Espresso, Interaksi, dan Ekspresi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Jeda

Espresso, Interaksi, dan Ekspresi

Sabtu, 09 Sep 2023 11:15 WIB
BryanYafetWidiawira
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi kafe
Foto ilustrasi: Getty Images/iStockphoto/Witoon Pongsit
Jakarta - Seiring dengan suara mesin espresso yang berdesir, aroma kopi yang menggoda indera dan menciptakan atmosfer yang akrab, seringkali kita lupa bahwa kafe tidak hanya menyajikan secangkir kopi. Dari masa ke masa, kafe telah menjadi 'universitas jalanan', tempat gagasan bertemu, tumbuh, dan bercabang. Dari konsep Eropa klasik hingga adaptasi modern di kota-kota besar dunia, kafe menjadi simbol interaksi sosial dan cerminan budaya.

Saya teringat suatu pagi di sudut Kota Surabaya, di sebuah kafe kecil dengan aroma kopi yang menyebar di udara. Di satu sudut, ada grup anak muda dengan laptop terbukaβ€”sepertinya tengah berusaha menyelesaikan tugas akhir atau mungkin project startup rahasia mereka. Di sudut lain, ada seorang pria tua dengan koran di tangannya, menikmati espresso panas sambil melirik sesekali ke sekitarnya, mungkin mempertanyakan apa yang telah terjadi dengan Generasi Z saat ini.

Dulu, pada abad ke-17 di kota-kota besar Eropa, kafe menjadi pusat pertemuan para intelektual, sastrawan, dan seniman. Mereka berdebat, menulis, atau sekadar berbincang di bawah aroma kopi yang hangat. Namun, seiring berjalannya waktu, fungsi kafe berkembang melebihi sekadar tempat ngobrol. Di era digital ini, kafe memasuki fase baru sebagai ruang kerja, tempat belajar, atau bahkan sebagai 'studio mini' yang mana sebuah Instagram story diperbarui.

Pernahkah kalian memperhatikan desain interior kafe modern? Sebagian besar dirancang untuk memfasilitasi interaksi sosial sambil memberikan ruang personal bagi setiap individu. Meja panjang yang memungkinkan orang asing duduk bersebelahan, sudut-sudut khusus yang memberikan privasi, hingga ruang terbuka yang memungkinkan diskusi kelompok. Setiap elemen tersebut tidak hanya sekadar estetika, tetapi juga mempertimbangkan fungsi sosialnya.

Namun, apakah benar minuman sederhana seperti espresso memiliki kekuatan untuk menghubungkan orang? Jawabannya, tentu saja, iya. Kopi, khususnya espresso, telah menjadi simbol sosialitas. Ritual bersama, seperti memesan kopi, menunggu, lalu menikmatinya sambil berbincang, menciptakan pengalaman bersama. Di banyak kultur, kopi seringkali menjadi jembatan awal sebuah pertemanan atau kolaborasi.

Era modern juga melahirkan "kafe kultur". Kafe-kafe tematik yang menawarkan lebih dari sekadar kopi, melainkan pengalaman. Mulai dari kafe buku, kafe musik, hingga kafe seni. Semua ini menunjukkan bahwa kafe telah menjadi ruang ekspresi. Di sinilah kita dapat melihat bagaimana minuman sederhana mampu menginspirasi kreativitas dan inovasi.

Kafe,bukan lagi hanya tempat untuk menyeruput kopi. Lebih dari itu, kafe telah menjadi medan pertempuran ide, tempat espresso bertemu dengan ekspresi. Di sinilah kita berbagi, mendiskusikan, berdebat, dan menciptakan suatu karya.

Ingat masa ketika J.K. Rowling menulis cerita Harry Potter and the Philosopher's Stone di sebuah kafe di Edinburgh? Atau, ketika Ernest Hemingway, dengan segelas alkohol di tangannya, menghabiskan waktu di kafe-kafe Paris sambil merenungkan makna hidup? Nah, sekarang peran J.K. Rowling ataupun Hemingway tampaknya telah digantikan oleh mahasiswa desain grafis yang tengah memikirkan logo terbaru untuk klien freelance-nya.

Kafe telah menjadi semacam 'zona netral' di tengah hiruk pikuk kehidupan kota. Sebuah oasis bagi mereka yang ingin bekerja, rileks, atau sekadar menghabiskan waktu. Mungkin karena kopi adalah simbol dari interaksi sosial kita, wujud nyata dari keriuhan pikiran kita.

Namun, di balik semua euforia tersebut, ada tantangan yang perlu dihadapi. Kafe sebagai ruang sosial harus mampu menyeimbangkan antara komersial dan keaslian interaksi yang mereka tawarkan. Kafe harus inklusif, mengakomodasi berbagai latar belakang dan kebutuhan tanpa kehilangan esensinya sebagai tempat pertemuan.

Ketika kita menyeruput espresso kita berikutnya, marilah kita refleksikan lebih dalam lagi. Kopi bukan hanya tentang kafein atau rasa, tetapi juga tentang interaksi, ekspresi, dan bagaimana kita terhubung dengan sesama. Di era yang serba digital dan seringkali anonim ini, kafe tetap menjadi oasis interaksi nyata yang autentik. Sebuah tempat bagi kita bisa bertemu mata, berbagi cerita, dan tentu saja, berbagi cangkir kopi. Cheers!

(mmu/mmu)

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads