Bisakah Sebentar Saja "Menjadi Manusia"?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Bisakah Sebentar Saja "Menjadi Manusia"?

Selasa, 03 Okt 2023 16:10 WIB
Ika Lewono
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Dahulu mereka memiliki kehidupan yang berbeda-beda. Kini harus bernasib sama dan menjalani sisa hidup usia senja di Panti Werdha. Beginilah potretnya.
Foto ilustrasi: Andhika Prasetya
Jakarta -

...take my hand/ take my whole life, too/ for I can't help falling in love with you....

Gemuruh tepuk tangan terdengar riuh bergema menyambut bunyi khas musik angklung yang dipentaskan oleh sekelompok lansia berseragam batik coklat tua. Alunan lagu lawas Elvis Presley, Can't Help Falling In Love dinyanyikan oleh salah seorang lansia perempuan berkursi roda. Ia melantunkan syairnya penuh dengan getar kerinduan, membuat air mata saya jatuh perlahan, mengaburkan pandangan.

Sorak pujian dan semangat memenuhi aula saat nada angklung terakhir di ketukan. Saya pun berdiri, turut bersorak, sebagai tanda apresiasi. Terlihat senyum semringah menghiasi keriput lelah di wajah-wajah renta. Sebuah pemandangan yang menyentuh relung hati.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pertunjukan musik angklung yang baru saja saya saksikan merupakan persembahan dari para lansia penghuni panti sosial milik pemerintah daerah provinsi DKI Jakarta. Panti sosial ini menampung sekitar tiga ratus lima puluh orang lansia, yang sembilan puluh persennya adalah penyandang disabilitas non-potensial dengan riwayat gangguan kejiwaan.

Para lansia yang bermain angklung itu hanyalah sedikit dari mereka yang masih mampu mandiri. Mandiri di sini adalah dalam artian masih bisa berdiri, dan berjalan walaupun tertatih dengan bantuan tongkat ataupun walker.

ADVERTISEMENT

Saya, bersama dengan lima puluh orang relawan, datang berkunjung untuk menyapa mereka, sekaligus menyampaikan kumpulan sumbangsih dari para donatur. Selain itu, kami juga berinteraksi dengan para lansia difabel lainnya yang hanya bisa terbaring di atas tempat tidur. Mereka semua ditempatkan di tiga puluh wisma yang dibangun di atas lahan luas ini.

Dengan terbagi menjadi beberapa kelompok kecil, kami pun menyambangi satu per satu wisma-wisma tersebut. Bersama dengan dua orang rekan, saya menapakkan kaki, memasuki wisma pertama yang ditunjukkan oleh petugas panti. Aroma khas antiseptik langsung tercium di udara, menyambut kedatangan kami di dalam ruangan luas dan panjang. Deretan tempat tidur besi berkaki putih berjajar rapi di kedua sisi ruangan. Mengingatkan saya akan bangsal kelas tiga rumah sakit umum.

Beberapa wajah terangkat pelan, memperhatikan langkah kami menuju area tengah. Sorot-sorot mata letih memandang kami dengan rasa ingin tahu.

"Halo, Opaaa...Selamat siang semuanyaaa...." sapa saya dengan suara lantang, seceria yang saya bisa.

"Kenalkan, Opa nama saya Ika."

"Saya Lala."

"Saya Yani."

Seru kami bergantian memperkenalkan diri. Respons mereka beragam. Ada yang tetap duduk termenung, diam saja tidak bergerak. Ada yang hanya tidur meringkuk, namun ada pula yang terkekeh, tersenyum lebar, dan menyapa balik.

"Selamat siang, Nona..." sahut beberapa opa menyambut salam kami.

Kami lalu berinteraksi, menyapa satu per satu dari mereka, serta meminjamkan telinga untuk sekadar mendengarkan sejenak curahan hati.

Sepi yang Sama

Masing-masing dari mereka mempunyai cerita sendiri tentang mengapa mereka berada di tempat ini. Ada yang dititipkan karena keluarga yang sudah tidak sanggup lagi untuk merawat, ada yang memang sengaja ditinggalkan seorang diri, dan ada pula yang ditemukan di jalan oleh petugas penertiban.

Senyuman, pelukan sayang, serta telinga yang mendengarkan menjadi hal yang paling ditunggu. Perasaan tersingkirkan, terbuang, dan terlupakan adalah penyebab terbesar dari kondisi mereka sekarang ini.

Melihat raut kesepian dan kerinduan mendalam pada setiap kata pelan yang mereka ucapkan, membuat saya bertanya sendiri, mengapa mereka terus menjalani sisa senja mereka dengan beban hati yang begitu berat? Tidak bisakah mereka mengikhlaskan penyebab rasa rindu dan sepi yang telah berlalu? Tidak inginkah mereka melepaskan semua ganjalan hati sebelum raga ini ditinggalkan?

Ah, tapi...bukankah pertanyaan-pertanyaan di pikiran saya itu seharusnya dikembalikan kepada diri saya sendiri? Tidakkah saya sendiri sedang merasakan sepi yang sama, dan kerinduan yang sama juga seperti mereka ini? Tidak pantas rasanya saya mempertanyakan bagaimana mereka; para lansia ini menjalani kehidupan mereka sebelumnya ketika saya sendiri masih memiliki beban hati yang belum terselesaikan.

Semua mimpi yang tidak bisa terwujud, merasa terlupakan oleh sahabat yang lama tidak bertegur sapa, tersingkirkan dari kelas sosial yang tidak lagi sama, serta rasa kehilangan karena ditinggalkan oleh seseorang yang terkasih, bukankah semua itu yang sedang saya hadapi sekarang?

Apa yang saya lihat sekarang seperti sebuah cermin untuk diri saya sendiri. Cermin masa depan yang mungkin saja terjadi jika saya tidak melakukan sesuatu untuk mengolah semua rasa yang menjadi beban pikiran dan hati saya saat ini. Kembali saya bertanya-tanya sendiri. Mampukah saya untuk berdamai dengan semua perasaan-perasaan itu? Akankah suatu saat nanti pikiran dan hati saya bisa mengucapkan kata ikhlas dengan seikhlas-ikhlasnya tanpa ada kata "tapi"?

Atau, apakah suatu hari nanti saya akan menjadi sama seperti mereka yang berdiam di tempat ini, meratapi kerinduan dan rasa sepi yang tidak berkesudahan karena tidak mampu mengikhlaskan? Entahlah. Untuk saat ini saya belum bisa menemukan jawabannya. Hal terbaik yang bisa saya lakukan sekarang ini adalah mengucap syukur untuk semua pembelajaran hidup yang telah dan sedang saya jalani.

Dimulai dengan bersyukur akan semua hal yang terjadi, dapat membuat saya lebih memahami setiap makna yang ada di baliknya. Seperti ketika saya diminuskan semesta dalam hal materi, saya menyadari bahwa saya sedang diberi pelajaran untuk mengenal arti kata cukup akan apapun yang saya dapatkan sekarang ini. Saya belajar untuk memahami bahwa saat saya telah merasa cukup di dalam hati dan juga pikiran saya, maka semua hal yang ada di luar diri pun dengan sendirinya akan terasa tercukupkan.

Demikian juga ketika saya berterima kasih kepada semesta yang telah menyingkirkan saya dari lingkungan kelas sosial tertentu, saya lalu dipertemukan dengan komunitas baru tempat saya bisa melihat dan juga mengembangkan bakat terpendam yang belum pernah saya tahu sebelumnya.

Sama halnya dengan pertemuan dan interaksi saya dengan para lansia difabel hari itu, telah memberikan saya satu pengalaman batin tersendiri. Bahwa adakalanya ketika seseorang sudah sedemikian lama merasa tersingkirkan, dan lalu terlupakan hingga usia senja, maka ia sendiri pun pada akhirnya bisa melupakan segala hal tentang dirinya sendiri.

Karenanya, biarlah apa yang saya lakukan hari ini, semoga sedikit saja bisa menjadi obat untuk mereka atas kehilangan, ataupun karena dilupakan lebih dulu oleh orang-orang terdekatnya. Semoga sedikit saja bisa menjadi pereda nyeri kesepian mereka tanpa ada yang menanyakan bagaimana perasaannya hari ini. Bersama kedua tangan ini, yang kalau bisa merengkuh seluruh tubuh ringkih mereka, dapat sejenak merasakan tentang bagaimana rasanya 'menjadi manusia'.

"Doakan saya bisa cepat sembuh ya, Nona."

"Pasti, Opa! Opa pasti bisa sembuh," sahut saya yang lalu melepaskan genggaman tangan, seraya mengucapkan salam perpisahan.

...like a river flows/ surely to the sea/ darling, so it goes/ some things are meant to be....

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads