Rutinitas dan Kekhawatiran yang Menari di Kepala
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Rutinitas dan Kekhawatiran yang Menari di Kepala

Jumat, 29 Sep 2023 10:00 WIB
Minhajuddin
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Tanggal merah biasa digunakan untuk berlibur atau sekedar beristirahat dari rutinitas sehari-hari. Lalu, kapan libur bulan Mei 2023? Cek tanggal-tanggalnya!
Ilustrasi: dok. detikcom/thinkstock
Jakarta -

Senin menjadi hari yang begitu menyebalkan bagi sebagian kaum pekerja. Mereka menganggap bahwa mengawali Senin layaknya memulai sebuah pertarungan panjang untuk mencapai weekend. Berbagai keluhan seringkali terdengar dari mulut para karyawan yang harus memulai hari Senin dengan berat hati ketika mengingat betapa tugas kantor sudah menumpuk sementara mereka masih ingin liburan.

Mereka juga tidak berani untuk bolos kerja apalagi memutuskan untuk resign karena menyadari bahwa cicilan di akhir bulan masih menumpuk dan tersisa puluhan tahun lagi. Terpaksa harus tetap dijalani dengan jalan yang gontai, berangkat pada Senin pagi dan berharap agar Jumat segera tiba.

Beberapa hari yang lalu, saya cukup kaget ketika kalimat keluhan yang seharusnya diucapkan oleh saya, ternyata keluar dari mulut anak saya yang notabene baru masuk Kelas 1 Sekolah Dasar dan baru aktif belajar sekitar dua setengah bulan lalu.

"Aduh, besok Senin lagi!"

Dia tiba-tiba mengucapkan kalimat tersebut selepas magrib tanpa ada penyebab yang jelas. Dia mengeluhkan Senin sebagai hari ketika harus mulai lagi sekolah setelah dua hari menghabiskan waktu di rumah sambil main game.

Sependek ingatan saya, tidak sekalipun saya memaksanya untuk belajar atau mewajibkan untuk memahami pelajarannya dengan sangat keras selain hanya mengimbau untuk membaca selepas magrib. Saya pun bahkan membebaskannya untuk bermain sepuasnya termasuk main game online.

Pada saat momen ketika memilih sekolah, saya memberikan kebebasan kepadanya untuk memilih sekolah yang dia sukai. Dia lulus di dua sekolah yaitu sekolah negeri dan sekolah madrasah. Sebelum memutuskan untuk mendaftar ulang, saya mengajaknya melihat kedua sekolah tersebut kemudian menyerahkan keputusan kepadanya yang mana sekolah yang akan dipilih.

Di lain kesempatan, ketika hendak berangkat ke sekolah dengan wajah memelas, saya selalu menawarkan pilihan untuk izin dan tidak perlu masuk sekolah tetapi selalu ditolak. Dia tetap berangkat ke sekolah dengan hati yang berat.

Hal tersebut yang kemudian membuat saya berpikir, apa yang membuatnya mulai membenci Senin sebagai awal masuk sekolah sementara saya tidak pernah memaksanya dalam banyak hal? Senin menjadi momok bagi orang-orang yang sedang tidak menikmati apa yang sedang dijalaninya.

Saya pun bertanya apakah di sekolah terlalu banyak tugas atau tuntutan untuk memahami pelajaran? Jawabannya juga tidak. Tugas-tugas yang harus diselesaikan masih standar dan tidak ada yang memberatkan atau bahkan kewajiban-kewajiban yang mungkin tidak sanggup dia penuhi.

Saya kira, dia membayangkan betapa mengerikannya hari-hari yang akan dia lalui selama minimal 12 tahun ke depan dengan seragam sekolah. Berangkat pagi dan pulang sore hari. Dia harus tetap berada di sekolah dalam ruang terbatas sementara mungkin dia tidak menemukan kesenangan di dalamnya.

Ruang-Ruang Tertutup

Pendidikan semakin dibonsai dalam ruang-ruang tertutup yang bernama sekolah. Manusia menjadi sangat terbatas karena dipagari oleh aturan-aturan sekolah yang menjadikan pikiran mereka mandek. Regulasi yang harus ditaati seringkali menjadi senjata pamungkas bagi para kelompok kepentingan di sistem pendidikan untuk membungkam ide-ide liar manusia di dalamnya.

Pendidikan yang diinstitusionalkan dalam konsep sekolah, saat ini sudah sangat jauh dari nilai-nilai pendidikan yang seharusnya membebaskan manusia dari kejumudan. Alih-alih untuk membebaskan manusia, sekolah seringkali mengajarkan banyak hal yang mendegradasi nilai-nilai kemanusiaan. Sekolah mengajarkan kekhawatiran masa depan, mengajarkan kompetisi dengan kawan sendiri, dan berbagai hal yang kontraproduktif terhadap perkembangan manusia.

Mungkin ini yang menjadi dasar bagi sebagian orang yang memilih untuk menciptakan pendidikan sendiri seperti sekolah alam atau sekolah dalam bentuk yang tidak baku, termasuk juga homeschooling. Persoalannya, sekolah semacam itu tidak bisa diakses secara luas oleh semua kalangan karena biayanya yang sangat mahal.

Atau, jangan-jangan mereka tidak sedang membangun sekolah alternatif untuk memerdekakan manusia, tetapi lebih pada branding sekolah anti-mainstream yang pada akhirnya juga demi tujuan untuk mengeruk keuntungan. Entahlah

Masa depan pendidikan sudah mendapat perhatian yang meluas bagi para ahli dengan berbagai kritikan untuk perbaikan sistem pendidikan. Paulo Freire, Ivan Illich, Neil Postman, dan beberapa pemikir menulis buku yang khusus untuk memotret bias yang terjadi dalam sistem pendidikan modern.

Bahkan Neil Postman dalam bukunya yang berjudul Matinya Pendidikan, Redefinisi Nilai-Nilai Sekolah mengajukan pertanyaan yang sangat mendasar tentang sekolah: Apa sebenarnya tujuan dan manfaat pendidikan di sekolah? Pertanyaan ini diajukan oleh Postman dalam rangga menyadarkan manusia bahwa mereka terlalu takut untuk memulai bertanya dengan kata kunci "mengapa." Manusia lebih sering bertanya dengan kata "bagaimana."

Kedangkalan pertanyaan sebagaimana di atas yang pada akhirnya melanggengkan institusi sekolah dengan berbagai celah yang ada di dalamnya karena manusia telanjur mempercayai sekolah sebagai "tuhan" yang baru. Konsep ketuhanan yang diharamkan untuk dipertanyakan keberadaannya.

Potret pendidikan sekarang semakin mencemaskan ketika sekolah dan kampus bukan lagi sebuah institusi untuk mendidik manusia, tetapi bentuk lain dari korporasi pendidikan untuk memperoleh target keuntungan.

Kondisi pendidikan semakin diperparah oleh kebijakan pemerintah yang belum menjadikan pendidikan sebagai hal yang penting. Pertumbuhan ekonomi menjadi tuhan baru bagi pemerintah, alih-alih untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Mudah Bosan

Manusia adalah makhluk yang mudah bosan apalagi hal-hal yang bersifat rutinitas. Di usia belia, manusia ingin mencoba sebanyak mungkin pengalaman-pengalaman hidup yang membuat rasa penasaran mereka muncul. Itulah kenapa, anak-anak mudah sekali bosan termasuk dalam hal permainan dan olahraga.

Manusia memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap kehidupan dan segala perangkatnya. Alam disimbolkan sebagai sebuah tanda yang menyimpan beribu misteri. Manusia sebagai makhluk yang berpikir, secara naluriah ingin mengetahui apa hakikat dari hidup ini. Jika pada akhirnya mereka menjalani rutinitas hidup dan mengabaikan pertanyaan mendasar, maka tidak lebih karena konstruksi sosial yang membentuk kerangka berpikir manusia.

Misalnya konsep bekerja. Praktis sejak dimulainya revolusi industri dan sistem kapitalisme yang semakin mewarnai kehidupan manusia, terjadi simplifikasi terhadap apa yang dimaksud bekerja. Manusia menganggap meyakini bahwa yang dinamakan bekerja itu semacam rutinitas masuk jam 8 pagi dan pulang jam 5 sore. Sesekali pulang larut malam agar mendapat tambahan uang lembur.

Di negeri ini lebih parah lagi. Sebagian masyarakat yang masih terpengaruh warisan kolonial menganggap bahwa yang dinamakan bekerja hanya pegawai negeri. Itulah penyebabnya sebagian besar generasi muda di negeri ini memiliki cita-cita universal, "menjadi PNS."

Bertani merupakan salah satu aktivitas yang sering tidak dianggap sebagai profesi. Bahkan menjadi seorang petani tidak lebih dari pilihan terakhir jika semua profesi lain sudah dicoba tetapi gagal. Padahal bertani adalah aktivitas yang menghasilkan kebutuhan pokok bagi semua orang.

Jika seluruh petani mogok bekerja, maka bisa dipastikan bahwa kehidupan ini akan berhenti berputar sementara jika para pegawai yang mogok maka kehidupan ini akan baik-baik saja. Pemahaman seperti ini yang sering diabaikan oleh sebagian manusia. Mereka tidak pernah berusaha untuk memahami dirinya sehingga ikut dalam kerumunan.

Begitu banyak hal yang kita jalani saat ini merupakan konstruksi sosial. Bekerja di kantor dan sekolah formal adalah dua hal mendasar yang tidak lain difabrikasi oleh sistem yang mungkin saja tidak sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk yang dinamis. Bahkan pada titik tertentu, semakin menjauhkan manusia dari dirinya.

Kerap kita tetap berangkat sekolah karena khawatir dianggap bodoh atau takut jika di masa depan tidak mendapatkan pekerjaan sebagai karyawan. Kita melupakan tujuan awal sekolah sebagai sebuah proses untuk belajar banyak hal. Hasrat untuk belajar hanya ditujukan sebagai modal untuk lulus ujian. Demikian halnya dengan konsep bekerja yang kita kenal sekarang. Konsep bekerja yang sudah sangat jauh dari apa itu kerja dan apa fungsinya untuk kehidupan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Orang-orang di kampung yang bekerja di ladang maupun sawah lebih mampu memaknai bekerja yang memanusiakan. Mereka bekerja di ladang tanpa harus terjadwal mulai jam berapa. Ketika lelah, mereka tidak butuh izin dari bos untuk istirahat. Demikian pula ketika mereka sakit atau ada halangan yang tidak memungkinkan untuk berangkat ke ladang, mereka tidak harus menulis surat cuti dan mengajukan ke pimpinan kemudian menunggu persetujuan. Mereka bisa kapan saja istirahat jika capek.

Bayangkan ketika menjadi seorang karyawan. Saat sakit, kita tetap harus minta surat keterangan dokter dan dijadikan bukti kepada pimpinan. Ketika sedang lelah tetapi kuota cuti sudah habis, kita tetap harus berangkat ke kantor jika tidak mau gaji bulanan dipotong. Waktu bekerja ditentukan secara detail dan tidak boleh terlambat semenit pun. Konsekuensinya jelas, potong gaji atau pada level tertentu, akan diberikan surat peringatan.

Manusia semakin mengabaikan dirinya dan menjalani rutinitas atas banyaknya kekhawatiran yang menari-nari di kepala. Begitulah, manusia terkekang rutinitas yang membuat mereka jumud menjalani hidup karena tidak mengenai diri dan tidak berusaha untuk kembali ke diri mereka. Tampilan artifisial lebih dipentingkan daripada memaknai dirinya sebagai seorang manusia.

Minhajuddin dosen UNISA Bandung

ADVERTISEMENT

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads