Sebuah kalimat "filosofi kopi" beredar di media sosial berbunyi: "kalau sekadar hendak singgah, berikanlah aku segelas kopi, bukan janji-janji manis." Kalimat tersebut menjadi kontekstual di musim politik pilpres saat ini. Panasnya cuaca dan udara belakangan seakan bersaing dengan gerak-gerik para politisi dalam gesekan manuver saling kunjung, lobi, bermufakat sembari menabur janji-janji politik nan indah kepada rakyat.
Dengan janji yang ditumpahkan ke ruang publik, terlihat jelas betapa mereka sedang beradu-rayu, menggaet hati rakyat. Bakal capres dari Koalisi Indonesia Maju (KIM), Prabowo Subianto, misalnya menjanjikan jika menang pasangannya akan menaikkan gaji ASN, membangun lumbung pangan di rawa-rawa, tidak akan impor pangan, serta memberikan makan siang dan susu gratis bagi seluruh pelajar Indonesia.
Sementara itu bakal cawapres sekaligus Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menjanjikan akan meningkatkan dana desa menjadi Rp 5 miliar, BBM gratis bagi pemilik sepeda motor, subsidi pupuk, tunjangan ibu hamil dan sekolah gratis, jika ia menang dalam Pilpres 2024. Sementara Ganjar Pranowo akan melanjutkan proyek Ibu Kota Negara dan menaikkan gaji guru sebanyak Rp 30 juta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Janji-janji populis yang terkait langsung dengan kebutuhan konkret rakyat seperti itu memang cukup bermagnet untuk merayu dan menggaet hati publik. Apalagi produk laris dan konvensional para politisi tak lain tak bukan, membuat janji politik sebanyak-banyaknya sebagai strategi untuk memenangi kontestasi politik. Meskipun pada kenyataannya, indahnya janji politik tak selalu berkorelasi positif dengan kemampuan merealisasikannya.
Itu sebabnya Nikita Kruschev, politikus dari Rusia (1894-1971) menyindir, "Politisi itu semuanya sama. Mereka berjanji membangun jembatan meskipun sebenarnya tidak ada sungai di sana." Bagi politisi, hal paling mudah dan pertama adalah membuat janji, perkara ditepati atau tidak, itu urusan nanti.
Jauh dari Solusi Logis
Padahal dalam perilaku politik, tidak semua janji-janji politik itu bisa menuntun persepsi dan perilaku rakyat pemilih. Rakyat memiliki batas rasionalitas untuk memilah mana janji yang rasional atau sebaliknya. Menurut Michael Ganslmeier (2023) dalam makalahnya Are Campaign Promises Effective?, tidak semua janji-janji politisi tersebut berakhir manis dalam pembentukan kesadaran dan partisipasi pemilih dan perluasan elektoral politik. Janji mereka tentang isu sosial memang menunjukkan keberpihakan sosial mereka kepada rakyat. Tetapi hal tersebut lebih bersifat persuasif daripada memobilisasi rakyat untuk bertindak atau memilih mereka.
Sebenarnya jika dikaji secara lebih membumi, janji-janji para bacapres atau bacawapres di atas terbaca sebagai usaha untuk menyentuh pergumulan riil rakyat lewat upaya mengatasi problem akses terhadap pangan, makanan bergizi, biaya sekolah, biaya transportasi hingga gaji guru. Namun jika dikaitkan dengan postur dan kemampuan anggaran pembangunan nasional, janji-janji manis tersebut rasanya masih jauh dari solusi yang logis.
Apalagi jika dikaitkan dengan tingkat korupsi para pejabat negara kita yang kian hari makin menggelisahkan. Sehingga membuat negara terus kelimpungan untuk memaksimalkan anggaran pembangunan terutama bagi pengentasan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Ironisnya, justru para pejabat publik termasuk politisi itu sendiri yang tidak henti-hentinya selalu berjanji di hadapan rakyat akan memberantas korupsi. Tidak heran jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan tren survei penilaian integritas (SPI) 2022 merosot dibanding 2021. Penurunan itu akibat pejabat publik yang omong doang melawan rasuah, namun nyatanya nonsens (Nainggolan, 2023).
Dengan kata lain, tak ada gunanya janji-janji menaikkan gaji ASN/guru, anggaran dana desa, dan janji bombastis lainnya manakala pada saat bersamaan anggaran negara makin kurus karena disedot para koruptor rakus. Maka, janji politik yang relevan di tengah situasi krisis integritas dan buruknya manajemen pengelolaan keuangan negara saat ini membuat strategi jitu untuk memberantas korupsi dan memperbaiki penegakan hukum agar tidak "tebang pilih" dan mudah diintervensi oleh kepentingan politik. Janji memperbesar hukuman koruptor, memiskinkan koruptor, atau mengatasi inefisiensi birokrasi dengan sendirinya jauh lebih relevan dan "membumi".
Janji politik bagai pisau bermata dua. Di satu sisi para politisi bisa mempersenjatai manuver politiknya dengan menghadirkan mimpi-mimpi utopis pada rakyat. Namun di saat bersamaan ia bisa menciptakan apatisme politik rakyat yang kian akut, bahkan mendorongnya untuk memosisikan para politisi itu laksana badut-badut pemburu kekuasaan di gelanggang politik yang tengah menghibur sekaligus haus akan tepuk tangan dan pujian politik dari rakyat.
Andreas Born dalam An Experimental Investigation of Election Promises (2018) mengatakan janji para politisi di satu sisi mungkin bisa menuntun rakyat memberikan suaranya dalam pemilu, namun di saat bersamaan hal tersebut berpeluang digunakan untuk menghukum politisi yang ingkar.
Pemilih Makin Cuek
Sayangnya bagi politisi kita, makin ke sini, rakyat pemilih kita sudah makin cuek dengan janji para politisi. Janji-janji politik oleh rakyat dianggap sekadar "jualan kecap"-nya para politisi di ritual pemilu. Survei Voxpol Center (2019) misalnya menyebut mayoritas masyarakat Indonesia tak peduli atau mengaku tak tertarik dengan janji-janji yang diobral pasangan capres dan cawapres jelang Pilpres 2019. Sebesar 70,4 persen masyarakat menyatakan tidak tertarik dan mempercayai janji politik yang ditawarkan capres/cawapres. Hanya 18,3 persen pemilih yang tertarik.
Ada 62,8 persen pemilih yang tidak percaya dengan janji politik mereka. Meskipun 24,7 persen masih percaya akan janji politik capres/cawapres di masa kampanye. Namun ironisnya hanya sebesar 16,6 persen pemilih yang mengaku bakal menagih janji politik para capres-cawapres jika terpilih. Dan, sisanya, 71,4 persen memilih tidak menagih atau tidak peduli dengan janji politik capres setelah terpilih.
Salah satu kelemahan mengapa ruang politik dan demokrasi kita seakan terus bersahabat dengan para politisi yang suka berjanji namun abai menepatinya setelah pemilu, karena di masyarakat kita belum tumbuh budaya dan kesadaran politik untuk menjadi pemilih yang kritis dan bertanggung jawab. Misalnya komunitas masyarakat penagih janji. Budaya pemilih kita masih sebatas menerjemahkan hak politiknya dengan mencoblos di bilik suara, dan selesai.
Padahal masih ada satu tahapan krusial yang perlu dijalankan oleh pemilih, yakni mengawal para politisi dalam menjalankan kekuasaannya. Termasuk mencatat dan proaktif menagih janji-janji mereka. Bahkan memberi sanksi terhadap politisi yang terbukti mengingkari janji politiknya lewat gugatan dan mosi tidak percaya.
Karenanya, Pemilu 2024, mestinya menjadi momentum kebangkitan demokrasi bagi rakyat pemilih setelah sekian lama terperangkap dalam kebohongan mereka. Di samping tidak mudah termakan bujuk-rayu janji dan propaganda para politisi, rakyat harus menyalakan sikap kritisnya, mengorganisasi dirinya secara tertib untuk menjadi pemilih yang "cerewet" dalam menagih janji para politisi.
Politisi yang tidak mampu menuntaskan janjinya akan dianggap sebagai pemimpin yang berbohong dan tidak berhak untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Dengannya, waktu akan menjawab apakah para politisi sekadar "singgah" di hati rakyat saat pemilu dengan mengobral janji-janji manis politiknya, atau sebaliknya.
Umbu TW Pariangu mengajar 'Perilaku Pemilih Politik' FISIP Universitas Nusa Cendana
Simak juga 'Survei Poltracking di Jabar: Prabowo Unggul Jauh dari Anies-Ganjar':