Banyak orang menganggap zilenial atau acap disapa Gen Z merupakan generasi yang beruntung. Anggapan itu menjadi benar apabila melihatnya dari sisi konsumsi, terutama pada Gen Z di kota-kota besar. Masa pertumbuhannya diiringi pesatnya perkembangan teknologi yang membuat konsumsi mudah dilakukan kapan dan di mana pun. Meski konsumsi yang terjadi secara keuangan barangkali masih berkat bantuan orangtua.
Soal masa depan Gen Z yang akan memenuhi kebutuhannya sendiri, sepertinya anggapan generasi beruntung harus dipikir ulang. Sebab pada faktanya terdapat banyak batu sandungan yang dapat mengantarkan Gen Z pada hitamnya masa depan. Mirisnya, batu sandungan itu menghampiri sejak masa pendidikan yang sangat fundamental.
Biaya pendidikan Indonesia terasa bertambah mahal dari waktu ke waktu. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Februari lalu menyebut inflasi biaya pendidikan berkisar 10-15 persen setiap tahun. Sedangkan sepanjang 2019 - 2023, rata-rata persentase kenaikan upah minimum provinsi di Indonesia hanya 5,25 persen.
Tidak seimbangnya antara inflasi biaya pendidikan dan kenaikan upah berdampak buruk bagi pengembangan kualitas Gen Z. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut persentase penyelesaian tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat pada 2022 sebesar 66,13 persen. Hanya terpaut 0,19 persen dari 2021 yang persentasenya sebesar 65,94 persen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melihat data yang tadi sudah disebutkan, tidak keliru jika masyarakat mengatakan kemampuan ekonomi berkorelasi dengan keikutsertaan dan penyelesaian pendidikan. Perkataan itu juga didukung BPS lewat Survei Ekonomi Nasional (Susesnas) 2021 yang menyebut 76 persen keluarga mengaku ekonomi sebagai alasan anaknya putus sekolah.
Persoalan semakin larut dengan banyaknya perusahaan menambahkan pengalaman kursus di berbagai keahlian sebagai poin pemenang pelamar kerja. Fenomena ini menandai gagalnya pendidikan formal Indonesia dalam menyesuaikan kebutuhan masyarakat. Sedangkan untuk dapat mengikuti kursus tersebut, masyarakat harus mengeluarkan ratusan ribu, jutaan, hingga belasan juta rupiah.
Kesedihan berlanjut pada sektor ketenagakerjaan. BPS mencatat tingkat pengangguran terbuka kelompok umur 15 - 19 pada 2022 sebesar 29,08 persen atau naik 5,17 persen dari 2021. Masih pada tahun yang sama, kelompok umur 20 - 24 berada pada 17,02 persen. Hanya turun 0,71 persen dari tahun sebelumnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani terkesan bangga dengan keadaan ekonomi Indonesia. Merujuk kembali data BPS, perekonomian Indonesia 2022 memang tumbuh 5,31 persen. Tetapi saat mencermati lebih detail, hal menakutkan tiba. Apabila saat ekonomi Indonesia tumbuh saja pengangguran Gen Z naik, bagaimana jika ekonomi memburuk?
Kita tentu tahu keadaan dunia sangat jauh dari kepastian. Dalam beberapa waktu ke belakang, sudah banyak kejadian yang menyadarkan kita bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja. Memanasnya politik global serta krisis iklim dan pangan adalah ancaman di depan mata. Pertumbuhan ekonomi Indonesia 2022 jelas tidak berpihak untuk Gen Z.
Menilai ketenagakerjaan bisa dilakukan melalui cara yang sederhana. Lapangan kerja yang lebih sedikit dari angkatan kerja akan menimbulkan pengangguran terbuka. Posisi Gen Z sekarang cukup terpojok. Bagi yang sudah memasuki angkatan kerja, mereka harus bertarung dengan sesamanya dan generasi-generasi sebelumnya yang sudah memiliki jam terbang.
Perlu diingat, hari ini Gen Z belum sepenuhnya memasuki angkatan kerja. Kiranya beberapa tahun ke depan kita baru akan melihat angkatan kerja dipenuhi Generasi Z. Sementara itu masyarakat pada usia 60 tahun ke atas yang bekerja semakin bertambah. Merujuk data BPS, jumlah pada 2022 mencapai 16 juta. Naik dari 2021 yang sebesar 14,9 juta.
Pilihan yang dilakukan masyarakat usia 60 tahun ke atas tersebut tidak bisa disalahkan. Keputusan itu juga sangat mungkin diambil oleh Gen Z. Mengingat semakin banyak orang yang memutuskan untuk tidak mempunyai keturunan atau biasa disebut childfree. Lagi-lagi ekonomi menjadi momok yang menjadi perhatian utama.
Kini, pemerintah selalu mendorong masyarakat untuk berusaha sendiri. Pasalnya dunia usaha juga tidak sebagus apa yang dikatakan pemerintah. Incremental Capital Output Ratio (ICOR) sebagai acuan efisiensi investasi di Indonesia masih menyentuh 6 persen. Kalah dengan negara-negara tetangga yang mempunyai ICOR di sekitar 4 persen. Padahal infrastruktur sudah dibangun sebegitu mahalnya sampai beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang karya terancam bangkrut.
Infrastruktur yang dibutuhkan pada zaman modern seperti sekarang, salah satunya internet justru tidak cepat dibenahi. Padahal infrastruktur itu sebagai penunjang banyak bisnis dan pendidikan hari ini hingga masa depan. Laporan Speedtest Global Index pada Maret 2023, kecepatan internet Indonesia menghuni peringkat terakhir di ASEAN.
Di sisi pendapat ketika berusaha sendiri juga miris. Rata-rata pendapatan bersih masyarakat yang berusaha sendiri menurut BPS sampai Februari 2023 sebesar Rp 1,93 juta. Dibandingkan pada bulan yang sama tahun sebelumnya hanya naik sekitar Rp 200 ribu. Sedangkan pada periode yang sama, pendapatan menjadi pekerja lebih besar. Jumlah pada 2023 sebesar Rp 2,9 juta dan 2022 sebesar Rp 2,8 juta.
Sebenarnya masyarakat tidak perlu ambil pusing dengan data yang sudah disajikan di atas, jika negara memenuhi semua haknya. Masalahnya negara hari ini belum berbaik hati untuk memberikan hal tersebut. Biaya pendidikan, tempat tinggal, dan pangan terbang tinggi. Sejalan dengan itu, upah naik hanya dengan merangkak.
Gen Z tampak babak belur dan sepertinya beberapa tahun ke depan masih dengan nasib yang sama atau bahkan lebih parah. Terlalu naif apabila kita mengatakan masalah ini hanya disebabkan oleh tata kelola pendidikan yang sering disebut akar permasalahan. Kita perlu menarik politik ke dalam pembahasan. Ruang politik kita masih selalu dengan aroma tak sedap.
Banyak berita bertebaran bahwa dibutuhkan belasan miliar uang untuk dapat menjadi anggota legislatif di lingkup nasional. Pertanyaannya berapa banyak orang yang memiliki dan mengikhlaskan jumlah uang tersebut serta berkompeten untuk duduk di parlemen? Rasanya sangat minim. Buktinya situasi hari ini begitu suram.
Partai politik yang ada saat ini belum menjawab kebutuhan masyarakat. Justru yang ada para kadernya merampok banyak hak dari masyarakat itu sendiri. Sebut saja kasus bantuan sosial, Base Transceiver Station (BTS), dan izin ekspor benih lobster. Ketiganya dilakukan oleh kader sekaligus elit dari tiga partai politik ternama.
Indonesia sudah memasuki tahun politik dan tidak lama akan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu). Generasi Z mengisi 22,85 persen pemilih pada 2024. Tetapi, pernyataan 2024 sebagai tahun penentu masa depan hanya omong kosong belaka. Batas ambang pencalonan presiden dan parlemen masih berdiri tegak, serta ongkos politik selangit. Walhasil masyarakat hanya diberikan pilihan-pilihan yang buruk. Gen Z berhak marah!
Daffa Batubara Juru Bicara Blok Politik Pelajar
(mmu/mmu)