Cara Mencintai Jogja
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Cara Mencintai Jogja

Kamis, 21 Sep 2023 15:10 WIB
Surya Al Bahar
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Beragam pilihan wisata terdekat yang berada di sekitar kawasan Malioboro Yogyakarta
Jalan Malioboro yang legendaris di Jogja (Foto: Getty Images/Adennysyahputra)
Jakarta -

Setiap akan pergi ke Jogja, entah kenapa dalam hati selalu merasa sangat gembira. Sejak kecil, sebagai anak kampung, pergi ke luar kota adalah pengalaman yang cukup berkesan. Terutama Jogja. Sebelum bisa ke sana, saya hanya bisa membayangkan seperti apa itu Jogja. Pengetahuan tentang Jogja, saya dapat hanya dari cerita-cerita. Membayangkannya sambil melihat gambar atau video tentang Jogja.

Itu cara paling sederhana yang bisa saya lakukan. Apalagi ditambah dengan sebutan Daerah Istimewa. Satu-satunya daerah yang dipimpin oleh Sultan atau Raja. Itu membuat saya semakin penasaran, seperti apa itu Jogja. Dari penasaran itulah, imajinasi saya menguat. Sedangkan ketika imajinasi menguat, di dalam diri seperti ada dorongan agar sesegera mungkin pergi ke sana.

Semula saya kira Jogja hanya sebatas kota wisata semata, ternyata lebih dari itu. Selain kota wisata, Jogja juga merupakan tonggak awal dalam kancah pergerakan kebudayaan. Banyak gagasan-gagasan kebudayaan yang dimulai dari sana. Tentu gagasan itu ada sosok yang membawanya, dan tokoh-tokoh tersebut banyak memulainya dari sana, di samping Kota Jakarta yang tidak boleh kita kesampingkan kalau urusan semacam itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagai orang luar yang datang ke Jogja sehari-dua, pantas saja kalau saya memujinya. Bukan hanya Jogja. Ketemu orang pun sama. Jika ketemu sehari-dua, tentu kesan pertamanya bagus. Lain cerita bila ketemu setiap hari. Begitu juga dengan penduduk asli sana, lama bermukim di sana, mungkin mereka mengetahui banyak sisi gelap yang tidak banyak diketahui orang luar. Sehingga kesan mereka berbeda.

Itu produk branding. Luarnya akan tampak bagus. Branding itu hanya menutupi saja. Bergantung seberapa pintar si tukang branding-nya. Hal seperti itu lumrah terjadi. Di setiap tempat pasti ada sisi gelap dan terang. Tinggal mau apa tidak mencarinya. Jika sudah mencari, mau apa tidak mempercayainya.

ADVERTISEMENT

Jakarta sebegitu besarnya saja tersimpan banyak sisi gelapnya, bahkan paling gelap di antara yang gelap. Dari situ muncullah Moammar Emka dengan Jakarta Undercover-nya. Kemudian merembet menjadi film. Muncul lagi novel Re: dan Perempuan karya Kang Maman. Novel yang menceritakan salah satu sisi gelap Jakarta dilihat dari sudut pandang perpelacuran lesbiannya.

Di Jogja pun sama, ada buku berjudul Jogja Bawah Tanah karya Agung Purwandon, dkk. Buku ini berupa tulisan feature yang mengulas Jogja dari yang sudah diketahui sampai yang tidak diketahui banyak orang. Kebanyakan berkisah tentang budaya dan masyarakat akar rumput yang berhubungan dengan masyarakat atas.

Istilahnya borjuis melawan kapitalis. Di mana-mana dua kelompok itu selalu berseberangan, karena saling menunjukkan identitasnya. Yang kecil tidak selamanya bisa dikecilkan. Sedangkan yang besar tidak selamanya bisa terus-terusan dibesarkan.

Bukan Seperti Jogja

Saya tidak begitu tahu tempat mana yang bisa diidentikkan dengan Jogja. Namun setiap datang ke sana, saya selalu berkunjung ke Malioboro. Di sana saya melihat Jogja seperti bukan Jogja. Saya tidak melihat Jogja sebagai kota dengan UMR rendah. Banyak toko-toko besar. Penginapan dengan berbagai macam pilihan. Sampai harga barang yang tidak bisa dibilang murah.

Seperti kata Arman Dani, Jogja diperuntukkan untuk orang luar. Memanjakan orang luar, sedang penduduk lokal dikesampingkan. Sekali lagi itu keberhasilan branding. Kebutuhannya untuk menarik orang luar agar datang ke Jogja. Orang lokal tak butuh itu. Setiap hari ia tahu bagaimana keadaan di sana.

Ketika Jogja diberitakan dengan permasalahan sampah, saya awalnya tidak begitu percaya. Sebab pandangan saya soal Jogja hanya berkutat pada tempat-tempat wisata dan tempat umum. Otomatis tempat itu bersih, karena dinikmati banyak orang.

Tetapi ketika saya datang ke Jogja naik kereta, turun di stasiun Lempuyangan, tidak jauh dari stasiun ternyata ada tempat sampah yang meluber sampai ke jalan. Pemandangan itu hal kecil dari permasalahan sampah yang sedang terjadi. Cuma, karena stasiun adalah sarana umum. Banyak wisatawan dari berbagai kota bahkan mancanegara datang dari sana, maka suguhan sampah tersebut terasa sangat tidak etis jika dilihat.

Sebagai kota wisata dan Kota Pelajar, banyak kampus kredibel yang melahirkan orang-orang besar, maka seeloknya Jogja tidak masuk dalam kota dengan UMR terendah. Itu sama sekali tidak merepresentasikan jargon-jargon yang selama ini melekat pada kotanya.

Di sisi lain sebagai kota pelajar, kota berpendidikan, kotanya orang-orang pintar. Kotanya para akademisi, peneliti, intelektual, dan ilmuwan, tetapi sisi gelapnya banyak tawuran pelajar yang berimbas pada munculnya fenomena klitih. Jika melihat sejarahnya, klitih bermula dari permusuhan para pelajar antar sekolah. Target sasarannya para pelajar, tetapi sekarang tambah meluas. Korbannya sampai ke masyarakat umum. Kalau seperti itu, namanya bukan lagi klitih, tapi begal.

Mengimajinasikan Jogja

Di samping banyak masalah yang menerpa Jogja, nyatanya masih banyak orang mencinta Jogja tanpa alasan. Memang begitu, kadang cinta tak butuh alasan. Banyak pula orang cinta Jogja hanya dengan alasan sederhana. Tidak muluk-muluk. Kadang mereka berkali-kali datang ke Jogja hanya ingin membayar rasa kangennya. Berkali-kali tour ke Jogja hanya ingin mengulang kembali sejarahnya.

Di Malioboro, imajinasi saya bermain dari sebelum sampai waktu tiba di sana. Imajinasi saya terbentuk karena saya pernah mendapat cerita bahwa dulu di sana pernah ada Presiden Maliobro, Umbu Landu Paranggi. Guru bagi para muridnya yang belajar sastra dan kehidupan. Mereka bersama-sama belajar di sepanjang jalan itu.

Di antaranya ada Emha Ainun Najib, Iman Budi Sentosa, Mustofa W Hasyim, Linus, Toto Rahardjo, dan lain sebagainya. Mereka tergabung dalam komunitas Persada Studi Klub (PSK). Sekian di antara mereka, hampir semuanya bisa dikatakan berhasil, karena di dalam dunia kepenulisan, terutama sastra, karya-karya mereka sangat diperhitungkan. Terutama Cak Nun (sebutan untuk Emha Ainun Najib) dengan jamaah Maiyahnya dan Toto Raharjo dengan Sanggar Anak Alamnya.

Yang menarik lagi, Umbu kalau mengajari mereka menulis puisi, mereka disuruh berjalan jauh bersama-sama. Secara teknik kepenulisan, teknik seperti itu memang jarang diajarkan. Tetapi dalam kenyataannya, berjalan memang salah satu sarana untuk menggali inspirasi. Banyak ide-ide muncul saat berjalan.

Coba saja berjalan. Tak usah banyak bicara. Fokus saja jalan. Nanti bakal ada ide muncul tiba-tiba. Karena tidak banyak yang tahu, sebenarnya berjalan adalah lelaku. Di dalam perjalanan ada momen untuk merenung dan berpikir. Makanya, bagi para ahli lelaku, berjalan menjadi salah satu medianya.

Setiba di sana, sambil duduk di kursi trotoar, menikmati kopi dan rokok, saya selalu membayangkan itu. Membayangkan mereka berkumpul bersama-sama di trotoar. Berdiskusi tentang sastra. Ngobrol tentang segala permasalahan yang ada. Merokok sambil minum kopi sama-sama.

Saya membayangkan itu. Membayangkan bagaimana keseruan mereka dengan jalan prosesnya. Ditambah lagi ketika Cak Nun dalam sesi Maiyahannya sering menceritakan kisah-kisah lucu tentang mereka. Itu menambah bahan imajinasi saya.

Pada beberapa hal, baik tempat, kejadian, atau momen, seringkali akan lebih indah jika hanya sekadar dibayangkan dan diimajinasikan. Tidak perlu sering-sering ke sana. Akan lebih baik jika cukup sekali-dua.

Adakalanya ketika kita semakin sering ke sana, malah membuat hati kita terluka. Kita akan banyak menemukan fakta-fakta yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Sebab, imajinasi itu biarkan lebih berkembang seindah yang kita pikirkan. Justru kenyataanlah yang seringkali merusak keindahan dalam imajinasi kita.

Ahmad Baharuddin Surya penulis dan pengajar di SMA Progresif Bumi Shalawat Sidoarjo


(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads