutorial. Tetapi hukum ditaati bukan hanya dengan aspek eksternalnya semata, ada aspek internal hukum yang membuatnya secara sadar dipatuhi oleh objeknya. Yakni ada aspek pengakuan bahwa aturan tersebut selaras dengan perasaan hukum yang mengendap pada dirinya. Itu sedikitnya menjadi alasan, ketika kita tetap patuh pada aturan lalu lintas meskipun polisi tidak siaga menjaga. Ada aspek intrinsik hukum yang dimiliki setiap orang.

Sentuhan kebijaksanaan menjadi krusial pada area ini. Sebab, bagaimanapun aktor dalam proses ini adalah manusia. Tangan manusialah yang pada pokoknya menjadikan arah berhukum itu menjadi mulia atau zalim. Anggaplah hukum itu sebagai sebuah senjata. Daya serangnya mematikan. Kecanggihannya tidak terbantahkan. Efektivitasnya mengagumkan. Pertanyaannya? Dengan cara apa tangan pemegang senjata itu memperlakukan senjatanya. Ini persoalan.

Pudarnya Derajat Etis

Proses berhukum yang terjadi di Mahkamah Konstitusi tempo hari menunjukkan ketidakwajaran itu. Tembok yang biasanya kukuh melambangkan keadilan konstitusional, kemarin menjadi saksi bisu atas ketidakwajaran berhukum. Sampai hari ini, sulit diterima bahwa Mahkamah pada akhirnya memutuskan untuk 'menyerobot' objek hukum tersebut. Ironisnya, kasus ini terjadi pada sebuah institusi hukum yang demikian terhormat.

Mahkamah itu, dalam kepentingannya untuk menjaga konstitusi, seharusnya diperankan oleh para bijak bestari hukum. Sebab, mereka adalah sosok yang dipilih untuk mengawal konstitusi (guardian of the constitution). Karena itu, kemampuan berhukum bukan lagi aspek paling prioritas di sini. Kefasihan etis dan kenegarawanan prasyaratnya. Ini murni karena tugas mereka begitu berat, yakni mengawal hukum dasar dari intrik kekuasaan.

Sebuah perasaan yang menyakitkan tentunya, apabila derajat etis itu menyingkir di hadapan intrik politik. Berhukum akan kehilangan rasa keadilannya; yang tersisa hanya serpihan argumentasi hukum yang miskin gagasan keadilan. Sejatinya kebijaksanaan itulah yang memberikan warna dalam berhukum, sebab jika hanya bergelut dengan teks normatif akan sangat rentan disalahgunakan, rentan pula dipolitisasi. Celaka sudah jika sosok bijak bestari itu, pudar derajat etisnya.

Ini semua tersambung dalam kecemasan terhadap eksistensi negara hukum Indonesia. Di saat capaian pembangunan hukum melaju dengan pesat ternyata sisi integritas para insan hukumnya terdapat masalah besar. Meski berbagai proyek reformasi hukum seperti simplifikasi peraturan perundang-undangan, pembaruan hukum kolonial, deregulasi kebijakan, dan perbaikan sistem penegakan hukum berjalan dengan sangat ambisius, kelalaian untuk membentuk insan hukum yang berintegritas akan menjadi harga mahal bagi eksistensi negara hukum ini.

Sebab penting untuk diingat, tanpa insan hukum yang ideal, bisa jadi yang pelan-pelan kita bentuk adalah sebuah negara hukum destruktif. Insan hukum itulah yang mungkin meruntuhkan segalanya. Semoga itu hanya asumsi belaka.

Agil Mahasin mahasiswa Pascasarjana Prodi Hukum Kenegaraan Universitas Indonesia

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads