Belanja online melalui e-commerce sudah menjadi tren dan lifestyle di masyarakat. Bahkan, kini e-commerce seperti Shopee dan Lazada telah memiliki layanan cross border untuk ekspor dan impor barang antarnegara. Masyarakat bisa mengimpor barang dari luar negeri dengan memanfaatkan fasilitas cross border ini. Tentunya dengan harga yang lebih terjangkau bila dibandingkan dengan impor lewat jalur umum. Pun sebaliknya, UMKM bisa melakukan ekspor barang ke luar negeri dengan mudah.
Namun, cross border ini dikhawatirkan bisa menimbulkan terjadinya predatory pricing yaitu harga jual produk impor yang lebih murah dari harga produk dalam negeri sehingga berdampak pada matinya UMKM Tanah Air.
Menyikapi hal tersebut, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan sedang menyiapkan Revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 tahun 2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Elektronik yang salah satu isu strategisnya adalah larangan import barang via cross border untuk nilai di bawah US$ 100 atau sekitar Rp 1,5 juta.
Lantas, apakah revisi Permendag tersebut efektif memberikan perlindungan untuk UMKM dalam negeri?
Melindungi UMKM
Kebijakan larangan impor di bawah US$ 100 sejatinya memiliki tujuan untuk melindungi UMKM Tanah Air. Setidaknya, untuk barang-barang dengan nilai di bawah US$ 100 bisa diisi dengan produk dalam negeri. Tetapi, bila produk impor tersebut tidak tersedia di Tanah Air, hal ini akan meresahkan masyarakat yang sedang membutuhkan produk tersebut.
Belum lagi, produk impor yang dibutuhkan untuk bahan baku produksi UMKM dalam negeri. Apabila dilarang masuk via cross border, UMKM harus melakukan importasi lewat jalur umum yang membutuhkan modal relatif besar dan memberatkan UMKM dari sisi permodalan.
Konsekuensi dari revisi Permendag tersebut, pemerintah akan kehilangan pemasukan pajak dan bea masuk importvia transaksi cross border. Selama ini belanja masyarakat dari luar negeri melalui e-commerce diatur dalam PMK 199/2019. Masyarakat bisa melakukan impor barang dengan memanfaatkan fasilitas cross border yang disediakan oleh marketplace. Untuk belanja kiriman di bawah US$ 3 tidak dipungut bea masuk, hanya dikenakan PPN 11%.
Untuk nilai barang kiriman dengan nilai antara US$ 3 sampai dengan US$ 1.500 dikenakan bea masuk 7,5% dengan tarif flat. Adapun untuk nilai barang yang di atas US$ 1.500 dikenakan PPh, PPnBM (untuk item barang tertentu) dan PPN senilai 11%. Potensi pajak inilah yang akan hilang bila larangan tersebut diberlakukan.
Indonesia tidak sendirian mengenakan pajak importbarang melalui e-commerce. Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mencatat ada 26 negara (Australia, New Zealand, Norway, United Kingdom, dan 22 negara lain anggota Uni Eropa) sudah mengenakan PPN untuk barang impor melalui e-commerce. Mereka mengistilahkannya dengan small parcel, yaitu barang kiriman dengan nilai yang kecil melalu mekanisme importdari luar negeri via e-commerce marketplace dan vendor digital lainnya.
World Customs Organization (WCO) dalam WCO Study Reports on e-commerce (2017) menyampaikan inisiasi tentang pengenaan pajak spesifik untuk barang-barang yang diimpor melalui e-commerce (specific taxation for ecommerce imported goods). Hal ini bisa menjadi alternatif bagi Ppmerintah untuk melakukan kajian dan kebijakan pemajakan khusus untuk barang import lewat e-commerce. Misalnya dengan memberlakukan kenaikan tarif pajak atau bea masuknya. Tentunya dengan nilai prosentase yang memperhatikan asas level playing field dari perpapajakan itu sendiri.
Transformasi Digital UMKM
Revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tersebut juga akan mengatur tentang importasi barang di bawah US$ 100 yang melalui layanan social commerce seperti Instagram Shop, Tiktok Shop, dan Facebook Store. Melengkapi larangan importasi yang diberlakukan untuk transaksi cross border melalui marketplace.
Memang niatan baik pemerintah untuk melindungi UMKM perlu diapresiasi, tetapi jangan sampai larangan importasi tersebut menjadi batu sandungan terhadap proses transformasi digital di sektor UMKM yang kini telah bergulir. Kemenkominfo mencatat ada sekitar 22 juta UMKM pada 2022 yang telah on boarding (terdaftar) di marketplace. Bahkan beberapa di antaranya telah memanfaatkan fasilitas cross border untuk mengekspor barang ke luar negeri.
Jangan sampai larangan impor barang tersebut justru menjadi kontraproduktif. Misalnya, e-commerce menghentikan layanan cross border, atau negara lain juga memberlakukan larangan impor barang masuk ke negaranya sehingga UMKM tidak bisa melakukan ekspor barang lagi melalui cross border.
Perlu diperhatikan juga bahwa on boarding UMKM ke marketplace hanyalah langkah awal dalam proses digitalisasi UMKM. Selanjutnya UMKM perlu melakukan active selling untuk meningkatkan transaksi penjualan di marketplace. Sampai bisa masuk dalam proses scale up untuk membesarkan usaha dan pangsa pasarnya lewat pengintegrasian platfom digital ke marketplace.
Tahapan transformasi digital UMKM melalui marketplace tersebut sedang berada dalam tren yang positif. Terlebih bila UMKM bisa memaksimalkan fitur cross border untuk melakukan ekspor barang ke luar negeri. Artinya, UMKM tersebut bisa mencetak transaksi penjualan yang besar sehingga pada akhirnya pemasukan negara dari pajak yang dibayarkan UMKM menjadi semakin tinggi.
Bambang Subianto mahasiswa Magister Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan (Minat Studi Transfomasi Digital Sektor Publik) Universitas Gajah Mada
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini