Mahkamah Agung (MA) memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mencabut Pasal 11 ayat (6) dan Pasal 18 ayat (2) Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023. Beberapa kalangan merasa perintah tersebut melanggar hak asasi manusia karena mencabut hak politik seseorang untuk dipilih dalam jabatan publik.
Pada 29 September 2023 MA dalam Putusan Nomor 28 P/HUM/2023 telah mengabulkan permohonan uji materiil terhadap Pasal 11 ayat (6) dan Pasal 18 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023. PKPU tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g dan Pasal 182 huruf g UU Pemilu karena memberikan karpet merah bagi mantan narapidana korupsi untuk menjadi peserta pemilu.
Bagi kelompok yang pro, mereka berpendapat bahwa pencabutan hak politik dilakukan karena terpidana telah menyalahgunakan kewenangan sebagai pejabat publik, pemberian hukuman ini diharapkan melindungi masyarakat dari tindakan yang serupa serta menimbulkan efek jera bagi terpidana. Sedangkan, bagi kelompok yang kontra, penolakan pencabutan hak dipilih ataupun memilih karena hal tersebut melanggar hak asasi manusia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Konvensi Internasional
Berdasarkan Konvensi Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik, setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam melaksanakan urusan pemerintah dan hak untuk memilih dan dipilih tanpa adanya diskriminasi atau pembedaan.
Dalam rezim hak asasi manusia dikenal dua macam hak, yaitu derogable rights dan non derogable rights. Derogable rights merupakan hak-hak yang tidak bersifat absolut yang dapat dikurangi pemenuhannya oleh negara, sedangkan non derogable rights merupakan hak-hak yang bersifat absolut dan tidak dapat dikurangi pemenuhannya oleh negara.
Konvensi Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik mengatur secara limitatif dalam Pasal 5 beberapa hak yang termasuk dalam non-derogable rights, yaitu hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, serta hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Berdasarkan metode penafsiran a contrario, maka selain hak-hak yang disebutkan dalam Pasal 5 konvensi tersebut merupakan derogable rights.
Bukan Pelanggaran HAM
Korupsi merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu keuntungan dengan cara merampas hak-hak orang lain, secara tidak langsung menggunakan kekuasaan dan jabatannya untuk mendapatkan apa yang menguntungkan pada diri sendiri atau kelompok. Korupsi dipahami sebagai perbuatan yang dilakukan oleh pejabat publik dengan cara menyalahgunakan kekuasaannya.
Pengaturan mengenai pencabutan hak politik ini termuat dalam Pasal 35 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan ada beberapa hak tertentu yang dapat dicabut negara ketika terpidana melanggar hukum, yang di antaranya adalah hak memilih dan dipilih. Sejalan dengan KUHP, Konvensi PBB untuk Melawan Korupsi dalam Pasal 30 ayat (7) juga mengatur mengenai pemberian sanksi terhadap orang yang melakukan korupsi sehingga orang tersebut didiskualifikasi untuk jangka waktu tertentu dalam memegang jabatan publik.
Adanya hukuman tambahan terhadap mantan narapidana korupsi dikarenakan adanya unsur terpidana di mana mereka telah menyalahgunakan kewenangan sebagai pejabat publik yang menimbulkan pelanggaran terhadap masyarakat luas. Pemberian hukuman tambahan ini bukan bermaksud ingin menghilangkan kehormatan atau hak seseorang, tetapi pencabutan hak politik dirasa perlu untuk mencegah agar seseorang sehingga tidak lagi mengulangi perbuatan yang serupa.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka Putusan MA untuk memberikan jeda lima tahun bagi mantan narapidana korupsi untuk mengikuti pemilu bukanlah suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia, hal tersebut dilakukan sebagai pemberian efek jera dan upaya preventif agar mantan narapidana korupsi tidak mengulangi perbuatan yang akan merugikan masyarakat.
Muhammad Hillman Al Hanif mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
(mmu/mmu)