Bisa jadi, Mendikbudristek Nadiem Makarim saat ini pusing tujuh keliling. Betapa tidak, salah satu dosa besar pendidikan yang digaungkan sejak awal menjadi menteri, datang silih berganti. Dosa besar yang dimaksud adalah kasus perundungan dan kekerasan di dunia pendidikan. Alih-alih kuantitas dan kualitasnya semakin meningkat. Beberapa kasus yang menjadi perhatian publik satu bulan terakhir di antaranya adalah perundungan siswa SD di Gresik dan siswa SMP di Cilacap serta duel antarsiswa SMA/SMK dan antarsiswa SMP yang sama-sama terjadi di Cianjur.
Meskipun dikampanyekan sebagai dosa pendidikan secara masif oleh Kemendikbudristek, sekolah seakan-akan kesulitan keluar dari dosa besar ini. Kejadian di Gresik, Cilacap, dan Cianjur tersebut merupakan fenomena gunung es. Artinya kasus-kasus lain yang tidak muncul di permukaan kemungkinan jauh lebih besar. Hanya saja, karena tidak ada yang mendokumentasikan dan memviralkannya, maka tidak menjadi perhatian publik.
Rendahnya Nilai Anti Perundungan
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan pengalaman saya sebagai asesor pada saat melakukan penilaian akreditasi di sekolah/madrasah, nilai-nilai anti perundungan sangat minim dimiliki oleh tenaga pendidikan dan pendidikan. Pemahaman tentang perundungan hanya sebatas terjadinya perundungan fisik. Adapun perundungan verbal seperti mengejek, mengolok, memanggil dengan julukan yang merendahkan, dan semacamnya dipandang sebagai suatu kenormalan.
Aktivitas-aktivitas tersebut dipahami sebagai bagian dari gurauan. Kejadian seputar persoalan ini tidak dianggap sebagai suatu kedaruratan yang harus segera dihentikan. Hal ini menunjukkan bahwa pihak sekolah tidak memiliki pemahaman terhadap nilai anti perundungan. Jika nilai anti perundungan tidak dipahami secara utuh, maka tidak akan ada upaya yang sungguh-sungguh dan komprehensif dalam membebaskan sekolah dari praktik perundungan.
Jika demikian halnya, maka sekolah bebas perundungan hanya akan menjadi suatu mimpi belaka. Sekolah-sekolah yang saya nilai, rata-rata sebatas melakukan sosialisasi anti perundungan secara klasikal ataupun pemasangan-pemasangan poster. Sekolah belum menciptakan sistem pencegahan perundungan yang maksimal. Seharusnya sekolah menyiapkan tim yang betul-betul berpihak kepada nilai anti perundungan. Bahkan, harusnya semua warga sekolah betul-betul berpihak pada nilai anti perundungan.
Siswa harus tahu kepada siapa mereka mengadu, jika menjadi korban ataupun melihat temannya menjadi korban perundungan. Sering kali siswa tidak tahu harus mengadu kepada siapa. Mereka sering merasa tidak aman dan nyaman ketika akan mengadukan kejadian perundungan yang dialaminya. Bahkan, mereka merasa khawatir kan mendapat perundungan lagi karena melapor. Mereka juga ragu melapor karena khawatir tidak mendapatkan respon yang berpihak kepadanya.
Sikap toleran terhadap perundungan, khususnya perundungan verbal, sangat mungkin dipengaruhi faktor budaya dan kebiasaan dalam masyarakat. Salah satu contoh perundungan verbal yang sering ditemukan di masyarakat adalah memanggil dengan panggilan yang merendahkan. Misalnya dalam tradisi masyarakat Jawa, ada panggilan kunthet untuk seseorang yang tidak terlalu tinggi, gendhut untuk seseorang yang terlalu gemuk, gembeng untuk seseorang yang masa kecilnya sering menangis.
Karena sudah telanjur terbiasa, panggilan-panggilan itu dianggap lumrah. Budaya dan kebiasaan itu mempengaruhi cara pandang dan pemahaman para pendidik sehingga menganggapnya sebagai sebuah kewajaran.
Pendidik Harus Memiliki Keberpihakan Nilai
Harusnya pendidik menyadari bahwa mereka bekerja di bidang pendidikan. Tidak semua budaya dan kebiasaan masyarakat bisa ditoleransi di dunia pendidikan. Apalagi sampai mempengaruhi mindset dan pemahaman, khususnya pada persoalan perundungan. Pemerintah melalui Kemendikbudristek sudah menetapkan nilai anti perundungan ini. Karenanya pendidik harus memiliki keberpihakan terhadap nilai tersebut.
Apapun budaya dan kebiasaan di masyarakat, jika itu tidak sesuai dan bertentangan dengan nilai-nilai anti perundungan, maka tidak boleh tumbuh di sekolah. Artinya mindset dan cara pemahaman pendidik harus disesuaikan dengan nilai yang telah ditetapkan. Bukan sebaliknya memberikan toleransi dengan alasan sudah menjadi budaya dan kebiasaan.
Manajemen sekolah punya peran yang strategis dalam keberpihakan terhadap nilai anti perundungan ini. Manajemen sekolah harus membangun pemahaman dan visi yang sama bahwa perundungan tidak boleh berkembang di sekolah dalam bentuk apapun. Program pencegahan jangan sampai hanya bersifat artifisial seperti poster, banner, dan seminar. Tetapi program yang betul-betul dikembangkan berdasarkan keberpihakan terhadap nilai-nilai anti perundungan para pendidiknya.
Komitmen guru terhadap nilai anti perundungan akan menjadi kunci, apakah program pencegahan perundungan di suatu sekolah hanya menjadi lips service belaka atau benar-benar melindungi peserta didik dari tindak perundungan.
Bagus Mustakim Asesor Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah Provinsi Jawa Timur