Kebijakan dan Pengelolaan Kepentingan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Kebijakan dan Pengelolaan Kepentingan

Jumat, 22 Sep 2023 14:00 WIB
A. Muh. Agil Mahasin
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
tentang hukum dan keadilan
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Beberapa waktu lalu, musyawarah RT di lingkungan kami berlangsung dengan tegang. Tensi forum yang awalnya hangat mendadak berubah menjadi panas. Aktornya tidak banyak, hanya melibatkan dua tokoh lingkungan, yang memang sudah aktif sedari awal rapat. Hanya saja untuk topik satu ini mereka berbeda. Dan, tak terelakkan menghadirkan debat panas.

Sebetulnya sederhana isu yang dibahas; apakah portal jalan (lingkungan) akan dibuka atau tetap ditutup. Meski sederhana, tak disangka substansinya lumayan pelik. Konteksnya begini, dulu ketika pandemi merebak, banyak RT memutuskan untuk menutup akses jalan masuk ke lingkungan. Alasannya tentu bisa dipahami, yakni untuk memutus rantai penyebaran pandemi dengan membatasi akses pergerakan manusia.

Seiring berjalannya waktu, benefit lain ternyata muncul. Ditutupnya akses/portal tersebut membuat kasus kejadian curanmor menurun drastis. Ini efek yang tidak diduga dan membuat sebagian orang di lingkungan merasa cukup nyaman dengan kondisi quo. Karena itu, sampai hari ini portal dibiarkan tetap tertutup dan hanya warga sekitaran saja yang memperoleh kunci untuk bisa mendapatkan akses masuk melalui portal tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun ada dampak yang terjadi. Penutupan akses jalan menyebabkan penumpukan di jalur akses yang lain. Ini dikeluhkan oleh pihak warga lainnya, sebab penutupan portal menambah rumit jalur lalu lintas yang harus mereka tempuh. Celakanya, akses lain dimaksud merupakan jalan yang lumayan sempit dan tidak bisa dilalui dengan nyaman apabila dua mobil papasan bertemu.

Begitulah mereka berujung pada polemik. Satu pihak menginginkan kondisi quo karena aspek keamanan menjadi dominan, sementara pihak lain menginginkan fungsi jalan dikembalikan pada asalnya demi kenyamanan bersama. Dari situ situasinya menjadi cukup pelik. Sampai akhir forum, Ketua RT belum bisa mengajukan solusi yang ideal untuk mengakomodasi keinginan para pihak.

Tetapi, bukan solusi yang akan menjadi sudut cerita yang akan kita bahas di sini. Konflik kepentingannya yang justru menarik kita ulas. Sebab, situasi seperti itu jugalah yang terjadi ketika kebijakan dikelola oleh pemerintah.

Fitrah Regulasi

ADVERTISEMENT

Saya begitu menyukai diksi yang digunakan oleh Menteri Kesehatan ketika merespons kontroversi Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan (RUU Kesehatan) tempo hari. Apa yang dikatakannya? Begini, seperti dikutip oleh detikcom: Sampaikanlah dengan cara yang sehat, saya sendiri terbuka anytime, kalau mau ada yang datang menghadap, menyampaikan masukan, nggak akan menutup itu, WA akan saya balas, tapi kita juga mesti sadar kalau kita belum tentu selalu sama.

Iya, kalimat ini muncul sebagai respons Menteri Kesehatan ketika berbagai organisasi profesi di bidang kesehatan mengancam akan mogok kerja terkait dengan pengesahan RUU Kesehatan. Sebagai penggagas utama kebijakan tersebut, ia hadir menjelaskan substansi dari kebijakan tersebut. Menariknya, respons yang dilakukan oleh Menteri Kesehatan secara langsung mengungkap fitrah dasar sebuah regulasi. Ya, regulasi adalah sebuah pilihan kebijakan.

Harus diakui, urusan memerintah manusia itu merupakan sesuatu yang sangat complicated. Jika kita kerucutkan hal tersebut dalam urusan regulasi, maka instrumen itulah yang mewakili betapa rumitnya mengurus kepentingan manusia. Faktanya, dalam mengorganisasi suatu regulasi, kesulitan tertingginya tidak terletak pada aspek teknis keilmuan hukum atau proses drafting, tetapi mengelola berbagai sudut kepentingan menjadi sebuah kebijaksanaan yang berlaku secara umum.

Secara teknis, penormaan sebuah aturan hukum selalu melihat dua dimensi. Aspek pertama ialah kebutuhan hukum (urgensi) dan aspek lainnya kepentingan hukum (politik hukum). Aspek kebutuhan hukum, bicara tentang sebuah kondisi tertentu yang memerlukan intervensi hukum. Sedangkan aspek politik hukum akan bicara mengenai pilihan-pilihan kebijakan yang akan ditentukan sebagai bentuk intervensi hukumnya.

Nah, yang dinamis dalam prosesnya ialah aspek politik hukum. Di sinilah secara dialektis akan dipercakapkan berbagai pilihan-pilihan yang secara logis, realistis, dan terukur dapat diterapkan sebagai sebuah kebijakan. Sebagai pembentuk kebijakan, perlu dipertimbangkan secara strategis politik hukum sebuah aturan yang akan diterapkan, bagaimana jangkauan pengaturannya, impact yang akan dihasilkan, serta risiko yang mungkin akan dihasilkan terhadap kebijakan dimaksud.

Area inilah juga yang secara matematis akan memperhitungkan berbagai kepentingan yang terdampak. Bagaimana di satu sisi kebijakan mampu mengakomodasi manfaat yang besar sebagai sasaran sebuah kebijakan dan bagaimana di sisi lain pembentuk dapat menjelaskan mengapa kepentingan tertentu tak dapat diakomodasi dalam pemberlakuan sebuah kebijakan. Itu konsekuensi pilihan kebijakan.

Dua Kutub

Sejujurnya regulasi yang diwarnai kontroversi itu merupakan hal yang wajar. Pernah membaca pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap Uji Materiil UU Cipta Kerja? Di sana bisa kita simak dengan saksama bagaimana hakim melihat dua kutub kepentingan yang perlu dipertimbangkan. Di satu sisi terdapat kepentingan hukum yang luar biasa besar untuk melakukan omnibus law mempertimbangkan berbagai gejolak yang terjadi di dunia sementara. Di sisi lain pemerintah juga perlu memperhatikan dimensi pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik agar undang-undang yang dihasilkan mendapatkan legitimasi dari masyarakat.

Dialektika yuridis semacam itu sebetulnya berharga mengingat kita hidup di sebuah negara yang mengaku demokratis. Masyarakat saat ini sudah diberikan ruang yang begitu luas untuk menjalankan berbagai fungsi controlling kebijakan, dengan akses untuk dapat menguji berbagai regulasi yang sudah dihasilkan oleh pemerintah. Karena betapapun idealnya, sebuah produk hukum tidak lebih merupakan pilihan-pilihan kebijakan yang perlu diuji keabsahannya.

Terakhir, ada satu teori mapan yang diusung oleh salah satu filsuf hukum besar dari Inggris, Jeremy Bentham. Ia membawakan kepada kita, teori utilitarianisme hukum, yang poros terbesar argumennya ialah menjadikan aspek kebahagiaan (the greatest happiness for the greatest number) sebagai tolok ukur kebijakan hukum yang baik. Hukum yang dipahami Bentham adalah hukum yang memiliki konsekuensi positif atas masyarakatnya.

Ya, di hari itu mungkin Bentham hanya melihat bahwa kekuasaanlah (secara tunggal) yang mampu menghadirkan kebahagiaan untuk rakyatnya melalui legislasi kebijakannya. Yang ia tak tahu, hari ini masyarakat sudah beranjak jauh lebih jauh, dengan mengusahakan kebahagiaannya sendiri melalui fungsi kontrolnya terhadap kebijakan pemerintah.

Agil Mahasin Legal Drafter

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads