Respons terhadap putusan MK mengenai kampanye di lingkungan akademik menjadi ruang dialektika yang cukup menarik untuk dinantikan. Terlebih lagi hal ini juga didukung oleh pemilih muda Indonesia yang memiliki proposisi paling tinggi pada Pemilu 2024. Berbagai gerakan pun mulai bermunculan dari lembaga kemahasiswaan dengan mengundang, bahkan menantang untuk menguliti isi kepala (gagasan) para bacapres.
Setidaknya per19 September 2023, dua kampus ternama (UI dan UGM) telah menghadirkan bacapres untuk bicara gagasan di hadapan mahasiswa. Tidak menutup kemungkinan bahwa kampus-kampus lain di seluruh Indonesia juga akan mengundang bacapres tersebut. Mengingat keberagaman sosio masyarakat Indonesia tentu juga akan menghasilkan isu-isu yang berbeda atau bersifat lokalitas.
Kemudian kondisi ini juga akan lebih menarik apabila kehadiran bacapres dikelola langsung oleh lembaga mahasiswa. Melihat beberapa tahun belakangan begitu banyak isu-isu yang mendapat perhatian dari mahasiswa, baik isu nasional maupun lokal. Hal ini dapat dilihat dari berbagai aksi demonstrasi dan propaganda media yang hampir setiap hari dilakukan mahasiswa di seluruh Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tingginya minat mahasiswa untuk berdialog langsung dengan bacapres akan menjadi potensi besar untuk terciptanya demokrasi substansial di Pemilu 2024 nanti. Pertama, hal ini akan menjadi proses deliberatif untuk menghimpun berbagai permasalahan yang ada di seluruh Indonesia. Kedua, proses tersebut juga akan mengambil alih produksi narasi yang beberapa tahun terakhir dominan bersifat top down.
Sebagaimana gelar Presiden Joko Widodo yang disematkan Prof. Fachry Ali sebagai post elite leader merupakan buah reformasi dan konvergensi media (Hafiz, 2022). Di mana Presiden Joko Widodo hadir bukan dari kalangan elite politik melainkan dari Wali Kota Solo (eksperimen politik rakyat). Namun begitu, satu hal yang perlu dicermati apakah popularitas Presiden Joko Widodo di awal karier politik nasional diperoleh melalui kemewahan gagasan?
Terlepas dari baik atau tidak gagasan dan kinerja Presiden Joko Widodo selama dua periode memimpin Indonesia. Ada sebuah realitas yang mesti kita sadari bahwa narasi dan citra dari Presiden Joko Widodo maupun pesaing-pesaingnya dalam dua kontestasi pilpres terakhir bersifat top down. Di mana narasi yang disebar diproduksi dan dikemas oleh para elite politik dan menjadi acuan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Pengamat politik Yunarto Wijaya pernah mengemukakan sebuah analisis politik yang cukup menarik dalam konten Narasi TV yang berjudul "Monopoli Politik". Ia mengajukan tiga kemungkinan ketika Pilpres 2024 harus diselesaikan melalui dua putaran (simulasi dengan format tiga calon; Anies, Prabowo, Ganjar).
Kemungkinan pertama, ketika yang melaju ke putaran kedua Ganjar dan Prabowo, maka Prabowo akan diidentikkan dengan identitas Islam. Kedua, ketika yang melaju putaran dua Ganjar dan Anis, maka Anies akan diidentikkan dengan Islam. Terakhir, ketika Prabowo dan Anies yang masuk putaran dua, maka Anis yang akan diidentikkan dengan pemilih Islam.
Analisis kemungkinan-kemungkinan tersebut menunjukkan bahwa narasi atau kemasan dari setiap calon presiden bukan sesuatu yang melekat secara alamiah. Melainkan dipoles dan dibentuk oleh elite politik untuk membangun opini masyarakat. Dan, biasanya yang ditonjolkan merupakan hal yang bersifat emosional dan non gagasan seperti identitas dan karakter.
Menjawab kondisi dua kontestasi pilpres terakhir, Pilpres 2024 memiliki format berbeda yang cukup menjanjikan. Pada dua kontestasi sebelumnya pembicaraan gagasan cukup terbatas dan dapat dikatakan hanya dilakukan saat debat capres yang difasilitasi penyelenggara dengan topik pembahasan cukup terbatas. Namun dengan kondisi saat ini, maraknya dialog gagasan di lingkungan akademik akan lebih mengeksplorasi gagasan capres secara luas.
Poin pentingnya bahwa hal tersebut akan menjadi poros narasi politik pada Pemilu 2024 nanti. Di mana setiap dialog yang dilaksanakan di kampus-kampus akan memunculkan kondisi-kondisi riil di tengah masyarakat untuk dijawab secara gagasan. Ketika hal ini marak dilakukan tentu akan merubah iklim politik yang sebelumnya berisi propaganda dan provokasi menjadi lebih substansial. Pada akhirnya popularitas dan ketertarikan pada calon tidak lagi dibangun berdasarkan emosional seperti identitas dan karakter pribadi.
M Hafiz Al Habsy mahasiswa Ilmu Administrasi Negara UNP, Ketua BEM KM FIS UNP, Presidium Nasional Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Sosial Politik Indonesia (ILMISPI)
(mmu/mmu)