Judul Buku: Bebas Burnout: Tangguh Tanpa Rasa Jenuh; Penulis: Ekachaeryanti Zain; Penerbit: Transmedia Pustaka, 2022; Tebal: 220 halaman
Ucapan motivasi dengan selipan 'kerja keras' kerap terdengar. Entah saat bersantai, berseluncur di sosial media hingga tayangan video berisi motivator yang tengah asyik menjadi pembicara, seolah-olah menegaskan bahwa esensi utama hidup manusia adalah bekerja keras.
Ucapan motivasi dengan selipan 'kerja keras' kerap terdengar. Entah saat bersantai, berseluncur di sosial media hingga tayangan video berisi motivator yang tengah asyik menjadi pembicara, seolah-olah menegaskan bahwa esensi utama hidup manusia adalah bekerja keras.
Memang, konsep tersebut tidak salah. Namun, tanpa disadari memupuk persepsi masyarakat yang sedikit keliru, terlebih jika ditelan mentah-mentah. Maksudnya, konsep berpikir seperti ini membuat mereka berambisi kala menunaikan pekerjaan, tanggung jawab ataupun tugas semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan kondisi mental, emosional dan fisik yang lelah. Apabila terus dibiarkan, maka siap-siaplah terkena fase burnout. Padahal proses penyembuhan fase ini cukup memakan waktu.
Ekachaeryanti Zain adalah dosen Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman sekaligus psikiater. Lewat buku berjudul Bebas Burnout: Tangguh Tanpa Rasa Jenuh ini, ia memberikan edukasi pada para pembaca berupa tindakan preventif maupun solusi jika berada pada titik burnout. Agar dapat memahami konteks keseluruhan buku, penulis langsung mengenalkan definisi burnout pada bab pertama.
Ringkas saja, burnout adalah gangguan psikologis akibat pekerjaan atau tugas yang berlimpah, memicu stress berkepanjangan. Realitanya, hidup bersifat dinamis, penuh persaingan. Manusia ibarat aktor yang dituntut mampu untuk memainkan peran pebisnis, mahasiswa, karyawan, aktivis, dan sebagainya secara maksimal dan sempurna.
Penulis merumuskan faktor internal penyebab burnout: terlalu ambisius, idealis, dan perfeksionis. Pada konteks ini, pepatah "segala yang berlebihan tidak baik" ada benarnya juga. Titik awal burnout adalah stres yang muncul akibat besarnya keinginan manusia (ambisi) mencapai target, impian, harapan.
Manusia idealis akan sangat akrab dengan namanya kerja keras guna mewujudkan ambisinya. Sementara perfeksionis menginginkan standar tinggi, kesempurnaan pada hasil kerja. Bisa dibilang, pengidap burnout adalah mantan manusia yang terlalu pekerja keras, mereka bersedia menangani semua pekerjaan asalkan target terpenuhi entah tuntutan atau sukarela (menjadi mahasiswa terbaik, misalnya).
Pada bab lain, penulis mencantumkan contoh burnout yang terjadi pada mahasiswa. Menyinggung sedikit, betapa tingginya tugas mahasiswa dari lingkup akademik saja, misalnya ujian, makalah, artikel, presentasi yang mau tidak mau harus ditunaikan, melanggar saja nilai sudah pasti tak keluar. Akhirnya, harapan lulus cepat bisa ikut memudar.
Kelebihan yang dimiliki buku ini bisa ditinjau oleh tata letak antarparagraf yang cukup renggang sehingga mata nyaman untuk menyimak, terdapat lembar evaluasi per akhir bab untuk mengukur tingkat stres. Selain itu segi bahasa yang ringan, penggunaan sudut pandang orang kedua lebih komunikatif, dan sejumlah kalimat motivasi. "Kuncinya adalah persisten, lakukan satu per satu. Walaupun lambat yang penting menunjukkan kemajuan." (hlm. 71)
Secara implisit, hal ini menjelaskan bahwa hidup manusia akan tenang dan rileks apabila ia mencintai proses daripada hasil akhirnya, mengapresiasi langkah kecil sekalipun asalkan ada progres. Ekachaeryanti mengidentifikasi burnout melalui tiga hal, yakni mudah lelah mental dan fisik, merasa tidak bahagia, dan kurangnya kepercayaan diri. Pada fase burnout, ada perbedaan yang abstrak, yaitu rasa semangat, antusiasme ketika menunaikan tugas yang semula digandrunginya perlahan memudar, cenderung apatis atau masa bodoh.
Penulis mengulas cara mengatasi burnout dengan unik, dikemas dalam paragraf yang sifatnya memotivasi, menggugah emosional pembaca. "Mencintai diri sendiri terasa menyembuhkan dibandingkan mencintai obsesi dirimu yang sempurna". (hal. 27)
Menghindari burnout dimulai mencintai diri sendiri, memberikan kasih sayang dan afirmasi; sepele tapi sulit dilakukan. Pedihnya, masyarakat cenderung menginginkan hidup yang perfeksionis, memilih orang lain entah selebgram, artis, pejabat sebagai tolok ukur kapasitasnya. Baik segi pencapaian, fisik, materi,dan sebagainya. Penulis mengajak pembaca untuk berusaha semampunya dan melihat situasi yang realistis, belajar menerima.
Sayangnya, penulis menyajikan argumennya tanpa didukung oleh referensi ilmiah, misalnya presentase kasus burnout. Selain itu pengaturan tata letak yang tidak memaksimalkan ruang. Selebihnya, buku ini ringan dibaca dan edukatif. Sangat cocok untuk dibaca bagi semua kalangan, baik mahasiswa, karyawan hingga ibu rumah tangga. Demikian masyarakat akan memahami apa itu burnout, dampaknya, dan bagaimana langkah untuk menyembuhkannya.
Shinta Ayu Aini mahasiswi konsentrasi jurnalistik Komunikasi Penyiaran Islam UIN Walisongo Semarang
Simak juga 'Ganjar Soroti Pentingnya Layanan Kesehatan Mental di Kampus dan Puskesmas':
(mmu/mmu)