Mewaspadai Wabah Informasi Kepemiluan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Mewaspadai Wabah Informasi Kepemiluan

Senin, 25 Sep 2023 14:30 WIB
AGUS SUTISNA
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Komisioner KPU Banten Agus Sutisna
Agus Sutisna (Foto: Bahtiar Rivai/detikcom)
Jakarta -

Mendekati tahapan-tahapan pemilu yang makin krusial, ruang digital semakin disesaki oleh konten-konten informasi dan pemberitaan. Dilihat dari sisi hak publik dan kebutuhan terhadap informasi kepemiluan, situasi ini tentu saja baik. Sayangnya, di antara limpahan berita yang mengarus deras ini, tren peningkatan jumlah konten-konten hoax dan fake news juga terjadi. Kabar bohong dan berita palsu ini menyeruak di antara informasi-informasi kredibel dan akurat seputar kepemiluan.

Pada Kuartal I - 2023 ini misalnya, Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat, telah beredar sebanyak 664 hoax di ruang digital kita. Sebanyak 233 konten atau sekitar 35% di antaranya adalah hoax bermuatan isu-isu politik termasuk pemilu di dalamnya. Data ini diungkapkan seorang peneliti Linda Salma pada Mei 2023 dalam sebuah webinar di Jakarta (antaranews.com, 3/5).

Rilis Mafindo di atas mengisyaratkan bahwa peredaran fake news atau hoax yang berisi fitnah, adu domba, hate speech, kampanye hitam, dan serangan terhadap tokoh atau institusi tampaknya akan kembali marak menyertai perhelatan Pemilu 2024 seperti yang terjadi pada Pemilu 2019 silam. Isyarat ini tentu mengkhawatirkan dan karenanya patut menjadi perhatian semua pihak untuk mengantisipasinya dengan sigap dan sedini mungkin.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada Pemilu 2019 silam, peredaran konten-konten hoax berlangsung masif melalui berbagai platform media di ruang digital kita. Sialnya, konten-konten hoax atau fake news itu bertebaran, menyeruak di antara berita/informasi yang sahih dan valid yang juga mengarus deras saban waktu. Akibatnya untuk membedakan mana berita valid dan mana yang hoax seringkali menjadi tidak mudah. Para ahli menyebut fenomena melimpahnya berita/informasi ini sebagai infodemi (pandemi atau wabah informasi).

Pandemi Informasi

Konsep infodemi diperkenalkan oleh World Health Organization (WHO) dan menjadi populer sejak wabah Covid-19 melanda dunia. Secara harfiah infodemi (infodemic) diambil dari kata information dan pandemic, yang jika disanding dan dialihfrasakan ke dalam bahasa Indonesia kurah lebih menjadi "pandemi informasi". WHO kemudian memaknainya sebagai terlalu banyaknya informasi yang beredar, termasuk informasi yang salah dan menyesatkan baik secara fisik maupun digital selama masa pandemi Covid-19 (WHO, 2022).

ADVERTISEMENT

Dalam Jurnal Balairung (2020), Hermin Indah Wahyuni menjelaskan bahwa infodemi merupakan fenomena saat informasi justru menjadi tak ubahnya pandemi karena kondisi-kondisi tertentu yang kurang ideal, di antaranya jumlah informasi yang berlimpah (overload of information) menyebar secara cepat walaupun tidak jelas akurasi dan ketepatannya.

Fenomena tersebut biasanya muncul pada situasi-situasi yang penuh ketidakpastian, salah satunya ketika pandemi. Biasanya di dalam kondisi-kondisi yang tidak pasti itu overload of information diiringi dengan kondisi equivocality atau kondisi ketika semua informasi seolah memiliki kebenaran yang sama (equal). Luapan informasi dan dominasi media baru membuat kebenaran suatu informasi sulit dipastikan.

Pandemi atau wabah informasi sebagaimana dijelaskan di atas sesungguhnya juga telah dan secara hipotetik potensial akan terus berlangsung menyertai perhelatan elektoral. Yakni, suatu fenomena di mana informasi-informasi seputar kepemiluan mengarus deras dan melimpah (overload of information) di ruang publik dengan tingkat akurasi yang rendah. Dalam konteks ini berita bohong (hoax), berita palsu (fake news), kampanye hitam (black campaign), bahkan juga ujaran kebencian (hate speech) dan fitnah memperoleh ruang artikulasinya.

Perlu Kewaspadaan

Gejala infodemi atau pandemi informasi elektoral menjelang Pemilu 2024 ini penting diwaspadai oleh para pihak yang terlibat dalam perhelatan pemilu (peserta, pemilih, penyelenggara, dan pemerintah termasuk aparatur penegak hukum) karena beberapa argumen berikut.

Pertama, limpahan informasi kepemiluan dengan tingkat akurasi yang rendah dengan mudah dapat mendistorsi berita dan informasi yang benar dan valid atau mengaburkan fokus yang seharusnya menjadi rujukan masyarakat dalam mengambil sikap, tindakan serta perilaku terkait perhelatan pemilu.

Kedua, berdasarkan pengalaman Pemilu 2019 silam tebaran hoax yang secara massif menyertai limpahan informasi elektoral di tengah publik yang tingkat literasi digitalnya masih rendah dengan mudah memicu terjadinya pertengkaran sosial dan pembelahan (polarisasi) berbasis afiliasi dan preferensi politik dalam masyarakat. Maka, alih-alih menjadi pesta demokrasi yang menggembirakan, pemilu berlangsung dalam situasi mencekam dan mencemaskan.

Ketiga, fake news dan hoax yang menyertai limpahan informasi kepemiluan seperti terjadi pada Pemilu 2019 silam mengandung muatan-muatan fitnah, ujaran kebencian, serangan terhadap lawan politik dan adu domba yang membahayakan tertib sosial dan tatanan harmoni kehidupan masyarakat, bahkan dapat memicu terjadinya disintegrasi negara-bangsa.

Akan lebih berbahaya lagi ketika infodemi elektoral ditingkahi pula dengan muatan atau konten-konten politisasi identitas oleh para kontestan dan diikuti secara massif oleh masing-masing kubu, baik yang berbasis agama, etnik maupun aspek-aspek primordialis lainnya. Dan, menjadi "sempurna" daya rusaknya ketika infodemi elektoral serupa ini dikapitalisasi oleh para buzzer bayaran yang hanya peduli keuntungan pribadi dan kelompok yang dibelanya ketimbang keberhasilan pelaksanaan hajat demokrasi.

Pemilu 2019 telah lebih dari cukup memberikan contoh betapa berbahayanya membiarkan politik identitas digunakan sebagai instrumen pemenangan kontestasi elektoral. Polarisasi masyarakat terjadi di mana-mana, di berbagai ranah dan entitas, bahkan dalam skala yang sangat kecil, yakni keluarga dan pertemanan.

Agus Sutisna dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Tangerang, founder Yayasan Podiumm Pesantren Nurul Madany Lebak

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads