Karakteristik ekonomi digital adalah cepat dan mudah. Begitu yang disampaikan Eric Brynjolfsson dan Brian Kahin dalam Understanding the Digital Economy: Data, Tools, and Research. Keduanya berpandangan, kecepatan dan kemudahan ekonomi digital dapat menghemat biaya, waktu, dan ruang, serta meningkatkan ketersediaan informasi dan pilihan bagi konsumen.
Penggabungan sosial media dan e-commerce dalam satu platform digital (social commerce) adalah inovasi digital yang selaras dengan karakteristik ekonomi digital, yakni kolaborasi dan efisiensi. Secara algoritma, trafik sosial media, akan menjadi faktor pendukung meningkatnya trafik social commerce, sehingga pertautan (engagement ratio) produk meningkat dalam sistem kerja algoritma.
Social commerce menawarkan beberapa kemudahan dalam membantu para pelaku usaha, terutama mikro kecil dari sisi marketing dan penjualan. Beberapa manfaat yang diperoleh dari inovasi social commerce; pertama, meningkatkan keterlibatan pengguna. Pengguna dapat menemukan, meneliti, dan membeli produk tanpa meninggalkan platform sosial. Hal ini dapat meningkatkan waktu kunjungan, frekuensi kunjungan, dan jumlah kunjungan pengguna.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Faktanya, data Total Purchasing Value (TPV) e-commerce di Indonesia menunjukkan angka prestisius, sebesar Rp 476,3 triliun, menurut Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA). Setara 2,4 dari PDB nasional. Angka ini diperkirakan terus meningkat, seiring pasar Indonesia yang masih feasible terhadap produk e-commerce.
Kedua, meningkatkan kepercayaan konsumen. Pengguna dapat melihat ulasan, testimoni, dan rekomendasi dari orang-orang yang mereka kenal atau ikuti. Hal ini dapat meningkatkan kepercayaan pengguna terhadap produk atau layanan yang ditawarkan. Ketiga, meningkatkan viralitas produk. Pengguna dapat berbagi produk yang mereka sukai atau beli dengan teman-teman atau pengikut mereka. Hal ini dapat meningkatkan loyalitas dan kesadaran merek, minat, dan permintaan terhadap produk
Ketiga aspek ini difasilitasi dengan adanya platform social commerce seperti TikTok Shop, Facebook Shop, Line Shop, dan Instagram Shop. Konektivitas masyarakat konsumen terhadap social commerce dengan berbagai fitur layanan yang menarik, mendorong meningkatnya tingkat penjualan produk pelaku usaha mikro kecil.
Namun di balik pasar ekonomi digital yang ekspansif tersebut, ada segumpal kecemasan yang menyertai. Di antaranya praktik predatory pricing dan dumping yang datang dari dalam produk e-commerce. Langkah pemerintah menutup fitur social commerce pada salah satu digital platform adalah bagian dari kecemasan dimaksud. Lantas kecemasan pemerintah tersebut menuai pro-kontra .
Sikap Pemerintah
Dalam polemik TikTok Shop, terlihat bahwa pemerintah berada ada argumentasi memitigasi praktik monopoli dan melindungi UMKM domestik. Praktik predatory pricing menjurus pada dominasi platform e-commerce tertentu dalam pasar e-commerce. Naga-naganya, pemerintah agak gelisah dengan masifnya produk e-commerce dan inovasinya. Berbagai kemudahan dan bonus ditawarkan kepada merchandise. Termasuk produk yang lebih murah karena komponen biaya produksi yang lebih efisien dari negara asal. Hal ini menyebabkan tingkat penjualan produk tersebut trafiknya terus meningkat dari waktu ke waktu.
Dengan demikian, hikmah yang dapat diambil pemerintah bukan melulu aspek predatory pricing, tapi diawali dengan pertanyaan, kenapa harga produk luar lebih kompetitif di pasar e-commerce? Produk luar lebih murah karena biaya investasi untuk menghasilkan suatu produk lebih murah. Dengan demikian, harga yang ditawarkan ke pasar eksternal lebih kompetitif.
Di Indonesia, untuk menghasilkan satu produk yang sama, biaya investasinya lebih mahal. Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia berdasarkan data Bappenas 2022 adalah 7. Dengan kata lain, untuk menghasilkan satu unit output yang sama, kita mengeluarkan tambahan investasi sebesar Rp 7. Biaya input lebih mahal. Pemerintah perlu melakukan ekstrapolasi sudut pandang dari sebatas soal predatory pricing ke persoalan hulu terkait daya saing produk Indonesia.
Dengan kenyataan seperti ini, tak heran bila peluang negara-negara luar melakukan dumping dan predatory pricing lebih terbuka dalam pasar e-commerce. Di saat yang sama, industri substitusi impor di Indonesia pun jalan di tempat. Dengan berbagai regulasi, pemerintah bisa saja melakukan barrier to entry terhadap produk luar, namun soalnya, apakah itu sejalan dengan pertumbuhan industri substitusi dalam negeriβapalagi yang berorientasi ekspor?
Langkah pemerintah menutup platform social commerce dengan berbagai argumen tampak anomali dengan inovasi di sektor e-commerce. Kolaborasi dan efisiensi dalam inovasi produk ekonomi digital, adalah karakteristik penting dalam tren ekonomi digital. Dengan demikian, regulasi yang adaptif dan inklusif diperlukan. Namun di saat yang sama tidak mematikan inovasi.
Langkah Strategis
Pemerintah perlu berpikir dari makro kebijakan ke mikro kebijakan terkait digitalisasi ekonomi. E-commerce, di antara berkah ekonomi dan petaka, bukanlah sebuah fakta yang berdiri sendiri. Dari data idEA, TPV e-commerce sebesar Rp 476,3 triliun, namun total pajak pertambahan nilai (PPN) dari perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) 2020 - 2023 adalah Rp 15 triliun. Hanya 0,03 persen dari TPV e-commerce di Indonesia. Selebihnya adalah shadow economy; karena nilai benefit ekonomi masih sulit terdeteksi negara sebagai revenue.
Kontribusi ekonomi digital terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2025 diramal bisa mencapai 10 persen atau sekitar US$ 150 miliar. Perkiraan angka ini meningkat signifikan bila dibandingkan dengan 2020, di mana kontribusi ekonomi digital terhadap PDB Indonesia sebesar 4 persen atau sekitar Rp 619 triliun. Dengan gambaran seperti ini, ekonomi digital melalui industri e-commerce menjadi akselerator dalam memberikan bobot bagi PDB.
Namun pemerintah memiliki tugas berat dalam menangani shadow economy yang potensial terjadi dalam digitalisasi ekonomi. Shadow economy bekerja dalam digitalisasi ekonomi dengan cara memanfaatkan teknologi digital untuk melakukan transaksi ekonomi yang tidak tercatat oleh otoritas resmi. Berdasarkan data pemerintah, praktik shadow economy di Indonesia adalah 30 persen dari PDB.
Hingga 2023, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan 5.753 Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) ilegal atau tak terdaftar di otoritas. Pertumbuhan LPBBTI ilegal ini meningkat 62 persen dari 2021 sebesar 811. Potensi kerugian akibat aktivitas ekonomi yang tidak tercatat ini diperkirakan sebesar Rp 126 Triliun.
Langkah strategis pemerintah dengan meregulasi e-commerce hanyalah satu di antara sekian item dalam ekonomi digital yang potensial merugikan pelaku UMKM dan pemerintah dari sisi penerimaan. Pertumbuhan digitalisasi ekonomi yang cepat harus diimbangi dengan produk regulasi dan adaptasi kebijakan. Hal ini diperlukan untuk memperkecil terjadinya shadow economy di era digitalisasi.
Predatory pricing dalam e-commerce hanyalah bagian kecil dari digitalisasi ekonomi. Problem paling strategis dalam ekonomi digital yang perlu mendapat perhatian adalah fenomena kebocoran data pribadi yang berdampak masalah ekonomi dan pertahanan. Kebocoran data pribadi menyebabkan pihak luar dengan mudah menguasai Indonesia dari sisi market intelligence. Data pribadi yang bocor dapat dimanfaatkan pihak luar untuk melakukan spionase, sabotase, infiltrasi, atau propaganda. Dalam skala tertentu dapat mengancam kestabilan politik, ekonomi, sosial, maupun pertahanan negara.
Regulasi terkait perlindungan data pribadi dalam UU No 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi perlu diterjemahkan dalam produk aturan turunan yang adaptable terhadap berbagai potensi kebocoran data pribadi dalam ingar bingar ekonomi digital.
Abdul Munir Sara Tenaga Ahli Anggota DPR Komisi XI
Simak juga 'Facebook dan Instagram Lagi Urus Izin Social Commerce':