Perdebatan proyek food estate atau lumbung pangan nasional yang terpusat kembali mengemuka. Pergolakan ini sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Pada era Presiden Soeharto, program serupa dinamakan rice estate. Kemudian dihidupkan kembali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan kini digaungkan kembali Presiden Joko Widodo di periode kedua. Food estate kali ini ditandai dengan pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo dalam sidang tahunan MPR, 14 Agustus 2020.
Presiden mengatakan dalam menangkal krisis pangan akibat pandemi dan berbagai tantangan global, pemerintah merencanakan food estate atau proyek memproduksi pangan skala luas yang dilakukan oleh negara dengan bantuan korporasi. Food estate sendiri merupakan proyek jangka menengah dan panjang yang dicoba di Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Sumatera Utara dengan luas total mencapai 195 ribu hektar. Kemudian konsep menyebar ke berbagai provinsi yang lain.
Berdasarkan paparan Kementerian Pertanian, food estate setidaknya dijalankan dalam delapan alur. Pertama, dimulai dari konsolidasi petani dalam kelompok tani/gabungan kelompok tani. Kedua, memfasilitasi sarana dan prasarana, serta pendukung lainnya. Ketiga, penyiapan infrastruktur tata air. Keempat, menempatkan petani sebagai anggota koperasi yang mengusahakan budidaya pertanian.
Selanjutnya yang kelima, koperasi bersama Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Desa (BUMdes) membentuk Perseroan Terbatas (PT) untuk mengelola Korporasi Petani. Keenam, bisnis Rice Milling Unit (RMU) desa terkonsolidasi dalam Korporasi Petani. Ketujuh, swasta sebagai mitra strategis bagi korporasi petani. Lalu yang kedelapan, korporasi petani memasarkan produk hasil pertanian.
Rantai panjang tersebut membuat food estate jelas-jelas bukan ah solusi cepat dan tepat dalam mengatasi permasalahan pangan yang ada di depan mata. Latar ini juga mengacu pada beberapa temuan di lokasi.
Kegagalan yang Berulang
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Food estate di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara menunjukkan bahwa petani bukanlah aktor utama. Pemerintah justru membuka lebar keikutsertaan korporasi dan perusahaan agribisnis, mulai dari persiapan produksi (penyediaan benih dan pupuk), pendampingan selama proses produksi, sampai off-taker hasil panen. Kasus ini ditemui pada 2021 dalam penelitian Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di Desa Ria-Ria. Di mana untuk Musim Tanam II skema kontrak dan kerja sama antara perusahaan dengan petani sudah terjadi.
Keterlibatan korporasi dan perusahaan tentu menggunakan logika bisnis alias keuntungan. Kemudahan dan keleluasaan bagi perusahaan dalam skema kontrak dan kerja sama dalam proyek food estate akan mengubah karakter pertanian dan pangan Indonesia dari peasant based and family farming menjadi corporate based food dan agriculture production.
Proyek food estate sebagai program strategis nasional juga mencederai hak petani untuk menentukan sistem pangan yang akan dipilih dan keterlibatan dalam kebijakan pertanian/pangan. Semisal di Kabupaten Humbang Hasundutan yang telah memprioritaskan tiga jenis komoditas yakni bawang merah, bawang putih, dan kentang. Pada Musim Tanam I terjadi kegagalan panen karena antara lain disebabkan oleh kondisi tanah yang belum ideal dan jenis tanaman yang belum sepenuhnya dikuasai oleh petani.
Penting juga menyoroti soal skema kerja sama dalam food estate, antara petani pemilik tanah dengan perusahaan yang memosisikan petani sebagai mitra kerja atau "buruh". Persoalan terkait hak atas tanah bagi petani tentu harus menjadi perhatian utama, mengingat masalah inti pertanian di Indonesia yakni kepemilikan tanah yang rendah dan struktur agraria yang timpang. Hal ini sebagaimana yang ditemukan di Desa Parsingguran II Kabupaten Humbang Hasundutan, proyek food estate yang akan dibangun mendapat penolakan dari masyarakat. Masyarakat mengklaim belum ada penyelesaian terkait hak atas tanah yang kini masuk dalam kawasan hutan dan akan diperuntukkan sebagai lokasi food estate.
Potensi konflik lainnya yang sangat mungkin terjadi adalah terkait monopoli harga. Jika pemerintah tidak mampu mengontrol distribusi produksi hasil dari food estate, maka para pemodal praktis yang akan menjadi penentu harga secara tunggal. Hal ini rentan menimbulkan praktik manipulasi terkait penentuan harga pasar. Apakah berbasis harga jual di dalam negeri, ataukah dipengaruhi ekspor komoditas. Kedua pilihan itu disesuaikan dengan selera yang menguntungkan bagi pemodal.
Kembali ke Keluarga Petani
Pemerintah seharusnya mengkaji lebih dalam penyebab kegagalan proyek-proyek food estate sebelumnya di Ketapang, MIFEE Papua, dan Bulungan. Kajian ini penting untuk menguji sejauh mana proyek-proyek food estate di masa lampau bisa menjawab permasalahan pangan di Indonesia. Food estate yang kini digagas tersorot sebab bagai mengulang kegagalan yang sama.
Apalagi secara praktik food estate tidak banyak berubah, sehingga bentuk masalah yang dihadapi masih sama. Mulai dari perumusan kebijakan yang bersifat top-down, problem ketenagakerjaan, mekanisasi pertanian yang tidak tepat, dan pola 'kemitraan' korporasi-petani yang tidak ideal. Kemudian pola jangka waktu yang singkat, sampai jenis tanaman yang belum dikuasai petani, dan ada perbedaan praktik pertanian yang dilakukan masyarakat lokal.
Berdasarkan itu, food estate sesungguhnya menjauhkan kebijakan pangan di Indonesia dari prinsip-prinsip kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan akan semakin memudar ketika orientasi pemerintah hanya terbatas pada peningkatan produksi dan komoditas tertentu. Risiko ketergantungan petani terhadap perusahaan atau korporasi juga tinggi, mulai dari benih, pestisida, pupuk, distribusi hingga harga.
Sehingga polemik yang hendak diangkat bukanlah siapa yang diuntungkan dan bagaimana food estate dijalankan. Melainkan kesadaran bersama sebagai bangsa untuk menghentikan proyek yang secara nyata telah gagal berkali-kali dan tidak memihak kepada petani kecil. Kembali ah percaya kepada keluarga petani yang telah terbukti sanggup memproduksi pangan untuk sebagian besar penduduk dunia, sebagaimana FAO yang mempercayainya dengan menetapkan 2019 - 2028 sebagai Dekade Pertanian Keluarga.
Angga Hermanda Ketua Exco Pusat Partai Buruh Bidang Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan